SIMSALABIM
ABRAKADABRA
Lagi musimnya orang-orang cari muka.
Lagi musimnya orang-orang cari modal kampanyenya, tapi biasa saja kan? Toh,
sudah banyak dari mereka yang telah merusak kepercayaan kita.
Kau mungkin satu di antara mereka?
Iya ataupun tidak. Tidak ada salahnya
kan kalau aku bercerita? Toh, ini hanya sebuah cerita, mungkin bisa juga jadi
canda tawa. Ya, bisa pula jadi renungan para manusia dan pemimpin bangsanya.
Duduklah sejenak, kan kuceritakan padamu
duka-lara makhluk-makhluk selain kita karena ulah manusia. Setelah itu, mungkin
bisa pula ada kata maaf yang harus kita selulerkan pada mereka.
Namanya Ruwo, lengkapnya Gondo Ruwo.
Entah kenapa ia dinamakan seperti itu? Mungkin saja karena rambutnya yang
panjang dan/atau ia yang bermukim lama di sebuah pohon dekat tanah kubang yang
disebut rawa. Mengada-ngada memang tebakanku, tetapi tentu tak masalah karena
bukan itu yang jadi bagian ceritanya.
Pada mulanya ia tinggal dibeberapa
pepohonan besar, yang pada umumnya seperti makhluk sebangsanya. Ia sudah ribuan
tahun menetap dan hidup sentausa, tetapi sejak orang-orang kampung jadi gila
karena harta, hingga seperti sulap, simsalabim
abrakadabra! Terubahlah ribuan pepohonan menjadi puluhan gedung-gedung
tinggi yang mampu mencakar langit. Terubahlah kampung menjadi kota.
Tidak berperikesetan sekali bukan kita
ini?
Ketika kita gencar mengampanyekan HAM,
agar manusia diperlakukan secara berperikemanusiaan, tetapi kita lupa bahwa
dunia diciptakan Tuhan bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk sebangsa mereka.
Napas-napas pepohonan telah berakhir,
bebatang-batang, reranting-ranting, dedaun-daun dan segala rupa darinya telah
terubah pula secara simsalabim
abrakadabra! Terciptalah segala kebutuhan manusia darinya. Luar biasa bukan
bangsa kita, atas nama modernisasi segalanya bisa berubah, termasuk alam.
Bisa pula kukatakan bahwa kita juga
sudah tidak berperikepohonan?
Kalau kukatakan semua kebusukan kita,
mungkin tak habis nantinya ceritaku ini. Baiklah akan lekas kuceritakan padamu
karena kutahu kau pasti punya segudang kesibukan lain, bukan? Sebagai manusia
begitulah kodratnya.
***
Kala itu angin sangat menggelitik,
daun-daun makin gencar bertasbih, langit berkelir kemerahan, seperti biasa hari
akan lahirkan malam. Adzan saling sambut mengumandang. Seorang lelaki keluar
dari rumahnya menuju surau dan seorang wanita mengunci rumahnya pertanda tak
kan lagi ada aktivitas luar, yang ada hanya mengajarkan anak-anaknya membaca
sajak-sajak Tuhan dan bersiap larungi mimpi.
Abdullah seorang yang pandai agamanya, selepas
mengajar kitab kuning bergegas menuju rumahnya. Tak jauh, hanya lima menit dari
surau jika berjalan kaki, hanya saja kalau kau ingin ke rumahnya mesti
berhati-hati karena harus melewati sebuah rawa kecil namun sangat dalam,
orang-orang sering menyebutnya Rawa Bolong. Nah, tepat di samping rumah
Abdullah ada sebuah pohon belimbing, besar sekali. Mungkin sudah tumbuh sebelum
Abdullah dilahirkan.
“Assalamualaikum! Umi! Umi!” Ucap
Abdullah ketika telah sampai di rumahnya sembari mengetuk pintu.
“Walaikumsalam!” Sahut-menyahut salam
dari dalam rumah.
Pintu pun dibuka, di baliknya ada
sesuatu yang dinanti, ialah seuntai senyum manis dan pertautan jemari.
Aluyahlah sosok di balik pintu itu, ia segera mengambil tangan suaminya dan
menciuminya berkali-kali serasa tak bosannya. Disaat itu pula, ada sebuah
kening yang basah karena derasnya cinta dan rindu.
“Abi sudah makan?”
“Belum!”
“Ya sudah, yuk segera ke dalam!
Anak-anak juga sudah menunggu Abi untuk makan sama-sama.”
“Iya, Sayang!” Balasnya lirih sembari
tersenyum.
Kehangatan itu begitu terasa, walau
malam menutupi sekujur tubuh kampung dengan dingin karena diam-diam jemari
hujan mengetuk-ngetuk atap-atap rumah warga. Dari celah-celah reranting serta
dedaunan, ada mata yang mengintip. Mata yang begitu tajam, seperti ujung-ujung
jejarum.
Ruwolah pemilik mata itu. Ia tinggal di
pohon belimbing samping rumah Abdullah. Sebagai makhluk yang tak sebangsa, Ruwo
selalu menjaga hubungan baik dengan Abdullah karena memang tak ada alasan pula
untuk ia mengusik. Abdullah sebagai manusia telah begitu baik dengannya. Setiap
pekan Abdullah rutin merawat rumah tempat tinggal Ruwo. Menyirami, memotongi
benalu, dan menyedekahi segala yang lahir dari rahim reratingnya.
Rekan-rekan sebangsa Ruwo belum tentu
seberuntungnya karena banyak pula yang tinggal di pepohonan liar di kampung
ini. Pernah Ruwo mendengarkan curhatan rekan-rekannya, ada yang risih dengan
kertas-kertas yang ditempeli segelintir orang ketika malam yang berisi gambar, nomor, foto, dan janji-janji
yang memuakkan, ada juga yang tidak betah di rumahnya karena sering sekali
menjadi tempat manusia jorok yang mengencingi rumahnya, belum lagi yang menjadi
tempat pembuangan sampah, menjadi hingar-bingar para penjudi karena dijadikan tongkrongan mereka, dan lebih-lebih
parahnya yang harus pindah-pindah karena sudah mulai banyak pohon yang
ditumbangi karena lahan-lahannya akan dibangun menjadi rumah atau
gedung-gedung.
Atas dasar itu pulalah Ruwo senantiasa
menjaga rumah Abdullah. Pernah sekali ada seseorang yang berniat ingin mencuri
di rumah Abdullah. Baru saja mengeluarkan perkakasnya untuk membuka pintu
rumah, Ruwo sudah mengejutkannya dengan menampakkan wajahnya di depan pencuri
itu. Alhasil, larilah ia sampai terkencing-kencing karena takutnya.
Walaupun saling menjaga, mereka tidak
pernah bisa berbincang. Tentu karena Abdullah dan Ruwo dari bangsa yang
berbeda. Abdullah melakukan hal itu karena ia sangat menjaga kebersihan dan
mencintai pohon. Buktinya saja banyak sekali tumbuhan yang ia rawat disekitaran
rumahnya, tumbuhan itu tidak besar-besar karena hanya tumbuh-tumbuhan jagung,
singkong, dan berbagai jenis bunga. Hanya satu pohon yang besar, yang berdiri
di samping rumahnya yaitu pohon belimbing.
Abdullah sangat menyadari dengan begitu
rumahnnya akan terlihat lebih hijau dan mungkin juga dari beberapa bencana.
Itupun terbukti ketika hujan terus-menerus turun di kampungnya, seluruh rumah
di lingkungannya terkena banjir dan anehnya hanya rumah Abdullah yang tidak.
Air yang mengalir melewati halaman rumahnya, dengan mudah menyerap ke dalam
tanah. Entah ada atau tidak campur tangan Ruwo atas kejadian ini?
***
Pagi itu menjadi pagi yang begitu
berbeda. Ruwo terkejut ketika Abdullah menyapanya. Sejak kapan ia bisa melihatku?
Mungkin pertanyan itu yang keluar dari benak Ruwo.
“Kau melihatku, Abdullah?
“Iya, memangnya siapa kau?
“Aku Ruwo, aku penunggu pohon ini.”
“Ruwo?”
“Ya, Ruwo. Oh iya, ada yang ingin aku
sampaikan padamu.”
“Katakanlah!”
“Terima kasih kau telah merawat tempatku
selama ini. Kuharap kau tak akan pernah menebang pohon ini karena aku dan kau
saling membutuhkannya.”
“Bagaimana bisa seperti itu?”
“Tentu bisa, kau lihat bukan kampungmu
sekarang? Sudah tak ada lagi yang menanam pohon? Semua orang sudah dibutakan
harta, ia tebang sebanyak-banyak pohon dan ia bangun sebanyak-banyak gedung.
Ketika sudah datang pada mereka bencana, apalagi yang dapat mereka perbuat?
“Bagaimana kalau aku tetap menebangnya?”
“Kau tak akan selamat.”
“Apa maksudmu?”
“Pikirkanlah itu sendiri, Abdullah!”
Seketika pula Abdullah tak bisa lagi
untuk melihat Ruwo. Abdullah terus memikirkan apa-apa yang telah dikatakan
Ruwo. Akan tetapi, baginya segala perkataan makhluk-makhluk semacam Ruwo tidak
boleh dipercaya.
Abdullah pun masuk ke dalam rumah
menyiapkan segala perkakas untuk menebang satu-satunya pohon besar yang ia
punya. Dengan golok yang dipegangnya, ia pun menebasi batang pohon belimbing
itu hingga pada akhirnya tumbanglah pohon tersebut.
Ruwo yang melihat tempatnya telah
dirubuhkan, akhirnya segera pergi dari tempat itu. tak lama kemudian tiba-tiba
datang hujan deras mengguyur kampung.
Dalam sehari hujan tak kunjung henti,
air semakin lama semakin naik. Tak biasanya rumah Abdullah mulai tergenang air
walau hanya sebatas mata kaki. Abdullah hanya berpikir ini hanya sebuah kebetulan
saja.
Hari demi hari hujan tak juga kunjung
berhenti. Segala macam ritual telah dilakukan, dari melakukan solat penolak
bala sampai pada ritual aneh dengan menaburkan garam ke seluruh penjuru
kampung. Akan tetapi tetap saja hujan tak kunjung berhenti.
Seluruh warga mulai sibuk mencari tempat
untuk mengungsi. Namun, sepanjang mereka cari tak juga mereka temukan. Seluruh
daerah telah terkempung banjir. Satu persatu warga mulai terserang penyakit.
Penyakit yang sangat aneh. Tubuh mereka menjadi gatal dan dipenuhi oleh
bintik-bintik besar seperti bisul. Bayi, anak-anak, remaja, dan orang tua semua
terkena penyakit ini. Setiap menitnya selalu saja ada warga yang mati karena
ketidaksanggupan mereka menahan sakitnya.
Abdullah semakin gelisah karena hanya
tinggal dia yang belum terkena penyakit tersebut. Istri serta anak-anaknya tak
luput dari penyakit itu. Ia pun mencari Ruwo untuk mencari cara mengatasi
bencana yang begitu besar melanda kampungnya ini.
Di sekeliling rumah sampai ke sekeliling
kampung Abdullah terus mencari Ruwo sembari memanggilnya, tetapi tak juga ia
temukan dan tak juga mendapat jawaban. Sampai pada akhirnya, Abdullah mulai
merasakan penyakit aneh yang diderita seluruh warga kampungnya. Mula-mula
muncul bintik-bintik kecil disekujur tubuhnya, lama-kelamaan bintik-bintik
tersebut membesar, pecah dan mengelurkan nanah. Nanah itu bercampur pada air
yang telah menenggelami kampung setinggi pundak orang dewasa.
Demikian cerita ini. Seperti simsalabim abrakadabra, bukan? Jika
manusia sudah tidak bersahabat dengan semua yang Tuhan ciptakan. Entah kutukan
apa yang terjadi atas apa yang telah manusia lakukan?***
Jakarta, 22 Februari
2014