Ladang Bebas

MUHAMMADIYAH DAN GERAKAN PEMBAHARUAN
DI INDONESIA


Muhammad Jalalludin
 Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA - Jakarta

ABSTRAK
Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan tajdid atau pembaharuan. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah merupakan hasil pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya. Muhammadiyah menyebarluaskan dakwah Islam secara lisan atau tabligh (dakwah bi-lisan) dan secara tindakan atau perbuatan (dakwah bil-hal). Muhammadiyah memiliki dua prinsip kebebasan berpikir, yaitu ijtihad dan istinbath. Dalam rangka pembaharuan Islam, kedua pemikiran tersebut mempunyai peranan yang tidak kecil bagi Muhammadiyah untuk memecahkan persoalan. Dampak dari pembaharuan Muhammadiyah dari awal lahirnya sampai saat ini telah memberi pencerahan bagi umat. Muhammadiyah telah memberikan sumbangan yang besar, seperti: pelurusan arah kiblat, pendirian lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Dalam konteks kehidupan bangsa Muhammadiyah bahkan telah memberikan saham dalam memodernisasi kehidupan masyarakat dari budaya tradisonal menuju kebudayaan modern.
Kata Kunci: Muhammadiyah, tajdid, Kyai Haji Ahmad Dahlan, prinsip kebebasan berpikir, dan dampak pembaharuan Muhammadiyah.

PENDAHULUAN

Wajah Islam di Indonesia ketika itu sangatlah tidak sempurna karena tidak berkepribadian Islam. Hal ini disebabkan pola-pola kebudayaan non-Islam telah terbentuk sebelum datangnya agama Islam di negeri ini. Agama Hindu, Budha, dan Kejawen telah larung dalam kehidupan masyarakat. Wajah Nusantara pun telah bercorak animisme dan dinamisme. Maka tidak aneh apabila masyarakat Indonesia dalam kesehariannya biasa melakukan hal-hal yang bersifat tahayul, khurafat, dan syirik sehingga umat Islam pun secara tidak sadar sudah beradaptasi dengan kebiasan tersebut dan mencampuradukkan ajaran Islam dengan kebudayaan lamanya. Pembaharuan dalam ajaran Islam pun menemui jalan buntu dan kemandekan karena mendapatkan reaksi dan penolakan dari masyarakat.
Muhammadiyah berdiri, untuk mengadakan tajdid atau pembaharuan yang bermaksud mengembalikan Islam yang ditampilkan pemeluknya kepada dasar-dasar asli dari Al Quran dan As Sunnah. Seluruh sistem ajaran dan struktur sosial serta kerangka berpikir tradisional dirombak menjadi yang sesuai dengan ajaran Islam yang asli.[1]
Maka dengan hadirnya Muhammadiyah telah menyucikan Islam dari pengaruh anismisme, dinamisme, Hindu, Budha, Kejawen, dan adat yang sebelumnya telah mengotori kemurnian Islam. Oleh karena itu, Muhammadiyah membuka pintu ijtihad yang telah tertutup sebelumnya agar dapat mendobrak taklid masyarakat serta meluruskan kesalahan dalam pengajaran ajaran Islam. Terlebih lagi pada pembersihan ajaran Islam dari segala macam tahayul, bidah dan khurafat.
HAR. Gibb dalam Umar Hasyim mengatakan bahwa bidang garap yang utama dari golongan pembaharu ada empat pokok, yaitu:
1.             Menyucikan Islam dari pengaruh yang tidak benar atau bidah, khurafat.
2.             Pembaharuan pendidikan yang lebih tinggi derajat dan martabatnya bagi kaum Muslimin.
3.             Pembaharuan rumusan ajaran Islam menurut alam pikiran modern.
4.             Pembelaan Islam terhadap pengaruh barat (sekularisme) dan ajaran Kristen.[2]
Dari empat pokok di atas, Muhammadiyah dalam beberapa hal telah kembali pada ajaran Islam yang murni dan telah merumuskan kerangka berpikir sesuai dengan yang dituntut oleh kaum pembaharu. Namun juga dalam beberapa hal Muhammadiyah masih mencari rumusan tersebut meskipun pada prinsipnya konsep pembaharuan itu telah diterima secara umum dan keseluruhan.
Prof. DR. HAMKA dalam M. Margono Puspo Suwarno, meletakkan tiga dasar yang mendorong Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yaitu:
§    Pertama, perkara disebabkan umat Islam yang telah mundur diabad yang tidak ada sejarahnya, di dalam kemunduran Islam, kemunduran dalam segala lapangan, baik pengetahuan umum, tatanegara, pengetahuan kemasyarakatan, pergaulan, peradaban, dan lain-lainnya karena mereka meninggalkan asas yang semula, ialah tidak memegang teguh Quran dan Hadits shohih, sehingga karena itu timbullah bermacam-macam tahayul, berbagai fanatik membuta tuli dalam kalangan umat Islam di Indonesia.
§    Kedua, kemiskinan yang menimpa masyarakat sudah sangat memuncak disebabkan orang yang kaya raya dan para pemimpin-pemimpin lupa kepada yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban dan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh agama mengenai harta benda dan kesejahteraan umum; dan
§    Ketiga, tempat pendidikan Islam yang ketika itu berupa pesantren dan madrasah, kalau disejajarkan dengan sekolah-sekolah modern, memang segala-galanya jauh terbelakang, sedang Islam tak mengenal mundur, hanyalah mengenal maju saja dalam menghadapi keduniaan ini.[3]
Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah memang memiliki semangat dan gagasan yang berpangkal pada tajdid atau pembaharuan. Walaupun sebagian kalangan di Indonesia memberikan catatan bahwa pembaharuan Muhammadiyah pada saat itu lebih mengacu pada pembaharuan amaliah dan bersifat khusus seperti dalam pelurusan arah kiblat, mendirikan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Nurcholish Madjid mengatakan, kendati pembaharuan Muhammadiyah bercorak amaliah sangatlah penting karena tidak ada manifestasi lain dari Islam kecuali dalam bentuk amaliah.[4] Lebih dari itu, Haedar Nashir menegaskan, pembaharuan amaliah pun ternyata memiliki implikasi atau pengaruh luas pada pembaharuan, bahkan dilihat dalam konteks saat itu merupakan suatu terobosan.[5]
Dampak dari pembaharuan Kyai Haji Ahmad Dahlan dapat disaksikan dalam kisah-kisah sukses gerakan Muhammadiyah setelah puluhan tahun dari masa kelahirannya. Bahwa pembaharuan bukan hanya dilihat pada sebermula gagasan itu muncul, tetapi juga pada dampak dan pengaruh dari pembaharuan yang dirintis Muhammadiyah dalam seluruh perjalanan pergerakannya di tengah dinamika zaman. Hal itu terbukti puluhan tahun setelah Muhammadiyah memulai gagasan pembaharuannya, banyak golongan Islam yang mengikuti jejaknya, bahkan bagi kelompok tradisional yang dahulu menentangnya. Bahwa di tengah zaman baru Islam sungguh memerlukan tajdid atau pembaharuan.

PEMBAHASAN
Muhammadiyah yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan sangat dikenal sebagai gerakan pembaharuan. Pembaharuan yang ditampilkan Muhammadiyah selain melekat dalam pengakuan objektif masyarakat luas, secara substansial juga dapat dibuktikan dari gagasan-gagasan yang terlahir dari Kyai Haji Ahmad Dahlan. Selain itu dapat dirujuk pada pemikiran resmi yang dituangkan atau dilembagakan dalam organisasi gerakan ini serta wujud karya amaliah dari pembaharuan Muhammadiyah tersebut erat dan saling berkaitan, yang melahirkan sistem gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan di Indonesia khususnya dan di dunia Islam pada skala yang lebih luas. Pembaharuan Muhammadiyah itu bahkan telah mempertautkan dirinya dengan matarantai gerakan pembaharuan Islam lainnya baik di Indoensia maupaun di dunia Islam yang menandai kebangkitan atau kebangunan Islam awal abad ke-20.
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menimba ilmu agama Islam secara tradisional, kemudian dua kali bermukim sembari beribadah haji di Makkah yang kala itu tengah berada dalam puncak suasana paham Wahabiyah yang kuat, dan tidak mengecap pendidikan modern Barat, justru tampil sebagai pembaharu (mujadid) dengan gagasan cemerlangnya yang melampaui batas pendidikan dan pengalaman hidup yang dilaluinya. Gagasan dan pembaharuannya ditunjukkan oleh sejumlah terobasan yakni meluruskan arah kiblat, shalat hari raya di tanah lapang, cara memahamkan Islam yang bersifat tajdid, serta gagasan orisinil tentang pemahaman dan implementasi surat Al-Maun. Ahmad Dahlan juga merintis pentingnya publikasi yang melahirkan majalah Suara Muhammadiyah tahun 1915, memelopori pendidikan Islam modern yang memadukan pelajaran agama Islam dan pengetahuan umum melalui metode klasikal ala pendidikan Barat, dan mendirikan Pandu Hizbul Wathan tahun 1918. Hal yang cukup monumental, tetapi jarang diangkat ke permuakaan ialah kepelopoarannya dalam mendirikan pergerakan perempuan Islam yakni ‘Aisyiyah pada tahun 1917 ke ruang publik yang kala itu dipandang tabu. Langkah pembaharuan semacam itu sungguh baru dan merupakan lompatan untuk zamannya.
Pemikiran dan langkah Kyai Haji Ahmad Dahlan tersebut kelihatan sederhana jika diukur dari sudaut pandang saat ini, tetapi secara substansial dan dalam konteks zaman kala itu sungguh merupakan terobosan yang luar biasa. Nurcholish Madjid menilai bahwa pembaharuan yang dirintis Ahmad Dahlan bersifat break-trought atau suatu lompatan dan terobosan, yang pembaharuannya tidak mengalami prakondisi sebelumnya. Hal itu terjadi karena Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati yang mampu menangkap jiwa tafsir Al-Manar dan mengkontekstualkan dengan zaman. Kendati Ahmad Dahlan oleh sebagian orang pemerhati dinilai lebih menonjol sebagai man of action (manusia amal) dan percikan pemikirannya tidak luas sebagaimana ditulis Kyai Hadji dalam Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Tujuhbelas Kelompok Ayat Al-Quran.[6] Hal yang dikemukakan Nurcholish Madjid itu merupakan pengakuan yang objektif atas gagasan dan karya pembaharuan pendiri Muhammadiyah itu.
Muhammadiyah dan Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya juga selalu dipertautkan dengan matarantai gerakan Islam pembaharu di dunia Islam sebagaimana dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme atau reformisme Islam abad ke-20. Kendati dalam sejumlah hal pembaharuan Muhammadiyah yang dirintis Kyai Dahlan memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dari gerakan dan tokoh pembaharuan di dunia Islam sebelumnya itu, pengaitan Muhammadiyah dengan rangkaian gerbong pembaharuan dunia Islam itu sekaligus memperkuat jati diri dan pengkuan publik tentang hakikat, posisi, dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam. Artinya, pembaharuan Kyai Dahlan dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi bagi kebangkitan dunia Islam yang kala itu masih terseok-seok untuk bangun dari ketertinggalan dan kondisi keterjajahan.
Spirit dan gagasan awal pembaharuan Muhammadiyah selanjutnya dapat dilacak  pada rumusan tujuan sebagaimana terkandung dalan Statuten (Anggaran Dasar) pertama yang dirumuskan dan diajukan kepada pemerintah Hindia Belanda tahun 1912. Statuten tersebut diajukan setelah organisasi Islam ini menurut Kyai Sudja’ dideklarasikan di Gedung Loodge Gebauw Malioboro, Yogyakarta pada hari Sabtu malam Minggu terakhir di bulan Desember 1912 seratus tahun silam.[7] Dalam Haedar Nashir, statuten Muhammadiyah (Artikel 2) tersebut dinyatakan bahwa perhimpunan Muhammadiyah mempunyai maksud: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.[8] Kata memajukan merupakan isyarat kuat dari semangat memperbaharui hal-ihwal ajaran Islam, yang didukung dan satu paket dengan ikhtiar menyebarluaskan yang tidak lain ialah dakwah Islam yang bersifat ekspansif. Sejak itu istilah Islam yang berkemajuan terus tergulir sebagai pesan pembaharuan yang digerakan oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah memiliki dua prinsip kebebasan berpikir, yaitu ijtihad dan istinbath. Kalau pada ijtihad akan terlihat suatu pemikiran orisinil yang sistematis, maka pada yang kedua berisi cara berpikir berdasarkan penisbatan, yang seringkali dikenal dengan istilah qiyas atau analogi. Dalam rangka pembaharuan Islam, kedua pemikiran tersebut mempunyai peranan yang tidak kecil bagi Muhammadiyah untuk memecahkan persoalan.
MT. Arifin menjelaskan, Istinbath sebagai suatu cara berpikir sering digunakan untuk mengambil makna peristiwa masa lampau melalui penarikan kesimpulan. Hasilnya merupakan suatu pemecahan persoalan yang dihadapi oleh Muhammadiyah pada masa yang lebih kemudian. Pemikiran ini sangat nampak jikalau menghadapi persoalan yang berkaitan dengan usaha mempertahankan atau mengembangkan prinsip pembaharuan. Pada umumnya yang menjadi bahan pertimbangan dalam rangka istinbath adalah kebijaksanaan atau langkah praktis yang diambil oleh para sahabat Nabi atau para pemimpin awal lahirnya Muhammadiyah.[9]
Sedangkan, Ijtihad sebagai suatu cara berpikir-bebas muncul di kalangan Muhammadiyah sebagai kritik terhadap keadaan masyarakat umat Islam, serta kritik terhadap kemacetan-kemacetan lahiriah karena adanya anggapan bahwa sesungguhnya pintu ijtihad telah tertutup dan dihentikan. Hal tersebut telah menyebabkan setiap usaha untuk menafsirkan ajaran Islam secara baru ditolak dan dianggap sebagai usaha dari luar Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.[10]
Ijtihad dalam kehidupan pergerakan Muhammadiyah sangat berkaitan erat dengan ide pembaharuan Muhammadiyah yang berbentuk pemurnian Islam sesuai dengan sumber  primer Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini peranan ijtihad sangat Nampak sebagai suatu cara untuk mengembalikan suatu perkara kepada maksud dan motif suatu hukum yang diletakkan dalam kedua sumber itu, atau untuk mengambil sesuatu pengertian dari kedua sumber tersebut untuk menetapkan hukum atas suatu perkara yang pada lahirnya tidak termaksud secara eksplisit dalam kedua sumber itu. Oleh karena itu, maka dalam Muhammadiyah ijtihad hukumnya wajib.[11]
Dimensi waktu akan sangat berpengaruh pada pemahaman ajaran agama. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad pada waktu yang lalu mungkin sangat tepat untuk waktu yang bersangkutan, tetapi sudah tidak relevan untuk diterapkan pada masa sekarang. Dari pemikiran itulah maka Muhammadiyah berpendirian bahwa ijtihad perlu dikembangkan dalam masyarakat.
Muhammadiyah dalam menyebarluaskan atau melakukan dakwah Islam pun tidak lepas dari spirit pembaharuan. Terobosan yang dilakukan Muhammadiyah generasi awal ialah dakwah tidak sekedar secara lisan atau tabligh (dakwah bi lisan al-maqal atau dakwah bi lisan). Tetapi sekaligus dan cukup menonjol dalam dakwah dengan tindakan atau perbuatan (dakwah bi lisan al-hal atau dakwah bil-hal) yang diwujudkan dalam gerakan Al-Maun untuk penyantunan dan pelayan kaum miskin, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Dakwah dengan lisan pun diperbaharui dengan dakwah melalui tulisan sehingga bersifat non-konvensional seperti melalui majalah Suara Muhammadiyah (tahun 1915) dan berbagai publikasi tertulis, yang waktu itu merupakan fenomena baru ketika dakwah lebih tertumpu secara oral atau lisan yang searah. Didirikannya Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) tahun 1922 sebagai lembaga pelayan kesehatan dan pelayanan sosial yang kemudian berubah menjadi Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) maupun Weisshouse atau panti asuhan dan pelayanan untuk orang-orang tidak mampu. Merupakan bukti dari pembaharuan dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga masuk ke ranah baru dengan mendirikan gerakan perempuan yakni ‘Aisyiyah tahun 1917, yang menjadikan perempuan muslim sebagai pelaku dakwah atau pelaku gerakan sosial-keagamaan. Padahal ketika itu pandangan kaum agama maupun masyarakat masih bias gender dan menempatkan perempuan sekadar di ruang domestik sebagaimana dominasi budaya patriakhi yang kuat. Dengan kata lain dakwah Muhammadiyah kala itu bukan sekadar seruan atau ajakan keagamaan belaka, tetapi lebih luas lagi bercorak sosial-kemasyarakatan dan menjadikan Islam sebagai agama untuk pembebasan, pemberdayaan, dan pencerahan dalam kehidupan masyarakat luas. Islam dihadirkan bukan sekadar dalam lisan dan tulisan, tetapi dalam tindakan dan amaliah yang melembaga dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk baru dari pranata sosial Islam.[12]
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan kendati pada masa awal memperoleh penentangan dari kalangan tradisional, yang dinilai sebagai pembawa ajaran baru, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat sehingga dalam tempo sepuluh tahun setelah berdirinya tahun 1912 kemudian mengalami perkembangan. Pada tahun 1922, yakni sepuluh tahun sebelum Kyai Dahlan wafat, Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan Islam telah menyebarluas ke berbagai daerah di luar Yogyakarta dengan lahirnya cabang-cabang generasi awal seperti Pekalongan, Garut, Padang Panjang, Makassar, di sejumlah daerah Jawa Timur, dan sebagainya. Pada fase berikutnya yakni sampai tahun 1927 bahkan berkembang ke seluruh Indonesia atau Hindia Belanda saat itu seperti Alabio (Kalimantan Selatan), sejumlah daerah Sulawesi (Celebes), daerah-daerah di Sumatra termasuk Aceh. Pada awal tahun 1930-an bahkan Muhammadiyah telah masuk ke Indonesia paling timur di sejumlah daerah Nusa tenggara Timur seperti di Ende dan Flores. Kegiatan dakwah dan amal usaha Muhammadiyah pun terus berkembang hingga makin lama semakin besar. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Muhammadiyah bahkan semakin berkembang dan masuk ke seluruh ranah kehidupan bangsa dan negara, sehingga Muhammadiyah menjadi oragnisasi modern yang besar dan bahkan terbesar di Indonesia.
James L. Peacock, seorang antropolog dari Amerika Serikat dalam buku Haedar Nashir memberi pengakuan tentang kebesaran Muhammadiyah:
“Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda dibermacam-macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil-kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaearahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiyah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organiasasi yang utama dan terkuat di negara terbesar ke lima di dunia.”[13]
Pembaharuan Islam yang bercorak tajdid meodernisme atau reformisme Islam selain menjadi tolak ukur yang paling signifikan dalam menilai kepeloporan dan kebesaran Muhammadiyah, justru dalam proses perjalanan yang sarat dinamika menjadi identitas atau karakter spesial dari keberadaan gerakan Islam yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan tersebut. Bahwa apapun bentuk dan karya yang dihasilkan dari gerakan Muhammadiyah tahun 1912, gerakan Islam ini telah memelopori gerakan tajdid atau pembaharuan Islam di Indonesia pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Kemampuan Muhammadiyah untuk terus bertahan selama satu abad dan daya jelajahnya dalam mengisi ruang sosial-kemasyarakatan sebagai gerakan Islam modernis atau reformis dengan dinamika pasang-surut yang dilaluinya telah menorehkan sesuatu yang berharga bagi kebangkitan atau pembaharuan Islam di negeri tercinta ini. Dalam konteks kehidupan bangsa Muhammadiyah bahkan telah memberikan saham dalam memodernisasi kehidupan masyarakat dari budaya tradisonal menuju kebudayaan modern.
KESIMPULAN
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid atau pembaharuan cukup berhasil mengembalikan Islam pada kepribadian Islam yang sesungguhnya. Segala bentuk amaliah yang dilakukan Muhammadiyah dalam sistem gerakan pembaharuan Muhammadiyah memberi pencerahan pada pembaharuan Islam di Indonesia khususnya dan di dunia Islam pada skala yang lebih luas.
Gagasan dan semangat Kyai Haji Ahmad Dahlam untuk mengembalikan Islam pada ajaran-ajaran yang murni atau pembaharuan Islam merupakan suatu terobosan luar biasa yang dilakukan pada zamannya. Hingga kini, pembaharuan tersebut tidak henti-hentinya diteruskan oleh anggota-anggota Muhammadiyah, hingga dampak dari pembaharuan itu sangat dirasakan oleh bangsa dan negeri ini. Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan sumbangan yang besar dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehattan, rumah-rumah yatim-piatu, panti asuhan, dan lain-lain.
Muhammadiyah harus terus hidup dan bekerja, baik dalam pemikiran maupun amaliah yang lebih berkemajuan. Muhammadiyah harus terus berkumandang dan menjadi besar dalam gerak melintasi zaman. Mengutip pesan Soekarno: “Muhammadiyah dalam memasuki era baru juga memerlukan referensi dan metodolgi Islam yang lebih komprehensif guna menyusun agenda pembaharuannya, sehingga lebih memiliki pijakan yang lebih sistematik, kokoh, dan kaya dalam menampilkan Islam di tengah kebudayaan dan peradaban modern saat ini dan ke depan.”
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, MT. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasyim, Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus: dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Madjid, Nurcholish. 1983. dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, editor, Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES.
Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Sudja’. 2009. Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Jakarta: Al-Wasat.
Suwarno, M. Margono Puspo. 1986. Gerakan Islam Muhammadiyah: untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Percetakan Persatuan Yogyakarta.




[1] Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus: dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 3.
[3] M. Margono Puspo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah: untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Yogyakarta: Penerbit Percetakan Persatuan Yogyakarta, 1986), hlm. 28.
[4] Nurcholish Madjid, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, editor, Cendikiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 407.
[5] Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), hlm. 2.
[6] Nurcholish Madjid, Op. Cit., hlm. 310.
[7] Sudja’, Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal (Jakarta: Al-Wasat, 2009), hlm. 75.
[8] Haedar Nashir, Op. Cit., hlm. 5.
[9] MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 149.
[10] Ibid., hlm. 149-150.
[11] Ibid., hlm. 150-151.
[12] Haedar Nasihr, Op. Cit., hlm. 6.
[13] Ibid., hlm. 8-9.



MAKALAH
KRITIK SASTRA: ANALISIS NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER BERDASARKAN TEORI POSTKOLONIALISME



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Sebuah karya fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Dalam menuangkan imajinasinya yang berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan, pengarang juga memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Penyelesaian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja bersifat subjektif.
Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun berupa khayalan, tidak benar jika fiksi diangggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Karya fiksi meliputi novel, cerpen, roman, cerbung, novelat dan lain-lain.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya.  Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Dalam hal ini, pemakalah akan mencoba mengemukakan kritik sastra terhadap sebuah novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang mengambil latarbelakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Novel Bumi Manusia mengemukakan semangat nasionalisme manusia pribumi untuk mendapatkan haknya di negeri sendiri dan bebas dari belenggu tindak kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan secara rinci dan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah mengerti karakter/watak dari masing-masing tokoh. Dari tokoh-tokoh dalam novel ini, Pramoedya Ananta Toer, berhasil menunjukkan rasa nasionalisme yang begitu kuat ditanamkan dalam diri manusia pribumi masa Kolonial Belanda. Novel Bumi Manusia mampu mendeskripsikan tindakan  kekejaman dan ketidakadilan melalui hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda terhadap manusia pribumi secara jelas, kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang lainnya dan mengungkapkan sikap dan tindakan penindasan, kekejaman, dan kelicikan orang Eropa. Dengan menganalisis novel Bumi Manusia dengan teori postkolonial, kami mengharapkan kita semua dapat mengambil sebuah pelajaran penting tentang sejarah kolonial dan mendapatkan sebuah perenungan besar terhadap karya seorang sastrawan kenamaan dan belajar banyak tentang negeri ini dari karyanya.
B.            Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.             Apa yang dimaksud dengan teori postkolonialisme?
2.   Bagaimana analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori postkonlonialisme?
3.             Bagaimana kritik sastra dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang telah dianalisis berdasarkan teori postkonlonialisme?
C.           Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, pembatasan masalah dalam makalah ini adalah pada gejala postkolonial dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer serta kritik sastranya.
D.           Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, kami merumuskan masalah dalam makalah ini pada bagaimana kritik sastra novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori postkolonialisme?
E.            Tujuan
1.             Menambah pengetahuan dan wawasan tentang teori postkolonial.
2.             Mengetahui analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori poskonlonialisme.
3.             Mengetahui kritik sastra dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang telah dianalisis berdasarkan teori poskonlonialisme.
4.            Membuka wawasan kebangsaan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia karena telah mengetahui perjuang para pahlawan.

BAB II
LANDASAN TEORI
       
A.           Teori Postkolonialisme
Postkolonial berasal dari kata post yang berarti ‘setelah’ dan colonia yang berarti kumpulan. Munculnya pandangan bahwa kolonial sebagai penjajah setelah adanya beberapa tindakan dari negara-negara Eropa mengenai praktik-praktik kolonial yang selalu memeras rakyat. Mereka memungut upeti dan harta benda lainnya secara paksa kepada rakyat.
Postkolonial mengandung arti bahwa ada beberapa perilaku yang terjadi setelah adanya penjajahan dalam suatu wilayah tertentu. Secara definitif, postkolonial menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Teori postkolonial dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi (Ratna, 2008: 81).
Postkolonialisme, dari kata Post-Kolonial-isme, yang secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonal. Istilah postkolonial ini juga tak jarang digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Namun postkolonial tidak semata-mata mengacu pada makna “sesudah” kolonial atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme.
Teori ini termasuk masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya, atau banyak masyarakat berbicara postkolonial itu tentang penjajahan. Objek penelitian postkolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008: 90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008: 90) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008: 90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori postkolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dari ide oposisi ini, postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah dalam masa kolonial dan sesudahnya, terutama karena tema tersebut tak relevan lagi, sebab sudah terlalu banyak jenis-jenis penjajahan baru. Inti dari kritik postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam bentuk ‘fisik penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana dan pengetahuan (bahkan bahasa).
Postkolonialisme merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas kolonialisme. Postkolonial bukan berarti setelah kemerdekaan, tetapi poskolonial dimulai ketika kontak pertama kali penjajah dengan masyarakat pribumi. kolonialisme dalam ruang privat, dan menjadi sumber gugatan feminisme yang senafas dengan gugatan postkolonial.
Postkolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan imperealisme. Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan model analisis postkolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, masalah ras, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep postkolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
Latar sosial yang mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang terdapat dalam novel ini juga sangat membantu pembaca mengikuti jalan cerita novel ini. Realitas sejarah dan kaitannya dengan realitas-realitas lain harus mampu ditunjukkan oleh karya sastra realisme-sosialis (Ratna, 2004: 205). Penggambaran latar sosial yang baik merupakan salah satu cara yang dapat membantu pengarang dalam menunjukkan realitas sejarah dan kaitan-kaitannya dengan realitas lain.
Postkolonialisme Indonesia berasal dari Barat, tetapi objek, kondisi dan permasalahan yang dibicarakan diangkat melalui dan di dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teori postkolonialisme Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang dapat berinteraksi dengan teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada. Fungsi selanjutnya dengan adanya teori ini adalah adanya kesadaran nasional. Selanjutnya pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai hegemoni penjajah terhadap bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang lebih baik.

BAB III
PEMBAHASAN

A.           Analisis Unsur Intrinsik
1.             Tema
Tema novel ini adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan priyayi Jawa dengan seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya di tengah pergerakan Indonesia di awal abad ke-20.
2.             Tokoh dan Penokohan
§    Minke
Minke, tokoh utama, karena mempunyai peran yang paling penting dalam cerita, mendominasi seluruh besar cerita. Tokoh protagonis, diberi empati oleh pembaca. Penggambaran fisik : Seorang Pribumi tulen.
Narasi : Minke adalah seorang manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Dialog : “Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal.”
Penggambaran pikiran dan perasaan : Aku ini siswa H.B.S., haruskah merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah? Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil.
§    Annelies Mellema
Annelies Mellema, tokoh utama karena mempunyai peran yang penting dalam cerita, mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Di depan kami berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman.
Dialog : “Aku adalah seorang Pribumi, seperti mama.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Seperti ratu, Minke. Begitu lembut wajahnya. Primadona dari Italia dan Spanyol, ballerina dari Prancis dan Rusia pun takkan secantik dia.
§    Nyai Ontosoroh
Nyai Ontosoroh, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Pemunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat.
Narasi : Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun.
Dialog : “Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah jujur dia padamu. Itulah Eropa!
Penggambaran pikiran dan perasaan : Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang.
§    Robert Mellema
Robert Mellema, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis, tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan menyebaban konflik.
Penggambaran fisik : Ia berwajah Eropa, berkulit Pribumi, jangkung, tegap, kukuh.
Narasi : Seorang pemuda Indo yang sangat mengagungkan Hindia Belanda dan memandang rendah ribumi.
Dialog : Dan juga jangan lupa, kau hanya seorang Pribumi.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir benar-benar menggelisahkan aku.
 §    Robert Suurhof
Robert Suurhof, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis, tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan menyebaban konflik.
Penggambaran fisik : Dia temanku di H.B.S., ia lebih tinggi daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa tetes atau gumpal.
Dialog : “Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu, Minke.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert Suurhof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan, dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah Eropa dalam tubuhku.
§    Magda Peters
Magda Peters, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-totol coklat. matanya yang coklat bening selalu kelap-kelip.
Narasi : Guruku melarang kami mempercayai astrologi. Omong kosong, katanya.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Perasaan hormat menggantikan.
§    Jean Marais
Jean Marais, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Kakinya hilang satu akibat peperangan sewaktu masih jadi tentara.
Dialog : “Seniman besar, Minke, entah ia pelukis, entah apa, entah peimpin, entah panglima perang, adalah karena disarati dan dilandasi engalaman-pengalaman besar, intensif; perasaan, batin, atau badan. Tanpa pengalaman besar, kebesaran seseorang khayali semata.”
Penggambaran pikiran dan perasaan : Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumah tangga, bangsa Prancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda.
§    Herman Mellema
Herman Mellema, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Penggambaran fisik : Alisnya tebal, tidak begitu putih, dan wajahnya beku seperti batu kapur. Rambutnya yang tak bersisir dan tipi situ menutup pelipis, kuping.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Tuan telah tinggalkan pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers satu tuduhan telah berbuat serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina.
§    Darsam
Darsam, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Darsam, yang belum pernah aku lihat itu muncul dalam benakku. Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan clurit.
Narasi : Seorang pendekar Madura yang sangat patuh kepada majikannya. Tapi karena sifatnya yang selalu bertindak tanpa berpikir panjang, terkadang mengundang bahaya.
Dialog: Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Ternyata dia memang bisa dipercaya.
§    Dokter Martinet
Dokter Martinet, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Ia berumur empat puluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kelabu. matanya yang sebelah kanan menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada lubang kancing baju sebelah atas.
Penggambaran pikiran tokoh lain : Bukan saja aku anggap dia sebagai seorang dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi kemanusiaanya, juga seorang yang mampu memberi benih kekuatan baru.
§    Ibu Minke
Ibu Minke, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang ibu yang bijaksana dan sangat menyayangi anaknya.
Dialog : “Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungjawabnya, tidak lari seperti kriminil.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Kau tak pernah menghukum aku, tak pernah mengadili putramu ini.
§    Ayah Minke
Ayah Minke, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Narasi : Seorang ayah yang keras, pemarah, dan sangat menjunjung tinggi adat istiadat Jawa.
Dialog : “Dengar kau anak mursal! Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak.
§    Tuan Asisten Residen B
Tuan Asisten Residen B, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang atau menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang Belanda yang sangat menaruh perhatian kepada Pribumi.
Dialog : “Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri.”
3.             Alur dan Pengaluran
Alur cerita ini menggunakan alur keras, yaitu akhir cerita tidak dapat ditebak. Pada awal dan tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan berakhir bahagia dengan pernikahan Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan perpisahan Annelies dan Minke. Annelies harus pergi ke negaranya, Belanda, sedangkan Minke tetap di Hindia sebagai seorang Pribumi.
Secara keseluruhan novel ini menggunakan alur maju, tetapi ditengah cerita terdapat kilas balik, yang terdapat pada kutipan berikut ini:
Agar ceritaku ini agak urut, biar kuutarakan dulu yang terjadi atas diri Robert sepeninggalanku dari Wonokromo dibawa agen polisi klas satu itu ke B….
Pengaluran yang digunakan di dalam novel Bumi Manusia ini adalah:
§    Teknik linier:
Peristiwa berjalan secara runtun dari awal penceritaan perkenalan Minke dengan Annelies sampai kemudian mereka berdua berpisah.
§    Tenik ingatan:
Minke menceritakan semua kejadian yang dialaminya, layaknya orang yang sedang menulis catatan harian.
4.             Latar
§    Latar tempat
Wonokromo, Rumah Nyai Ontosoroh: Orang menganggap rumahnya sebuah istana pribadi, sekali pun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah Nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan jendela terbuka lebar. Berandanya tidak ada. Sebagai gantinya sebuah konsol cukup luas dan lebar melindungi anaktangga kayu yang lebar pula, lebih lebar daripada pintu depan.
§    Latar waktu
Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan.
§    Latar sosial
*             Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita Pribumi- jadi aku harus tidak peduli?
*             Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah….
*             Kompeni Belanda tidak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. (Sebenarnya waktu itu ada beberapa di antara orang Belanda yang memperhatikan keadaan Pribumi)
*             Max Tollenaar adalah nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan redaksi, yang tidak semua aku setujui.
5.             Gaya Bahasa
§    Diksi
Dalam novel ini, pemilihan kata atau diksi yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Jawa pada beberapa bagian dalam novel ini, misalnya : sinyo, ndoro, raden mas, kebo giro, mbedah praja mboyong putri, wisma, turangga, kukila, curiga, dan lainnya.
§    Majas
*             Personifikasi : Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya. Jaringan jalan keretaapi membelah-belah pulauku, Jawa. Pandang dua pemuda itu terasa menusuk punggungku.
*             Asindeton : Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah gersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan.
*             Hiperbola : Kehebatannya menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek moyangku dalam cerita wayang. Sekarang aku malu terpental-pental. Pikiranku mulai gila bergerayangan. Ia terus menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi bumi.
*             Sinekdoke : Jerman malah sudah membikin kereta digerakkan listrik.
*             Metafora : Di kejauhan sana samar-samar nampak gunung-gemunung berdiri tenang dalam keangkuhan, seperti pertapa berbaring membatu.
*             Simile : Matanya bak sepasang kejora bersinar di langit cerah.
*             Alegori : Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat.
*             Simbolik : Dia telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk.
*             Pleonasme : Ia berkaca dan melihat dirinya sendiri.
*             Anti klimaks : Para lurah, wedana, mantri, polisi, menyerbu pendopo.
*             Elipsis : Darsam! (maksudnya adalah memanggilnya untuk menghadap)
*             Paradoks : Nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan aku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat.
6.             Gaya Penceritaan
Penceritaan dalam novel ini, pengarang sebagai pencerita intern. Pengarang hadir di dalam teks sebagai tokoh utama Minke, jadi menggunakan kata ‘Aku’. Pengarang menyebut tokoh-tokoh dengan kata ganti orang kedua, ketiga atau menyebut nama. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
Selain itu pengarang juga menggunakan sudut pandang ‘Aku’ pada tokoh lain tetapi hanya sebagai gambaran sekilas saja, misalnya :
Juga karena mengutamakan urutan waktu aku susun bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudian hari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri.
“Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong….”
7.             Amanat
Novel yang dilatarbelakangi pergerakan Indonesia di awal abad 20 ini, menceritakan pergerakan, perjuangan, dan semangat pemuda Indonesia di masa itu. Pengarang menyerukan agar pemuda sekarang ini tetap mempunyai semangat itu meskipun sekarang sudah tidak ada penjajahan kolonial.
Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” (Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer)
B.            Analisis Postkolonialisme
Sesuai dengan judulnya, oleh pengarangnya, Bumi Manusia dimaksudkan untuk mempresentasikan bumi dan manusia Indoensia, dengan pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan Indonesia masih terbatas pada pulau Jawa, pulau dengan jumlah penduduk 17.000.000 jiwa tahun 1900. Pada saat itu (van Niel dalam Ratna, 2008: 333) di Jawa hanya terdapat sekitar 70.000 orang Eropa, dan Cina sekitar 280.000 jiwa. Hanya seperempat dari jumlah orang-orang Eropa secara keseluruhan merupakan Eropa totok, sisanya adalah Indo Eropa. Golongan kedua ini sekitar 50.000 orang, kedudukan ekonominya tidak dapat dikatakan baik. Di samping itu hanya sebagian berhasil menjadi Eropa, diakui oleh ayahnya, sedangkan sebagian lagi sudah terserap sebagai pribumi. Golongan terakhir ini kedudukannya seoah-olah menjadi masyarakat termarginalisasikan, antara kedudukan sebagai Eropa dengan pribumi, seperti Robert Mellema dan Robert Suurhof dalam Bumi Manusia.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa luas wilayah dengan besarnya jumlah penduduk bukan jaminan bagi suatu kawasan, wilayah negara menjadi berdaulat. Kolonialisme Eropa rata-rata merupakan negara-negara dengan jumlah penduduk kecil, dibandingkan dengan tanah-tanah jajahan yang dikuasainya. Masalah utama yang berperan adalah kualitas sumber daya manusianya. Kualitas inilah yang menjadi syarat utama mengapa Eropa, dalam hubungan ini Belanda berhasil menguasai Indonesia selama tiga setengah abad. Toer menciptakan preotipe manusia berkualitas seperti Ontosoroh, perempuan berhati keras, disiplin, dan pemberani. Keberhasilannya diperoleh melalui otodidak, tidak pernah mengenal bangku sekolah. Ontosoroh memiliki semangat baja sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Oleh karena itulah, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya, sehingga pada zamannya menjadi terbesar di Surabaya. Magda Peters melukiskan pribadi Ontosoroh sebagai berikut:
“…. Kalau ada barang seribu pribumi seperti dia di Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama. Ingat, kesan pertama, betapa pun pentingnya, belum tentu benar.” (Bumi Manusia, 2011: 347-348).
Masalah utama yang diungkap dalam Bumi Manusia adalah perbedaan ras bangsa, yaitu Barat dan Timut, penjajah dan terjajah, Eropa dan pribumi, kulit putih dan kulit berwarna. Pada umumnya raslah, yaitu ras Arya yang dianggap sebagai ciri utama superioritas bangsa Barat. Ras juga yang mengondisikannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan perkembangan pesat yang terjadi sejak abad renaissance, khususnya abad pencerahan. Kegagalannya, ilmu pengetahuan digunakan untuk menguasai bangsa lain, dengan menciptakan model hubungan sebagai oposisi biner dengan konsekuensi selalu menempatkan pihak lain sebagai inferior. Dalam Bumi Manusia sikap superioritas seperti terjadi di atas dilukiskan melalui Herman Mellema, suami Ontosoroh.
“Kowe kira, kalo sudah pake-pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”
“Tutup mulutmu!” Bentak nyai (Ontosoroh) dalam bahasa Belanda dengan suara berat dan kukuh., “Ia tamuku.” (Bumi Manusia, 2011: 64-65).
Bumi Manusia didominasi oleh perbedaan antara Barat dan Timur, bagaimana eropa dengan peradabannya bermaksud untuk menguasai keseluruhan aset kekayaan tanah jajahannya.
“Akhir-akhirnya,” Katanya kemudian dengan suara rendah: “Persoalan tetap Eropa terhadap pribumi, Minke, terhadap diriku, ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa…. Hanya kulitnya yang putih,“ ia mengumpat, “Hatinya bulu semata.” (Bumi Manusia, 2011: 489-490)
Gundik dan Indo merupakan masalah penting dalam sastra postkolonial. Konotasi gudik adalah perempuan pribumi sebab penjajah pada umumnya adalah laki-laki. Kesombongan ras dan hukum formal seolah-olah melarang laki-laki Eropa melakukan perkawinan sah dengan pribumi sehingga hubungan berumah tangga semata-mata untuk memuaskan kebutuhan biologis. Pengarang melukiskan kedudukan gundik melalui sudut pandang Kommer (seorang Indo yang membela HAM).
“Tulisnya, perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo-Eropa yang berasal dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi bukan pribumi. Tidak diakui menjadi pribumi. Artinya, pribumi sama dengan  anak gundik yang tidak diakui sah sang ayah. Ia juga mengecam pengungkapan perkara pribadi. Kommer menilai jaksa dan hakim itu tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari pengadilan pribumi yang dilakukan Wiroguno, atas diri Pronocitro – barang dua ratus lima puluh tahunan lalu.” (Bumi Manusia, 2011: 430).
Seperti di atas, satu di antara peninggalan kolonial, adalah akibat-akibat kawin campur antara Belanda totok dengan perempuan pribumi, yaitu Indo. Menjadi jelas menimbulkan ambivalensi sekaligus mimikri. Ambivalensi sebagai akibat berpijak pada dua sisi, orientasi Belanda totok, pada pihak ayah dan orientasi pribumi, pada pihak ibu. Kelahiran Indo menimbulkan kesulitan dan memperoleh kewarganegaraan dan hak-hak atas hukum formal lainnya. Meskipun demikian, Indo menjadi idaman sebagai akibat pencampuran darah yang pada umumnya memiliki wajah tampan dan cantik. Hukum yang lebih memihak pada penjajah menghapuskan hak perempuan pribumi sebagai ibu kandung, yang dengan sendirinya juga mempersulit kedudukan masyarakat Indo. Melalui tokoh Ontosoroh pengarang melukiskan kedudukan perempuan pribumi sebagai berikut.
….. Pada mulanya aku menduga, dengan pengakuan itu anak-anakku akan medapat pengakuan hukum sebagai anak  sah. Ternyata tidak, Ann. Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak sah, hanya diakui sebagai anak tuan Mellema dan punya hak menggunakan namanya. Dengan campur tangan pengadilan hukum justru tidak mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau mama ini yang melahirkan (Bumi Manusia, 2011: 136).
Ambivalensi sebagai akibat pendidikan Barat jelas merupakan ciri penting sastra postkolonial. Sebagai bentuk perwujudan pendidikan Barat, Minke menolak keras tradisi, ia menolak pola-pola kehidupan feodal keluarga bangsawan. Minke dalam menyerap pendidikan Barat dianggap telah melewati batas, tidak sesuai dengan aspirasi zamannya. Pengarang melukiskan kejadian ini melalui ibu Minke terhadap Minke:
“Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda. Maka kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu, bahkan dengan  saudara-saudaramu, dengan ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.” (Bumi Manusia, 2011:194).
Pada akhirnya, Toer memiliki padangan tersendiri mengenai kolonialisme. Menurutnya, kolonialisme tidak terbatas pada bangsa Belada dan Eropa, tetapi siapa saja yang ikut serta bertindak, berbicara, dan berpikiran sama seperti apa yang dilakukan oleh Belanda. Jadi, pribumi yang berada di bawah pengaruh kolonial sehingga menyetujui segala sesuatu yang menjadi rencananya, adalah kolonial sebab mereka merupakan perpanjangan tangan kolonial. Dalam kenyataannya mereka pun memperoleh keuntungan, baik dalam bentuk material maupun kekuasaan. Pengarang menjelaskan pandangan di atas melalui diskusi kelas di bawah asuhan Magda Peters, sebagai berkiut:
“…. Tahukah para siswa apa politik kolonial?” Tak terjawab.
Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi kekuasaan atas negeri dan bangsa-bangsa jajahan. Seseorang yang menyetujui stelsel itu adalah kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan, dan membelanya. Termasuk di dalamnya juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermasksud berterima kasih pada stelsel kolonial…. (Bumi Manusia, 2011: 314-315).
C.           Kritik Sastra
Menurut Semi, kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya sastra, mengenai bernilai atau tidaknya sebuah karya sastra (Semi, 1978: 9). Oleh karena itu, kami akan membuat kritik sastra berdasarkan pada pendekatan yang telah kami analisis yaitu postkolonialisme.
Karya-karya Toer menarik dibicarakan, pertama, sebagai akibat kekayaan informasi yang berhasil disampaikan. Kedewasaannya, baik dalam menggunakan bahasa maupun menggali isi, belum tertandingi oleh pengarang lain di Indonesia. Kedua, produktivitasnya, baik jumlah karya yang dihasilkan maupun jumlah halaman judul-judulnya, khususnya sebagai kuartet Pulau Buru, menyebabkan pengarang ini perlu diberikan perhatian tersendiri. Ketiga, kontroversi sebagai akibat keterlibatannya dalam oraganisasi Lekra sehingga selama berapa dasawarsa karya-karyanya dilarang beredar, tetapi kemudian menjadi karya-karya terlaris sesudah zaman reformasi, jelas juga merupakan masalah tersendiri. Pada gilirannya teori postkolonialismelah yang paling berkepentingan terhadap karya-karya Toer dengan pertimbangan bahwa sebagian besar di antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kolonialisme, nasionalisme, dan berbagai konflik yang ditimbulkannya. Bumi Manusia dianggap sebagai novel terkuat dalam menampilkan pertikaian dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut.
Seperti di atas,  Bumi Manusia adalah novel pertama di antara novel yang disebut kuartet Pulau Buru. Bumi Manusia pernah dilarang peredarannya di Indonesia, tetapi justru diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di negara-negara asing, bahkan pernah menjadi nominasi Hadiah Nobel. Dari segi produktivias jelas Toer patut dipuji. Kuartet Pulau Buru saja, di luar karya-karyanya yang lain berjumlah sekitar 2.000 halaman. Meskipun demikian, sebagai akibat keterlibatanya dengan organisasi Lekra, Toer seolah-olah terlupakan, baik dalam sejarah sastra dan bunga rampai, maupun kumpulan sinopsis, dan dengan demikian juga dalam proses belajar-mengajar. Diduga keterlibatannya ke dalam organisasi terlarang itulah yang menjadi indikator bagi beberapa kritikus untuk mengaitkan karya-karyanya sebagai memiliki ciri pertentangan kelas.
Memang benar Bumi Manusia akan mengemukakan pertentangan kelas sehingga dikhawatirkan akan menggangu kestabilan masyarakat. Tetapi perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan bukan kelas antara komunis dan nonkomunis, kelas buruh dan pemilik modal, kelompok elite dan nonelite sebagaimana diintrduksi dalam teori Marxis. Bentuk kelas bermacam-macam dan dengan sendirinya tidak ada masyarakat tanpa kelas. Keragaman kelas, apabila diarahkan pada tujuan-tujuan yang positif akan melahirkan suatu masyarakat tentram. Justru dalam kehidupan kontemporer diharapkan hadirnya keanekaragaman masyarakat. Atas dasar keberagaman itulah, sebagai masyarakat multikultural dengan kompetensinya masing-masing, kehidupan manusia akan mengalami kemajuan. Toer melangkah lebih jauh, bukan semata-mata kelas nasional, melainkan internasional.
“Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumah tangga, bangsa Perancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda.”
Suasana jadi berubah. Soalnya dokter Martinet tidak mengerti Melayu. Mama dan Annelies tak tahu Perancis, biarpun dokter Martinet tahu. Hanya May dan aku yang tahu semua bahasa mereka. Dan May dengan cepatnya melengket pada Annelies (Bumi Manusia, 2011: 387).
Masalah penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelarangan penerbitan adalah pemahaman bahwa karya sastra bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Karya seni adalah aktivitas kreatif imajinatif, kenyataan yang diciptakan, representasi dari kenyataan itu sendiri. Dalam karya seni dianggap sebagai doktrin, tidak ada kejadian yang dapat ditimbulkan kembali pada kenyataan yang sesungguhnya sebab segala sesuatu merupakan rekaan pengarang. Di sinilah letak kelemahan sekaligus kekurangan masyarakat kita, khususnya bagi mereka yang berada di luar kompetensi sastra, menyamakan karya sastra dengan sejarah dan ilmu pengatahuan. Dengan kalimat lain, belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi.

BAB IV
PENUTUP

B.            Simpulan
Berdasarkan hasil analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori postkolonialisme dapat disimpulkan bahwa: bangsa pribumi selalu dianggap lemah oleh bangsa Eropa, setinggi apapun jiwa nasionalisme bangsa pribumi, akan tetap kalah jika dibandingkan oleh kekuasaan Eropa dan hukum pun akhirnya kalah karena adanya kekuasaan Eropa. Masalah utama adanya penjajahan adalah pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Masalah utama pada novel Bumi Manusia adalah tentang perbedaan ras. Oleh karena itu, dari kedua hal tersebut para koloni merasa superioritas dan menginferioritaskan pribumi.
Dari analisis novel ini pula diketahui bahwa banyak sekali pengaruh-pengaruh akulturasi budaya dan penjunjung tinggian nilai-nilai yang datang dari Eropa. Seperti masalah perkawinan antara Eropa totok dengan pribumi yang melahirkan seorang Indo dengan sejumlah problematikanya. Selain itu, ambivalensi pendidikan barat juga menjadi candu bagi pribumi dan mengagungkannya dengan ketidaksadarannya telah melunturkan sendiri budaya bangsanya.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer menarik karena memiliki kekayaan informasi. Kedewasaannya, baik dalam menggunakan bahasa maupun menggali isi, belum tertandingi oleh pengarang lain di Indonesia. Produktivitasnya, baik jumlah karya yang dihasilkan maupun jumlah halaman judul-judulnya, khususnya sebagai kuartet Pulau Buru, menyebabkan pengarang ini perlu diberikan perhatian tersendiri. Selain itu, kontroversi sebagai akibat keterlibatannya dalam oraganisasi Lekra. Teori postkolonialisme yang paling berkepentingan terhadap karya-karya Toer dengan pertimbangan bahwa sebagian besar di antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kolonialisme, nasionalisme, dan berbagai konflik yang ditimbulkannya. Bumi Manusia dianggap sebagai novel terkuat dalam menampilkan pertikaian dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1978. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Di Pantara.

LAMPIRAN 
§    Sinopsis
Cerita dalam Bumi Manusia diduga terjadi sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Tokoh utamanya, di antaranya: Minke, Ontosoroh, dan Annelies. Minke adalah putra Bupati B., siswa Hoogere Burger School (HBS), penulis dengan nama samaran Max Tollenaar. Atas dasar pendidikan Barat yang diterima, ia menolak adat-istiadat Jawa, tidak mau hidup bersama di lingkungan keluarga, tidak tertarik pada jabatan pegawai negeri, bahkan juga menolak untuk menjadi bupati. Sebagai anak cerdas, Minke lulus nomor satu untuk wilayah Surabaya, nomor dua untuk Hindia Belanda. Keberhasilan Minke dipuji oleh Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda, sekaligus tokoh aliran Liberal di Belanda. Melalui kemahirannya berbahasa Belanda, Minke juga dipuji oleh Asisten Residen Kota B., Herbert de la Croix. Setelah lulus HBS, Minke kawin dengan Annelis.
Ontosoroh, waktu kecil bernama Sanikem, anak Sastrotomo. Oleh ayahnya, dengan tujuan memperoleh jabatan, Sanikem dijual sebagai gundik Herman Mellema, pemilik perusahaan ternak sapi perah. Ontosoroh diambil dari nama perusahaan itu sendiri, yaitu Boerderij Buitenzorg. Ontosoroh adalah perempuan luar biasa, otokdodak. Melalui perkawinannya denganHerman Mellema, lahir dua orang anak, yaitu Robert Mellema dan Anmelies. herman Mellema sebenarnya sudah punya istri di Belanda bernama Nyonya Amelia Mellema Hermmers dan anak bernama Maurits Mellema. Herman Mellema meninggal di rumah pelacur Babah Ah Tjong.
Annalies adalah gadis kreol, sangat cantik, lembut, tetapi tangkas dalam bekerja. Meskipun lahir sebagai indo tetapi ia lebih memihak pada pribumi. Annelies mengalami tekanan psikologis sebagai akibat diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri, yaitu Robert Mellema.
Nasib malang menimpah Ontosoroh sebagai akibat gugatan Maurits Mellema atas kekayaan Herman Mellema. Ontosoroh dan Minke berjuang sekuat tenang, tetapi oleh karena hukum lebih memihak pada Belanda, akhirnya perjuangan mereka gagal. Kekayaan Ontosoroh dan Herman Mellema dikuasai oleh pemerintah kolonial. Annalies juga dibawa ke Belanda dengan alasan perkawinannya dengan  Minke tidak sah.



PERBANDINGAN PUISI KARYA CHAIRIL ANWAR DENGAN PUISI KARYA HENDRIK MARSMAN


1.             Latar Belakang
Sastra bandingan merupakan kajian tentang sastra yang memang belum begitu populer dilakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan sastra banding memerlukan wawasan yang lebih luas tentang karya sastra itu sendiri, juga membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang latar belakang budaya yang luas dari munculnya karya sastra tersebut.
Dalam sastra banding ada dua kutub aliran yang sangat berpengaruh yaitu mazhab Perancis dan mazhab Amerika. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra banding adalah membandingkan sastra sebuah Negara dengan sastra lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain. Mazhab Amerika tersebut cakupannya lebih luas dibandingkan dengan mazhab Perancis, yang menekan perbandingan sastra dari aspek-aspek pengungkapannya, seperti tema, tokoh, dan lain-lain.
Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan sebagai medium komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pencintanya di samping karya seni lain. Jenis karya seni puisi masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang mempunyai arti. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat atau ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari pengarangnya, sebab diantara keduanya terdapat “hubungan kausalitas” (Aminudin, 1990: 93), yakni sebagai hasil kreatifitas pengarangnya, karya sastra tidak mungkin lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Dalam hal ini ada penyair yang menuliskan puisi dalam bentuk prosais, tapi ada juga yang menuliskannya dalam bentuk umum. Ia berbentuk bait-bait yang terdiri dari baris-baris dan pemenggalan katanya pun tidak terikat pada peraturan bahasa tertentu. Ia bukan berbentuk seperti prosa yang membujur datar dari kanan ke kiri. Fleksibilitasnya dan kebebasan bentuknya itulah yang membuat puisi benar-benar tampak puitis.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka makalah ini membandingkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam puisi karya Chairil Anwar dengan puisi karya Hendrik Marsman. Adanya persamaan dan perbedaan dari puisi-puisi kedua penyair tersebut telah memenuhi syarat untuk dibandingkan karena keduanya memiliki memiliki perbedaan bahasa, perbedaan politik, dan perbedaan wilayah.
2.             Teori
          2.1         Hakekat Sastra Banding
Sastra bandingan adalah telaah atau analisis terhadap kesamaan dan pertalian karya sastra berbagai bahasa dan bangsa. Telaah bandingan sastra ini khususnya dalam kesusastraan Indonesia relatif baru (comparative literature) (Zaidan, dkk., 1991: 123). Sastra bandingan merupakan kajian yang menekankan pada relasi di antara karya sastra yang berbeda budaya. Mazhab Perancis mengemukakan bahwa ahli sastra bandingan berusaha meneliti karya sastra dengan membandingkannya dengan karya sastra lain dengan mempertimbangkan aspek linguistik, pertukaran tema, gagasan, dan nasionalisme. Mazhab Perancis lebih menekankan pada perbandingan sastra dengan sastra nasional yang didasarkan pada aspek-aspek intrinsik.
Mazhab Amerika berbeda dengan mazhab Perancis. Mazhab Amerika memiliki cakupan yang lebih luas seperti yang dikemukakan oleh Hendry Remark, bahwa studi karya bandingan merupakan karya sastra antarnegara, bangsa, di satu pihak dan studi bandingan antarbidang di pihak lain. Mazhab ini mengkritik tolak ukur sastra nasional, seperti yang dikemukakan mazhab Perancis, bahwa sastra nasional terlalu sempit, oleh karena itu mazhab Amerika cenderung melihatnya sebagai tolak ukur yang bersifat kultural. Perbedaan budaya dan bangsa sudah cukup bagi mazhab ini untuk melaksanakan suatu perbandingan.
2.2         Hakekat Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga besar seperti: Oedipus, Antigone, Hamlet, Macbeth, Mahabharata, Ramayana, Bharata Yudha, dan sebagainya ditulis dalam bentuk puisi. Puisi tidak hanya dipergunakan untuk penulisan karya-karya besar, namun ternyata puisi juga sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Dunia telah diperindah dengan adanya puisi.
Jika menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair. Pada intinya puisi dibangun oleh dua unsur pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin atau makna, yakni pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur itu merupakan kesatuan yang saling jalin-menjalin secara fungsional. Penyair mempunyai maksud tertentu mengapa baris-barisnya dan bait-baitnya disusun sedemikian rupa, mengapa digunakan kata-kata, lambang, kiasan dan sebagainya. Semua yang ditampilkan oleh penyair mempunyai makna. Bahkan, karena yang digunakan adalah kata-kata yang dikonsentrasikan, yang dipadatkan, maka semua yang diungkapakan oleh penyair harus bermakna. Tidak boleh mengungkapkan sesuatu yang mubazir.
Untuk dapat memahami puisi memang tidak mudah karena perlu diketahui konteks kesejarahan puisi tersebut. Hal itu disebabkan sebuah karya sastra (puisi) tidak ditulis dalam situsi kekosongan budaya (Teeuw, 1980: 11).  Berkaitan dengan itu, Riffaterre dengan prinsip intertekstualitasnya mengatakan sebuah sajak biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya (pertentangannya) dengan puisi lain. Riffaterre menggunakan istilah hypogram, yaitu tulisan yang merupakan dasar sering kali dasar yang implisit atau yang harus dijabarkan dari puisi lain untuk penciptaan baru. Puisi tersebut sering bersifat kontras dan atau memutarbalikan amanat sebelumnya.
I.A. Richards menyebutkan adanya hakikat puisi untuk mengganti bentuk batin atau isi puisi dalam metode puisi untuk mengganti bentuk fisik puisi. Diperinci pula bentuk batin yang meliputi perasaan (feeling), tema (sense), nada (tone), dan amanat (intention). Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi (diction), kata konkret (the concrete word), majas atau bahasa figuratif (figurativ language), dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (rhyme and rhytm) (1976: 129-225).
Antara bentuk dan isi puisi tidak dapat ditarik garis pemisah yang tegas. Keduanya bersifat komplementer atau gonta-ganti dan saling menutupi. Kedua bagian itu padu sekali, sehingga dalam pengertian bentuk terimplisit juga pengertian isi dan demikian juga sebaliknya. Unsur puisi yang lazim disebut unsur isi atau struktur batin meliputi tema, amanat, nada, dan suasana. Sedangkan unsur intrinsik atau struktur fisik adalah persajakan, penyusunan baris, bait, diksi, irama, kata konkret, bahasa figuratif, tipografi, dan sebagainya.
3.             Analisis
Hendrik Marsman
Hendrik Marsman lahir pada tahun 1899 di Zeist (dekat Utrecht) dan dibesarkan dan dalam lingkungan Protestan. Menjelang akhir sekolahnya di HBS ia menulis sajak-sajaknya yang pertama. Ayah dari Hendrik Marsman adalah seorang penjual buku di Zeist (yang dimilikinya pada waktu itu hal yang paling penting), ibunya adalah seorang guru sebelum menikah. Pada tahun keenam Marsman mengunjungi sekolah dasar Ikhwan (Moravia, pemukiman sejak abad ke-18 di Zeist), tapi ia sesuai dengan tradisi keluarga Reformed Belanda mengangkat. Dia memiliki kesehatannya yang buruk (ia menderita paru-paru dan juga sedikit epilepsi).
Dia senang menjadi seorang perwira angkatan laut, sebagai salah satu dari dua adik laki-lakinya. Setelah pendidikan menengah dan ujian negara tambahan ia menangkap hak untuk belajar di Leiden dan Utrecht hak. Marsman adalah 1929-1933 di Utrecht sebagai pengacara. Sudah dalam beberapa tahun muridnya Marsman memulai debutnya sebagai seorang penyair. Setelah 1935 ia menyerah praktek untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada sastra.
Pada 1929 ia menikah dengan Rotterdam guru Rina Louise Barendregt, yang memiliki minat khusus untuk sastra Belanda. Ia melakukan perjalanan secara ekstensif dan tinggal sebagian besar di luar negeri (Swiss, tetapi terutama Perancis). Dari 1925-1931 Marsman adalah editor dari The Blades Gratis, yang diterbitkan beberapa manifesto sastra, setelah ia menerbitkan terutama di majalah sastra inovatif Forum. Kemudian ia menjadi kritikus sastra dari New Rotterdam Courant. Marsman berteman dengan para penulis Menno ter Braak dan Edgar du Perron, yang ia dihargai, meskipun ia tidak setuju dengan mereka dalam segala hal. Pengaturan kosmopolitannya adalah refleksi dari banyak perjalanan dia melakukan, pertama ke Jerman, tetapi kemudian oleh Eropa selatan, di mana alam adalah karakter gelisah menawarkan penangkis tenang. Awal ia mengambil dari latar belakang Protestan ortodoks dan dia tertarik ke Katolik. Dia mempertahankan hubungan baik dengan perwakilan dari Katolik sastra pemuda Anton dari Dunkirk dan juga diterbitkan di majalah sastra Masyarakat Katolik. Dari 1936-1940 Marsman tinggal di Perancis.
Pada musim semi tahun 1939 Marsman adalah untuk terakhir kalinya di Belanda, di mana ia menjabat sebagai kepala dari para penyair muda kini telah dihargai. Perang mengejutkannya di selatan Perancis. Setelah invasi Jerman barat pada tahun 1940, ia tewas ketika Berenice, kapal yang ia melarikan diri ke Inggris bersama istrinya, tenggelam di Selat Inggris. Apakah kapal itu ditenggelamkan oleh U-boat atau kepunahan penyebab lainnya tidak pasti.
Ketika berita kematian Marsman di radio diberitahu, ayahnya sakit keras. Itu tidak mengatakan kepadanya dan ia meninggal pada tanggal 24 Juli 1940. Terhadap latar belakang fakta-fakta puisi mendapatkan ('The Crossing' dari 1926) bahwa data pada tindakan seperti itu, atau mengerikan "kedua" dimensi. Tidak hanya judul tapi juga pertama dua bait sebenarnya benar secara harfiah terbukti.
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Analisis Puisi Chairil Anwar dengan Hendrik Marsman
Puisi Hendrik Marsman
Puisi Chairil Anwar

VLAM

Schuimende morgen
           en mijn vuren lach
drinkt uit ontzaggelijke schalen
van lucht en aarde
den opalen dag

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


Dari kedua puisi di atas, diketahui bahwa keduanya penyair yang ekspresionisme. Ekspresionisme dalam sajak-sajak Chairil Anwar terdiri atas pendekatan kata pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris, penghilangan imbuhan dipergunakan untuk tenaga ekspresivitas dengan hanya mengucapkan intinya saja. Chairil Anwar juga menggunakan penyimpangan struktur sintaksis, agar membuat bahasa segar dan menarik karena keharuannya. Misalnya:
Pemendekan kata “aku” dan “akan”:
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Sedangkan ekspresionisme dalam sajak-sajak Hendrik Marsman mendapat pengaruh langsung dari ekspresionisme Jerman, yakni yang berkenanan dengan vitalitas dan pemberian bentuk, sekalipun harus ditambahkan bahwa ia tidak begitu jauh seperti kebanyakan orang-orang sezamannya. Hal ini dapat dilihat dari puisinya, yaitu:
VLAM                                                              NYALA

Schuimende morgen                                          Pagi berbuih
           en mijn vuren lach                                              dan tawaku api
drinkt uit ontzaggelijke schalen                         menghirup api baiduri
van lucht en aarde                                             dan bokor-bokor raksasa
den opalen dag                                                  paduan udara dan tanah
Sajak-sajak Hendrik Marsman dalam Verzen, sebagai karya pertamanya mengandung ciri keberanian untuk berjuang, vitalitas yang bergejolak dan keperkasaan remaja, yang memberinya perasaan bahkan dapat menaklukan semesta kepada kemauanya.

Puisi Hendrik Marsman
Puisi Chairil Anwar

DE HAND VAN DEN DICHTER

Glazen grijpen en leegen;
veel jagen en reizen;
vrouwen omhelzen en streelen;
strijden op felle paarden
en blinkende wateren splijten;
spelen met licht en donker;
den dag en den nacht doorrijden
onder fluweel en schaduw en
flonkrende sterrebeelden.

het staat niet in mijn hand gegrift;
en een hand is een leven, een lot;
ik lees slechts in fijn scherp schrift
- en dit geldt voor vroeger en later -
weinig liefde en wijn, veel water,
soms een racket, een zweep, maar
stellig nimmer een zwaard.

zoo is mij enkel bewaard
langzaam maar vast te verwijven
in nijver monnikenwerk:
bidden en verzen schrijven
geel op geel perkament,
en mijn hand alleen te verstrengelen
met mijn eigen andere hand
en in een cel te versterven
oud op een houten bank.


KEPADA KAWAN

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

Pada puisi di atas, adakalanya Chairil Anwar mempergunakan alat-alat yang didapatkan dari Hendrik Marsman, tidak untuk menyatakan pikiran yang sama, tetapi bertentangan dengan sumber pengambilannya, yaitu:
(dalam puisi Hendrik Marsman ada juga baris yang memuat kata pedang, yakni):
weinig liefde en wijn, veel water,
soms een racket, een zweep, maar
stellig nimmer een zwaard.
(Chairil Anwar)
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Puisi Hendrik Marsman
Puisi Chairil Anwar

VERZ AWERK I

Gij hebt het oog van een ontwakend hert
En uw gelaat, uit doodsbleek licht der maan gegrift,
Is op uw marmren tor seen koele vlam

Gij hebt U-zelf zeer life,
En zoozeer houdt uw beeltenis u geboeid
Dat gij den adem aan uw mond ontrooft
En u verteert, zoozeer,
Dat gij de schim uwer weerkaatsing wordt,
Bezwijmt
En sterift.
………………………………

SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya ?

Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…….!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ………….!!
Selamat tinggal …………….!!

Dalam sajak Chairil Anwar “Selamat Tinggal” dan sajak Hendrik Marsman tentang seorang yang sedang berkata dalam “Verz Werk I”. Dari kedua puisi tersebut dapat dilihat adanya persamaan, yaitu tentang berkaca. Akan tetapi mendasarkan persamaan ini hanya atas dasar kejadian ini maka dari itu tidak tepat, apalagi isi pikiran yang terkandung dalam kedua puisi berlaian sama sekali. Begitu juga suasana, gaya pemikiran, dan pembentukannya.

Puisi Hendrik Marsman
Puisi Chairil Anwar

DE GESCHEIDENEN

De kamer leeg.
een vale grauwe nacht.
een schemering die aan den dood onsteeg –

wij liggen eenzaam op de zwarte baar
en zullen weldra op de klippen stranden

drijven wij naar den dood?
of in den ronde?

de rozen worden zwarter in uw haar –
waar zijn uw handen?

ORANG BERDUA

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam

‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?

Sajak Chairil Anwar “ Orang Berdua” dan sajak Marsman “De Gescheidenen”, bukan hanya terjemahan. Sajak Chairil Anwar mempunyai dunianya sendiri. Bandingkan: De kamer leeg, dengan pengisian Chairil Anwar yang lebih kaya: kamar ini jadi sarang penghabisan. Wijliggen eenzaam op de zwarte bar dengan pendinamisan Chairil: Aku dan dia hanya menjangkau rakit hitam. Dalam penyaduran ini Chairil Anwar memiliki pemikiran, pendalaman, penggolongan dalam situasi sendiri.
Puisi Hendrik Marsman
Puisi Chairil Anwar

DOODSSTRIJD

Ik lig zwaar en verminkt in de hoek van de nacht
weerloos en blind; ik wacht
op de dood die nu eindelijk komen moet.—
het paradijs is verbrand; ik proef roet,
dood, angst en bloed,
ik ben bang, ik ben bang voor de dood.

ik kan hem niet zien,
ik kan hem niet zien,
maar ik voel hem achter mij staan
hij is misschien rakelings langs mij heen gegaan,
hij sluipt op zwarte geruisloze voeten onzichtbaar
achter het leven aan.

hij is weergaloos laf;
hij valt aan in de rug
hij durft niet recht tegenover mij te staan
ik zou zijn schedel te pletter slaan.
ik heb nu nog, nu nog, een wild ontembaar
verlangen naar bloed

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Dari kedua puisi karya penyair di atas, terlihat jelas bahwa mereka menceritakan tentang kesepian, kesendirian dan bayangannya akan kematian dengan gaya kepenyairannya masing-masing. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan puisi Chairil Anwar dengan Hendrik Marsman bahwa mereka mempunyai kesamaan yang tidak begitu jauh tetapi motif mereka dalam menuangkan puisinya yang sangat kentara, Hendrik Marsman menggunakan motif kematian karena sebenarnya dia takut akan hal itu. Sedangkan Chairil Anwar menggunakan motif kehidupan yang sebenar-benarnya, walaupun dalam puisi membahas tentang kematian, tetapi dalam puisinya tersebut masih tersimpan sebuah eksperionisme yang bergejolak yang menandakan jiwa mudanya.


Persamaan
Khalayak mengetahui bahwa penyair besar Indonesia, Chairil Anwar dipengaruhi oleh penyair asal Jerman, Hendrik Marsman yang menulis puisinya antara dua perang dunia. Di antara dua penyair ini mempunyai kesamaan yaitu:
1.             Sama-sama memiliki sifat individualis;
2.             Vitalis, artinya kehidupan dalam segala aspeknya merupakan titik pusat dalam puisi keduanya;
3.             Memiliki jiwa emosionil;
4.             Semangat;
5.             Tertarik pada alam: laut, awan, dan angin; serta
6.             Penyair yang ekspersionisme, yaitu menhindari kalimat-kalimat lengkap, dia mencari kata-kata yang sarat mengandung arti, ritme-ritme yang mengejutkan dan kiasan-kiasan yang menikam tajam. Khas pula misalnya pengungkapan dengan pengaruh warna: kuning, hijau, lembayung, dst.
Perbedaan
Di samping persamaan yang dimiliki oleh kedua penyair itu, ada pula perbedaan antara keduanya, yaitu:
1.             Chairil Anwar direnggut dari kehidupan di tengah-tengah proses pertumbuhannya, sedangkan Hendrik Marsman masih punya cukup waktu untuk hidup dan tumbuh dewasa menjadi suatu pribadi yang membulat.
2.             Chairil Anwar mencintai tanah air dan bangsanya, rasa kebangsaan dan patriotismenya Nampak dalam sajak “Diponegoro”.
3.             Chairil Anwar bukan hanya seorang yang melukiskan kehidupan dalam puisinya, tetapi dia juga hidup sungguh-sungguh: megah dan menghanyutkan, dia mengalaminya dalam segala hal. Dia adalah nyala yang menjulang tinggi yang cepat-cepat dipadamkan. Manusia dan penyair pada Chairil Anwar identik. Pada Marsman tidak demikian halnya. Sajak-sajaknya yang vitalistis yang berbicara tentang kehidupan yang agung, keras, lembut, dan ulet menimbulkan prasangkaan kepada kita bahwa pengarang itu sendiri mempunyai kehidupan yang penuh gerak dan penuh nafsu, tetapi prasangka itu tidak benar: tidak banyak yang bisa diceritakan tentang riwayat hidupnya. Marsman sendiri menyadari; “Saya mengidentikkan diri saya dengan orang yang berbicara dari sajak-sajak saya, bukan saja supaya saya dapat dengan berani membelanya, tetapi juga supaya saya dapat merasakan kelepasan bila saya mengalami kesamaan dan keserupaan antara diri saya dan karya-karya saya.
4.             Chairil Anwar berdiri di tengah-tengah kehidupan, di tengah-tengah zamannya, pada Marsman kita tidak dapat mengatakan demikain, temannya Atrhur Lehning pernah menulis; dalam hal fisik dia tidak begitu vital, vitalisme yang dihubungkan orang dengan namananya paling-paling merupakan ciri-ciri puisinya, tapi dorongan yang menjiwai sebagai penyair memberikan kepada tokohnya sesuatu yang dinamis, dan gambaran yang karakteristik ini, gambaran yang hidup, cepat, itulah gambaran yang dikenal orang-orang sezamannya. Sebagai manusia, Marsman kurang daya tempur, kurang dinamis, kurang terlibat dengan zamannya sebagai penyair dia adalah vitalis. Vitalisme kepenyairannya itu diteriakkan untuk hidup agung, keras, dan penuh nafsu, adalah terlahir dari ketakutan yang besar kepada maut, yang menjadi pusat kepadanya tetapi itulah yang menjadi obesesi baginya.

4.             Simpulan
Jadi tidak pernah disangkal adanya pengaruh-pengaruh pada Chairil Anwar, tapi pengaruh-pengaruh ini sudah demikian meresap dalam jiwanya sehingga dalam menciptakan kembali pengaruh itu terjalin secara organis dalam hasil seninya. keasliannya ialah dalam penngucapan diri pribadi seperti yang telah ditentukan oleh pendidikannya, bacaannya, pemikirannya, perasaannya, dengan singkat pengalaman lahir batinnya.
Pada Chairil Anwar dapat dilihat pengaruh-pengaruh Marsman, malah demikian besar pengaruhnya hingga alat-alat perbandingan dan ungkapan penyair itu di sana-sini terpakai olehnya, mungkin dengan sadar dipakainya untuk menyatakan apa yang hidup dalam dirinya. Tergantung pada kritisi menyelidiki sampai kemana sadar pengaruh ini bisa dianggap telah merupakan bagian dari hidup dan jiwa penyair dan sampai kemana berupa tempelan.
  
DAFTAR PUSTAKA

Heru Santosa,Wijaya dan Wahyuningtyas,Sri. 2011.SASTRA: Teori dan Implementasi. Kadipito Surakarta: Yuma Pustaka.
Heru Santosa,Wijaya dan Wahyuningtyas,Sri. 2011.SASTRA: Teori dan Implementasi. Kadipito Surakarta: Yuma Pustaka.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar