Senin, 07 Juli 2014

KUMPULAN PUISI SUFISTIK

KUMPULAN PUISI SUFISTIK


SUARA

merenung di pucuk malam
kudapati bayang diri
meratapi kebodohan, kealpaan, ketidakmampuan hidup dan menghidupi,
menyesali kelahiran, serta memaki sebaris hari yang lalu tanpa arti
ketika esok menjadi tak pasti, kemarin menjadi gelap yang paling tersesali
dan kini yang tak tahu bagaimana dihadapi

"kau mesti keluar dari sini!"
benang kata itu masuk dalam telingaku
menyusupi hampa yang sunyi,
mengirimkan satu kesadaran diri,
bahwa sekat hidup, ruang hidup tak selamanya abadi
"kau mesti terus berjalan dan carilah cara menghancurkan sekat-sekat ruang ini!"
katakata itu, suara yang teramat entahnya

ketika pagi mulai mengebiri rasa
aku yang sedaritadi mangu
kini maju, menyambuti senyumsenyum pada cermin
yang menyenangi keterjagaanku ini

Jakarta, 26 April 2014

 

KERINDUAN

belum habis malam disobek sepi karena aku masih di sini, berdiri bersama kelam yang biasa kita nikmati.
entah beda memang malam ini karena tak ada Dikau.
Ya, Kau di sana, tempat di mana cahaya membasahi seluruh jalan dan menguyupkan tubuhMu.
Di sini hanya aku, ya aku yang habis diguyur kelam dan gigil dirasuki kerinduan.

"Kumohon Kau kembali! Kumohon! Kembalilah! Dikau!"
Itulah kata yang kurapal dalam sujudku, dalam dzikirku, dalam dukaku kini
lama tak kurasakan manisnya bercumbu denganMu
aku yang terlalu jemawa, terlalu kufur, aku penuh celah, aku celih, sering tak mengindahkan diriMu
dan kini hampir mati 'ku dimakan kerinduan sendiri
kerinduan padaMu

Kekasihku, kunanti kita bersua ditiada masa.

Jakarta, 22 April 2014

 

CERMIN

Di sini, aku temukan wajah.
Kusentuh, kuraba, kubiarkan tanganku mendeskripsikanya, ada hidung yang agak lebar, tak mancung dan tak pesek, alisnya agak tebal dan terputus, kupingnya ya biasa saja, lekuk bibirnya tak lebar dan agak tebal di atasnya bulu-bulu tipis, dan pada bola matanya sedikit kuintip cahaya, itu mata yang cukup besar.
Entah belum bisa kubaca siapa pemiliknya?
Sedaritadi telah kucoba mencari-cari di mana kotak cahaya, agar bisa kukenali wajah itu.
Apakah dia yang selalu menempel pada diri?
Yang padanya terbayang kegagalan, kekelaman, dan aku.
"Ah, ini hanya halusinasi yang terlalu!" pekik batinku.
Seketika wajah itu menghilang, tak bisa kusentuh dan kuraba lagi. Namun aku di sudutkan pada ruang tak lebar namun penuh cermin. Kini aku melihat beberapa wajah, entah siapakah mereka?
Ada bayi, ada kanak, ada pemuda, ada tua renta, dan bayang pusara yang bernisankan namaku tepat di belakang mereka.
Aku tak mengenali mereka karena aku pun tak pernah mengenali diriku.
Aku tak pernah bercermin karena aku tak mempercayainya dan tak ingin berbagi padanya.

Jakarta, 21 April 2014

 

DI RUANG INI
: penikmat sunyi

di ruang ini
ada remang yang sunyi
ketika detik-detik yang mengejar kata
tapi aku masih saja menganggapnya lengang
alunan dentang jam masih membisiki tentang aku dan apa yang mesti kuperbuat
namun, bosan merasuk
aku pun tak beranjak
buku-buku belum juga terjaga

sesekali ini
aku menyenangi membaca sepi jendela
ada lengang, ada tenang
tapi lelagi denting-denting itu berbisik tentang luar
ada esok yang tak bisa kubaca,
ada pertemuan pada yang Satu,
dan ada aku tanpa daya

kini aku mesti sadar
jam dinding itu terus menanam benih usia
yang kulupa atau karena terbiasa
detikdetik, menitmenit, jamjam terus tumbuh menjadi kesia-siaan
namun, aku mesti sadar
telah kulepas nafasnafas ini
tanpa arti
hanya menerka-nerka sebaris tanggal dan menunggu mati

kalau bukan karena Kau yang kucinta dan mencintaiku
aku hanyalah sebentuk kealpaan
yang kubentuk-bentuk sendiri rupanya
entah, kini aku tak lagi bisa menghitung
ketika malam menjelma angka, pagi pun angka, dan senja yang berkali kutinggalkan menjadi jemarijemari yang tiada hingga
aku mesti sadar
maka lewat sajak kukekalkan hidayah-Mu, Cinta.

Jakarta, 20 April 2014