MUHAMMADIYAH DAN
GERAKAN PEMBAHARUAN
DI INDONESIA
Muhammad Jalalludin
Universitas
Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA - Jakarta
ABSTRAK
Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan tajdid
atau pembaharuan. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah merupakan hasil pemikiran
Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendirinya. Muhammadiyah menyebarluaskan dakwah
Islam secara lisan atau tabligh (dakwah
bi-lisan) dan secara tindakan atau perbuatan (dakwah bil-hal). Muhammadiyah memiliki dua prinsip kebebasan
berpikir, yaitu ijtihad dan istinbath. Dalam rangka pembaharuan
Islam, kedua pemikiran tersebut mempunyai peranan yang tidak kecil bagi
Muhammadiyah untuk memecahkan persoalan. Dampak dari pembaharuan Muhammadiyah
dari awal lahirnya sampai saat ini telah memberi pencerahan bagi umat. Muhammadiyah
telah memberikan sumbangan yang besar, seperti: pelurusan arah kiblat, pendirian
lembaga-lembaga kemasyarakatan
seperti pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Dalam konteks kehidupan bangsa Muhammadiyah bahkan
telah memberikan saham dalam memodernisasi kehidupan masyarakat dari budaya
tradisonal menuju kebudayaan modern.
Kata
Kunci: Muhammadiyah, tajdid,
Kyai Haji Ahmad Dahlan, prinsip kebebasan berpikir, dan dampak pembaharuan
Muhammadiyah.
PENDAHULUAN
Wajah Islam di Indonesia ketika itu
sangatlah tidak sempurna karena tidak berkepribadian Islam. Hal ini disebabkan
pola-pola kebudayaan non-Islam telah terbentuk sebelum datangnya agama Islam di
negeri ini. Agama Hindu, Budha, dan Kejawen telah larung dalam kehidupan
masyarakat. Wajah Nusantara pun telah bercorak animisme dan dinamisme. Maka
tidak aneh apabila masyarakat Indonesia dalam kesehariannya biasa melakukan
hal-hal yang bersifat tahayul, khurafat, dan syirik sehingga umat Islam pun
secara tidak sadar sudah beradaptasi dengan kebiasan tersebut dan
mencampuradukkan ajaran Islam dengan kebudayaan lamanya. Pembaharuan dalam
ajaran Islam pun menemui jalan buntu dan kemandekan karena mendapatkan reaksi
dan penolakan dari masyarakat.
Muhammadiyah berdiri, untuk mengadakan tajdid atau pembaharuan yang bermaksud mengembalikan Islam yang ditampilkan
pemeluknya kepada dasar-dasar asli dari Al Quran dan As Sunnah. Seluruh sistem
ajaran dan struktur sosial serta kerangka berpikir tradisional dirombak menjadi
yang sesuai dengan ajaran Islam yang asli.[1]
Maka dengan hadirnya Muhammadiyah telah
menyucikan Islam dari pengaruh anismisme, dinamisme, Hindu, Budha, Kejawen, dan
adat yang sebelumnya telah mengotori kemurnian Islam. Oleh karena itu,
Muhammadiyah membuka pintu ijtihad
yang telah tertutup sebelumnya agar dapat mendobrak taklid masyarakat serta
meluruskan kesalahan dalam pengajaran ajaran Islam. Terlebih lagi pada
pembersihan ajaran Islam dari segala macam tahayul, bidah dan khurafat.
HAR. Gibb dalam Umar Hasyim mengatakan
bahwa bidang garap yang utama dari golongan pembaharu ada empat pokok, yaitu:
1.
Menyucikan Islam
dari pengaruh yang tidak benar atau bidah, khurafat.
2.
Pembaharuan
pendidikan yang lebih tinggi derajat dan martabatnya bagi kaum Muslimin.
3.
Pembaharuan rumusan
ajaran Islam menurut alam pikiran modern.
4.
Pembelaan Islam
terhadap pengaruh barat (sekularisme) dan ajaran Kristen.[2]
Dari empat pokok di atas, Muhammadiyah
dalam beberapa hal telah kembali pada ajaran Islam yang murni dan telah
merumuskan kerangka berpikir sesuai dengan yang dituntut oleh kaum pembaharu.
Namun juga dalam beberapa hal Muhammadiyah masih mencari rumusan tersebut
meskipun pada prinsipnya konsep pembaharuan itu telah diterima secara umum dan
keseluruhan.
Prof. DR. HAMKA
dalam M. Margono Puspo Suwarno, meletakkan tiga dasar yang mendorong Kyai Haji
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yaitu:
§
Pertama,
perkara disebabkan umat Islam yang telah mundur diabad yang tidak ada
sejarahnya, di dalam kemunduran Islam, kemunduran dalam segala lapangan, baik
pengetahuan umum, tatanegara, pengetahuan kemasyarakatan, pergaulan, peradaban,
dan lain-lainnya karena mereka meninggalkan asas yang semula, ialah tidak
memegang teguh Quran dan Hadits shohih, sehingga karena itu timbullah
bermacam-macam tahayul, berbagai fanatik membuta tuli dalam kalangan umat Islam
di Indonesia.
§
Kedua, kemiskinan yang menimpa
masyarakat sudah sangat memuncak disebabkan orang yang kaya raya dan para pemimpin-pemimpin
lupa kepada yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban dan dasar-dasar yang
telah diletakkan oleh agama mengenai harta benda dan kesejahteraan umum; dan
§
Ketiga,
tempat pendidikan Islam yang ketika itu berupa pesantren dan madrasah, kalau
disejajarkan dengan sekolah-sekolah modern, memang segala-galanya jauh
terbelakang, sedang Islam tak mengenal mundur, hanyalah mengenal maju saja
dalam menghadapi keduniaan ini.[3]
Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri
Muhammadiyah memang memiliki semangat dan gagasan yang berpangkal pada tajdid
atau pembaharuan. Walaupun sebagian kalangan di Indonesia memberikan catatan
bahwa pembaharuan Muhammadiyah pada saat itu lebih mengacu pada pembaharuan
amaliah dan bersifat khusus seperti dalam pelurusan arah kiblat, mendirikan
lembaga-lembaga kemasyarakatan
seperti pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Nurcholish
Madjid mengatakan, kendati pembaharuan Muhammadiyah bercorak amaliah sangatlah
penting karena tidak ada manifestasi lain dari Islam kecuali dalam bentuk
amaliah.[4] Lebih
dari itu, Haedar Nashir menegaskan, pembaharuan amaliah pun ternyata memiliki
implikasi atau pengaruh luas pada pembaharuan, bahkan dilihat dalam konteks
saat itu merupakan suatu terobosan.[5]
Dampak dari pembaharuan Kyai Haji Ahmad
Dahlan dapat disaksikan dalam kisah-kisah sukses gerakan Muhammadiyah setelah
puluhan tahun dari masa kelahirannya. Bahwa pembaharuan bukan hanya dilihat
pada sebermula gagasan itu muncul, tetapi juga pada dampak dan pengaruh dari
pembaharuan yang dirintis Muhammadiyah dalam seluruh perjalanan pergerakannya
di tengah dinamika zaman. Hal itu terbukti puluhan tahun setelah Muhammadiyah
memulai gagasan pembaharuannya, banyak golongan Islam yang mengikuti jejaknya,
bahkan bagi kelompok tradisional yang dahulu menentangnya. Bahwa di tengah
zaman baru Islam sungguh memerlukan tajdid atau pembaharuan.
PEMBAHASAN
Muhammadiyah yang
didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan sangat dikenal sebagai gerakan pembaharuan.
Pembaharuan yang ditampilkan Muhammadiyah selain melekat dalam pengakuan
objektif masyarakat luas, secara substansial juga dapat dibuktikan dari gagasan-gagasan
yang terlahir dari Kyai Haji Ahmad Dahlan. Selain itu dapat dirujuk pada pemikiran
resmi yang dituangkan atau dilembagakan dalam organisasi gerakan ini serta
wujud karya amaliah dari pembaharuan Muhammadiyah tersebut erat dan saling
berkaitan, yang melahirkan sistem gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharuan di Indonesia khususnya dan di dunia Islam pada skala yang lebih
luas. Pembaharuan Muhammadiyah itu bahkan telah mempertautkan dirinya dengan
matarantai gerakan pembaharuan Islam lainnya baik di Indoensia maupaun di dunia
Islam yang menandai kebangkitan atau kebangunan Islam awal abad ke-20.
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang
menimba ilmu agama Islam secara tradisional, kemudian dua kali bermukim sembari
beribadah haji di Makkah yang kala itu tengah berada dalam puncak suasana paham
Wahabiyah yang kuat, dan tidak mengecap pendidikan modern Barat, justru tampil
sebagai pembaharu (mujadid) dengan gagasan cemerlangnya yang melampaui batas
pendidikan dan pengalaman hidup yang dilaluinya. Gagasan dan pembaharuannya
ditunjukkan oleh sejumlah terobasan yakni meluruskan arah kiblat, shalat hari
raya di tanah lapang, cara memahamkan Islam yang bersifat tajdid, serta gagasan
orisinil tentang pemahaman dan implementasi surat Al-Maun. Ahmad Dahlan juga merintis pentingnya publikasi yang melahirkan
majalah Suara Muhammadiyah tahun 1915, memelopori pendidikan Islam modern yang
memadukan pelajaran agama Islam dan pengetahuan umum melalui metode klasikal
ala pendidikan Barat, dan mendirikan Pandu Hizbul Wathan tahun 1918. Hal yang
cukup monumental, tetapi jarang diangkat ke permuakaan ialah kepelopoarannya dalam
mendirikan pergerakan perempuan Islam yakni ‘Aisyiyah pada tahun 1917 ke ruang publik
yang kala itu dipandang tabu. Langkah pembaharuan semacam itu sungguh baru dan
merupakan lompatan untuk zamannya.
Pemikiran dan langkah Kyai
Haji Ahmad Dahlan tersebut kelihatan sederhana jika diukur dari sudaut pandang
saat ini, tetapi secara substansial dan dalam konteks zaman kala itu sungguh
merupakan terobosan yang luar biasa. Nurcholish Madjid menilai bahwa pembaharuan
yang dirintis Ahmad Dahlan bersifat break-trought
atau suatu lompatan dan terobosan, yang pembaharuannya tidak mengalami prakondisi
sebelumnya. Hal itu terjadi karena Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati
yang mampu menangkap jiwa tafsir Al-Manar dan mengkontekstualkan dengan zaman.
Kendati Ahmad Dahlan oleh sebagian orang pemerhati dinilai lebih menonjol
sebagai man of action (manusia amal)
dan percikan pemikirannya tidak luas sebagaimana ditulis Kyai Hadji dalam Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Haji Ahmad Dahlan
dan Tujuhbelas Kelompok Ayat Al-Quran.[6] Hal
yang dikemukakan Nurcholish Madjid itu merupakan pengakuan yang objektif atas
gagasan dan karya pembaharuan pendiri Muhammadiyah itu.
Muhammadiyah dan Kyai Haji
Ahmad Dahlan selaku pendirinya juga selalu dipertautkan dengan matarantai
gerakan Islam pembaharu di dunia Islam sebagaimana dipelopori oleh Ibn
Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha dalam gerbong modernisme atau reformisme Islam abad ke-20. Kendati
dalam sejumlah hal pembaharuan Muhammadiyah yang dirintis Kyai Dahlan memiliki
karakteristik sendiri yang berbeda dari gerakan dan tokoh pembaharuan di dunia
Islam sebelumnya itu, pengaitan Muhammadiyah dengan rangkaian gerbong
pembaharuan dunia Islam itu sekaligus memperkuat jati diri dan pengkuan publik tentang
hakikat, posisi, dan peran Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam. Artinya,
pembaharuan Kyai Dahlan dan Muhammadiyah telah memberikan kontribusi bagi kebangkitan
dunia Islam yang kala itu masih terseok-seok untuk bangun dari ketertinggalan
dan kondisi keterjajahan.
Spirit dan gagasan awal
pembaharuan Muhammadiyah selanjutnya dapat dilacak pada rumusan tujuan sebagaimana terkandung
dalan Statuten (Anggaran Dasar)
pertama yang dirumuskan dan diajukan kepada pemerintah Hindia Belanda tahun
1912. Statuten tersebut diajukan
setelah organisasi Islam ini menurut Kyai Sudja’ dideklarasikan di Gedung
Loodge Gebauw Malioboro, Yogyakarta pada hari Sabtu malam Minggu terakhir di
bulan Desember 1912 seratus tahun silam.[7]
Dalam Haedar Nashir, statuten Muhammadiyah
(Artikel 2) tersebut dinyatakan bahwa perhimpunan Muhammadiyah mempunyai
maksud: a. menyebarkan pengajaran Igama
Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di
dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada
anggauta-anggautanya.[8] Kata memajukan
merupakan isyarat kuat dari semangat memperbaharui hal-ihwal ajaran Islam, yang
didukung dan satu paket dengan ikhtiar menyebarluaskan yang tidak lain ialah
dakwah Islam yang bersifat ekspansif. Sejak itu istilah Islam yang berkemajuan
terus tergulir sebagai pesan pembaharuan yang digerakan oleh Muhammadiyah.
Muhammadiyah memiliki
dua prinsip kebebasan berpikir, yaitu ijtihad
dan istinbath. Kalau pada ijtihad akan terlihat suatu pemikiran
orisinil yang sistematis, maka pada yang kedua berisi cara berpikir berdasarkan
penisbatan, yang seringkali dikenal dengan istilah qiyas atau analogi. Dalam rangka pembaharuan Islam, kedua pemikiran
tersebut mempunyai peranan yang tidak kecil bagi Muhammadiyah untuk memecahkan
persoalan.
MT. Arifin menjelaskan,
Istinbath sebagai suatu cara berpikir
sering digunakan untuk mengambil makna peristiwa masa lampau melalui penarikan
kesimpulan. Hasilnya merupakan suatu pemecahan persoalan yang dihadapi oleh
Muhammadiyah pada masa yang lebih kemudian. Pemikiran ini sangat nampak jikalau
menghadapi persoalan yang berkaitan dengan usaha mempertahankan atau mengembangkan
prinsip pembaharuan. Pada umumnya yang menjadi bahan pertimbangan dalam rangka istinbath adalah kebijaksanaan atau
langkah praktis yang diambil oleh para sahabat Nabi atau para pemimpin awal
lahirnya Muhammadiyah.[9]
Sedangkan,
Ijtihad sebagai suatu cara
berpikir-bebas muncul di kalangan Muhammadiyah sebagai kritik terhadap keadaan
masyarakat umat Islam, serta kritik terhadap kemacetan-kemacetan lahiriah
karena adanya anggapan bahwa sesungguhnya pintu ijtihad telah tertutup dan dihentikan. Hal tersebut telah
menyebabkan setiap usaha untuk menafsirkan ajaran Islam secara baru ditolak dan
dianggap sebagai usaha dari luar Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.[10]
Ijtihad dalam
kehidupan pergerakan Muhammadiyah sangat berkaitan erat dengan ide pembaharuan
Muhammadiyah yang berbentuk pemurnian Islam sesuai dengan sumber primer Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini
peranan ijtihad sangat Nampak sebagai
suatu cara untuk mengembalikan suatu perkara kepada maksud dan motif suatu
hukum yang diletakkan dalam kedua sumber itu, atau untuk mengambil sesuatu
pengertian dari kedua sumber tersebut untuk menetapkan hukum atas suatu perkara
yang pada lahirnya tidak termaksud secara eksplisit dalam kedua sumber itu.
Oleh karena itu, maka dalam Muhammadiyah ijtihad
hukumnya wajib.[11]
Dimensi waktu akan
sangat berpengaruh pada pemahaman ajaran agama. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad pada waktu yang lalu mungkin
sangat tepat untuk waktu yang bersangkutan, tetapi sudah tidak relevan untuk
diterapkan pada masa sekarang. Dari pemikiran itulah maka Muhammadiyah
berpendirian bahwa ijtihad perlu
dikembangkan dalam masyarakat.
Muhammadiyah dalam
menyebarluaskan atau melakukan dakwah Islam pun tidak lepas dari spirit
pembaharuan. Terobosan yang dilakukan Muhammadiyah generasi awal ialah dakwah
tidak sekedar secara lisan atau tabligh (dakwah
bi lisan al-maqal atau dakwah bi
lisan). Tetapi sekaligus dan cukup menonjol dalam dakwah dengan tindakan
atau perbuatan (dakwah bi lisan al-hal
atau dakwah bil-hal) yang diwujudkan
dalam gerakan Al-Maun untuk penyantunan dan pelayan kaum miskin, pendidikan,
kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Dakwah dengan lisan
pun diperbaharui dengan dakwah melalui tulisan sehingga bersifat
non-konvensional seperti melalui majalah Suara Muhammadiyah (tahun 1915) dan
berbagai publikasi tertulis, yang waktu itu merupakan fenomena baru ketika
dakwah lebih tertumpu secara oral atau lisan yang searah. Didirikannya Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO) tahun 1922 sebagai lembaga pelayan kesehatan dan
pelayanan sosial yang kemudian berubah menjadi Pembina Kesejahteraan Umat (PKU)
maupun Weisshouse atau panti asuhan
dan pelayanan untuk orang-orang tidak mampu. Merupakan bukti dari pembaharuan
dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga masuk ke
ranah baru dengan mendirikan gerakan perempuan yakni ‘Aisyiyah tahun 1917, yang
menjadikan perempuan muslim sebagai pelaku dakwah atau pelaku gerakan
sosial-keagamaan. Padahal ketika itu pandangan kaum agama maupun masyarakat
masih bias gender dan menempatkan perempuan sekadar di ruang domestik
sebagaimana dominasi budaya patriakhi yang kuat. Dengan kata lain dakwah Muhammadiyah
kala itu bukan sekadar seruan atau ajakan keagamaan belaka, tetapi lebih luas
lagi bercorak sosial-kemasyarakatan dan menjadikan Islam sebagai agama untuk
pembebasan, pemberdayaan, dan pencerahan dalam kehidupan masyarakat luas. Islam
dihadirkan bukan sekadar dalam lisan dan tulisan, tetapi dalam tindakan dan amaliah
yang melembaga dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat dikatakan sebagai
bentuk baru dari pranata sosial Islam.[12]
Muhammadiyah sebagai
gerakan pembaharuan kendati pada masa awal memperoleh penentangan dari kalangan
tradisional, yang dinilai sebagai pembawa ajaran baru, tetapi lama kelamaan
menarik perhatian masyarakat sehingga dalam tempo sepuluh tahun setelah berdirinya
tahun 1912 kemudian mengalami perkembangan. Pada tahun 1922, yakni sepuluh
tahun sebelum Kyai Dahlan wafat, Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan
Islam telah menyebarluas ke berbagai daerah di luar Yogyakarta dengan lahirnya
cabang-cabang generasi awal seperti Pekalongan, Garut, Padang Panjang,
Makassar, di sejumlah daerah Jawa Timur, dan sebagainya. Pada fase berikutnya
yakni sampai tahun 1927 bahkan berkembang ke seluruh Indonesia atau Hindia Belanda
saat itu seperti Alabio (Kalimantan Selatan), sejumlah daerah Sulawesi
(Celebes), daerah-daerah di Sumatra termasuk Aceh. Pada awal tahun 1930-an
bahkan Muhammadiyah telah masuk ke Indonesia paling timur di sejumlah daerah
Nusa tenggara Timur seperti di Ende dan Flores. Kegiatan dakwah dan amal usaha
Muhammadiyah pun terus berkembang hingga makin lama semakin besar. Setelah
Indonesia merdeka tahun 1945, Muhammadiyah bahkan semakin berkembang dan masuk ke
seluruh ranah kehidupan bangsa dan negara, sehingga Muhammadiyah menjadi
oragnisasi modern yang besar dan bahkan terbesar di Indonesia.
James L. Peacock,
seorang antropolog dari Amerika Serikat dalam buku Haedar Nashir memberi
pengakuan tentang kebesaran Muhammadiyah:
“Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan
di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda
dibermacam-macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin
itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat
sejumlah pergerakan kecil-kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi
beberapa gerakan kedaearahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh,
Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta
anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan
pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan
yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan
sumbangan yang besar dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik
perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu
sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang
kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia.
‘Aisyiyah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang
terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organiasasi yang
utama dan terkuat di negara terbesar ke lima di dunia.”[13]
Pembaharuan
Islam yang bercorak tajdid meodernisme atau reformisme Islam selain menjadi
tolak ukur yang paling signifikan dalam menilai kepeloporan dan kebesaran
Muhammadiyah, justru dalam proses perjalanan yang sarat dinamika menjadi
identitas atau karakter spesial dari keberadaan gerakan Islam yang didirikan
Kyai Haji Ahmad Dahlan tersebut. Bahwa apapun bentuk dan karya yang dihasilkan
dari gerakan Muhammadiyah tahun 1912, gerakan Islam ini telah memelopori
gerakan tajdid atau pembaharuan Islam di Indonesia pada khususnya dan dunia
Islam pada umumnya. Kemampuan Muhammadiyah untuk terus bertahan selama satu
abad dan daya jelajahnya dalam mengisi ruang sosial-kemasyarakatan sebagai
gerakan Islam modernis atau reformis dengan dinamika pasang-surut yang
dilaluinya telah menorehkan sesuatu yang berharga bagi kebangkitan atau
pembaharuan Islam di negeri tercinta ini. Dalam konteks kehidupan bangsa
Muhammadiyah bahkan telah memberikan saham dalam memodernisasi kehidupan
masyarakat dari budaya tradisonal menuju kebudayaan modern.
KESIMPULAN
Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid atau pembaharuan cukup berhasil mengembalikan Islam pada
kepribadian Islam yang sesungguhnya. Segala bentuk amaliah yang dilakukan
Muhammadiyah dalam sistem gerakan pembaharuan Muhammadiyah memberi pencerahan
pada pembaharuan Islam di Indonesia khususnya dan di dunia Islam pada skala
yang lebih luas.
Gagasan dan semangat
Kyai Haji Ahmad Dahlam untuk mengembalikan Islam pada ajaran-ajaran yang murni
atau pembaharuan Islam merupakan suatu terobosan luar biasa yang dilakukan pada
zamannya. Hingga kini, pembaharuan tersebut tidak henti-hentinya diteruskan
oleh anggota-anggota Muhammadiyah, hingga dampak dari pembaharuan itu sangat
dirasakan oleh bangsa dan negeri ini. Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan
sumbangan yang besar dibidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik
perawatan kesehattan, rumah-rumah yatim-piatu, panti asuhan, dan lain-lain.
Muhammadiyah harus
terus hidup dan bekerja, baik dalam pemikiran maupun amaliah yang lebih berkemajuan.
Muhammadiyah harus terus berkumandang dan menjadi besar dalam gerak melintasi
zaman. Mengutip pesan Soekarno: “Muhammadiyah dalam memasuki era baru juga
memerlukan referensi dan metodolgi Islam yang lebih komprehensif guna menyusun
agenda pembaharuannya, sehingga lebih memiliki pijakan yang lebih sistematik,
kokoh, dan kaya dalam menampilkan Islam di tengah kebudayaan dan peradaban
modern saat ini dan ke depan.”
Dan aku
ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi
dia seperti wanita Pribumi- jadi aku harus tidak peduli?
Dia hanya
seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak
syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah….
Kompeni
Belanda tidak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus
tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi
perintis, pemuka, contoh bangsa. (Sebenarnya waktu itu ada beberapa di antara
orang Belanda yang memperhatikan keadaan Pribumi)
Max
Tollenaar adalah nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga
terdapat perbaikan redaksi, yang tidak semua aku setujui.
Personifikasi : Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada
terhingga indahnya. Jaringan jalan keretaapi membelah-belah pulauku, Jawa.
Pandang dua pemuda itu terasa menusuk punggungku.
Asindeton : Pemandangan
tambah lama tambah membosankan: tanah gersang, kadang kelabu, kadang kuning
keputihan.
Hiperbola : Kehebatannya
menandingi kesaktian para satria dan dewa nenek moyangku dalam cerita wayang.
Sekarang aku malu terpental-pental. Pikiranku mulai gila bergerayangan. Ia
terus menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi
bumi.
Sinekdoke : Jerman
malah sudah membikin kereta digerakkan listrik.
Metafora : Di
kejauhan sana samar-samar nampak gunung-gemunung berdiri tenang dalam
keangkuhan, seperti pertapa berbaring membatu.
Simile : Matanya
bak sepasang kejora bersinar di langit cerah.
Alegori : Jantungku
mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat.
Simbolik : Dia
telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk.
Pleonasme : Ia
berkaca dan melihat dirinya sendiri.
Anti klimaks : Para lurah, wedana, mantri, polisi, menyerbu pendopo.
Elipsis : Darsam!
(maksudnya adalah memanggilnya untuk menghadap)
Paradoks : Nampaknya
guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan aku
sebagai orang tak dikenal dan sama derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, MT. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasyim, Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus: dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Madjid, Nurcholish. 1983. dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, editor, Cendikiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES.
Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Sudja’. 2009. Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Jakarta: Al-Wasat.
Suwarno, M. Margono Puspo. 1986. Gerakan Islam Muhammadiyah: untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Percetakan Persatuan Yogyakarta.
[1] Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus: dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 3.
[3] M. Margono Puspo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah: untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Yogyakarta: Penerbit Percetakan Persatuan Yogyakarta, 1986), hlm. 28.
[4] Nurcholish Madjid, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, editor, Cendikiawan dan Politik (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 407.
[5] Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), hlm. 2.
[6] Nurcholish Madjid, Op. Cit., hlm. 310.
[7] Sudja’, Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal (Jakarta: Al-Wasat, 2009), hlm. 75.
[8] Haedar Nashir, Op. Cit., hlm. 5.
[9] MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 149.
[10] Ibid., hlm. 149-150.
[11] Ibid., hlm. 150-151.
[12] Haedar Nasihr, Op. Cit., hlm. 6.
[13] Ibid., hlm. 8-9.
MAKALAH
KRITIK SASTRA:
ANALISIS NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER BERDASARKAN TEORI POSTKOLONIALISME
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebuah karya fiksi menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang
menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang
kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan
pandangannya. Dalam menuangkan imajinasinya yang berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan, pengarang juga memasukkan unsur hiburan dan
penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Penyelesaian pengalaman
kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja bersifat subjektif.
Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi
pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun berupa khayalan, tidak
benar jika fiksi diangggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan
penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Karya fiksi meliputi novel, cerpen, roman, cerbung, novelat dan lain-lain.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil
imajinasi pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di
sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang
realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar
pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Dalam hal ini, pemakalah akan mencoba mengemukakan
kritik sastra terhadap sebuah novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang mengambil latarbelakang dan cikal
bakal nation Indonesia di awal abad
ke-20. Novel Bumi Manusia
mengemukakan semangat nasionalisme manusia pribumi untuk mendapatkan haknya di
negeri sendiri dan bebas dari belenggu tindak kekejaman dan ketidakadilan orang
Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan secara rinci dan jelas sehingga
pembaca dapat dengan mudah mengerti karakter/watak dari masing-masing tokoh.
Dari tokoh-tokoh dalam novel ini, Pramoedya Ananta Toer, berhasil menunjukkan
rasa nasionalisme yang begitu kuat ditanamkan dalam diri manusia pribumi masa
Kolonial Belanda. Novel Bumi Manusia
mampu mendeskripsikan tindakan kekejaman
dan ketidakadilan melalui hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda terhadap
manusia pribumi secara jelas, kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang
lainnya dan mengungkapkan sikap dan tindakan penindasan, kekejaman, dan
kelicikan orang Eropa. Dengan
menganalisis novel Bumi Manusia
dengan teori postkolonial, kami mengharapkan kita semua dapat mengambil sebuah
pelajaran penting tentang sejarah kolonial dan mendapatkan sebuah perenungan
besar terhadap karya seorang sastrawan kenamaan dan belajar banyak tentang
negeri ini dari karyanya.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas, maka pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan teori postkolonialisme?
2. Bagaimana
analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer berdasarkan teori postkonlonialisme?
3.
Bagaimana
kritik sastra dari novel Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer yang telah dianalisis berdasarkan teori postkonlonialisme?
C.
Pembatasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah yang telah dikemukakan, pembatasan masalah dalam makalah
ini adalah pada gejala postkolonial dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer serta kritik sastranya.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah di atas, kami merumuskan masalah dalam makalah ini pada
bagaimana kritik sastra novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori postkolonialisme?
E.
Tujuan
1.
Menambah
pengetahuan dan wawasan tentang teori postkolonial.
2.
Mengetahui
analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer berdasarkan teori poskonlonialisme.
3.
Mengetahui
kritik sastra dari novel Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer yang telah dianalisis berdasarkan teori poskonlonialisme.
4.
Membuka
wawasan kebangsaan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia karena telah
mengetahui perjuang para pahlawan.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
Teori
Postkolonialisme
Postkolonial berasal dari kata post yang berarti ‘setelah’ dan colonia yang berarti kumpulan. Munculnya
pandangan bahwa kolonial sebagai penjajah setelah adanya beberapa tindakan dari
negara-negara Eropa mengenai praktik-praktik kolonial yang selalu memeras
rakyat. Mereka memungut upeti dan harta benda lainnya secara paksa kepada
rakyat.
Postkolonial mengandung arti bahwa ada beberapa
perilaku yang terjadi setelah adanya penjajahan dalam suatu wilayah tertentu.
Secara definitif, postkolonial menaruh perhatian untuk menganalisis era
kolonial. Teori postkolonial dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap
masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas
golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi (Ratna, 2008: 81).
Postkolonialisme,
dari kata Post-Kolonial-isme, yang secara harfiah berarti paham mengenai teori
yang lahir sesudah zaman kolonal. Istilah postkolonial ini juga tak jarang
digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Namun
postkolonial tidak semata-mata mengacu pada makna “sesudah” kolonial atau juga
tidak berarti “anti” kolonial. Postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat
pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme
adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme.
Teori ini
termasuk masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya, atau banyak masyarakat
berbicara postkolonial itu tentang penjajahan. Objek penelitian postkolonial
menurut Ashcroft (Ratna, 2008: 90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah
mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang,
termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008: 90)
mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan
dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008: 90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan teori postkolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis
berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan
berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa
modern. Dari ide oposisi ini, postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan
yang terjajah dalam masa kolonial dan sesudahnya, terutama karena tema tersebut
tak relevan lagi, sebab sudah terlalu banyak jenis-jenis penjajahan baru. Inti
dari kritik postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam bentuk ‘fisik
penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana dan pengetahuan (bahkan
bahasa).
Postkolonialisme
merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas kolonialisme. Postkolonial bukan
berarti setelah kemerdekaan, tetapi poskolonial dimulai ketika kontak pertama
kali penjajah dengan masyarakat pribumi. kolonialisme dalam ruang privat, dan
menjadi sumber gugatan feminisme yang senafas dengan gugatan postkolonial.
Postkolonial
menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan
ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi,
masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar
pembenaran kolonialisme dan imperealisme. Berdasarkan uraian di atas, analisis
prosa fiksi dengan model analisis postkolonial dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep
kekuasaan, konsep penjajahan, masalah ras, identitas budaya, gejala kultural,
seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang
terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep postkolonial
tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
Latar sosial
yang mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan
sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang terdapat dalam
novel ini juga sangat membantu pembaca mengikuti jalan cerita novel ini.
Realitas sejarah dan kaitannya dengan realitas-realitas lain harus mampu
ditunjukkan oleh karya sastra realisme-sosialis (Ratna, 2004: 205).
Penggambaran latar sosial yang baik merupakan salah satu cara yang dapat
membantu pengarang dalam menunjukkan realitas sejarah dan kaitan-kaitannya
dengan realitas lain.
Postkolonialisme
Indonesia berasal dari Barat, tetapi objek, kondisi dan permasalahan yang
dibicarakan diangkat melalui dan di dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya
teori postkolonialisme Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang dapat
berinteraksi dengan teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada.
Fungsi selanjutnya dengan adanya teori ini adalah adanya kesadaran nasional.
Selanjutnya pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai hegemoni penjajah
terhadap bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang
lebih baik.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Analisis
Unsur Intrinsik
1.
Tema
Tema novel ini
adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan priyayi Jawa dengan
seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya di tengah pergerakan
Indonesia di awal abad ke-20.
2.
Tokoh
dan Penokohan
§
Minke
Minke, tokoh
utama, karena mempunyai peran yang paling penting dalam cerita, mendominasi
seluruh besar cerita. Tokoh protagonis, diberi empati oleh pembaca.
Penggambaran fisik : Seorang Pribumi tulen.
Narasi : Minke adalah seorang manusia berdarah priyayi
yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang
bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi simbol
dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Dialog : “Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan,
akal.”
Penggambaran
pikiran dan perasaan : Aku ini siswa
H.B.S., haruskah merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah? Apa guna
belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau
akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang
raja kecil.
§
Annelies
Mellema
Annelies
Mellema, tokoh utama karena mempunyai peran yang penting dalam cerita,
mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama
dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran
fisik : Di depan kami berdiri seorang
gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan
mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum
meruntuhkan iman.
Dialog : “Aku adalah seorang Pribumi, seperti mama.”
Penggambaran pikiran tokoh lain : Seperti ratu, Minke. Begitu lembut wajahnya.
Primadona dari Italia dan Spanyol, ballerina dari Prancis dan Rusia pun takkan
secantik dia.
§
Nyai
Ontosoroh
Nyai Ontosoroh, tokoh tambahan, muncul beberapa
kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan
tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran
fisik : Pemunculannya begitu mengesani
karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan
riasnya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat.
Narasi : Sejak detik itu hilang sama sekali
penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya
pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun.
Dialog : “Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang
kau berikan padanya, bertambah jujur dia padamu. Itulah Eropa!”
Penggambaran
pikiran dan perasaan : Tidak seperti
ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak.
Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang.
§
Robert
Mellema
Robert Mellema,
tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis,
tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan
menyebaban konflik.
Penggambaran
fisik : Ia berwajah Eropa, berkulit
Pribumi, jangkung, tegap, kukuh.
Narasi : Seorang pemuda Indo yang sangat mengagungkan
Hindia Belanda dan memandang rendah ribumi.
Dialog : Dan juga jangan lupa, kau hanya seorang
Pribumi.
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Hanya matanya yang
coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir
benar-benar menggelisahkan aku.
§
Robert
Suurhof
Robert Suurhof,
tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian cerita. Tokoh antagonis,
tidak diberi empati oleh pembaca. Ditafsirkan sebagai penentang tokoh utama dan
menyebaban konflik.
Penggambaran
fisik : Dia temanku di H.B.S., ia lebih
tinggi daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa tetes
atau gumpal.
Dialog : “Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup
kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu, Minke.”
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Aku tahu otak H.B.S.
dalam kepala Robert Suurhof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan,
dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah Eropa dalam
tubuhku.
§
Magda
Peters
Magda Peters, tokoh tambahan, muncul beberapa kali
dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak
menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran
fisik : Seluruh kulitnya yang tidak
tertutup kelihatan totol-totol coklat. matanya yang coklat bening selalu
kelap-kelip.
Narasi : Guruku melarang kami mempercayai astrologi.
Omong kosong, katanya.
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Ia mengesankan diri
seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu
mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Perasaan hormat
menggantikan.
§
Jean
Marais
Jean Marais, tokoh tambahan, muncul beberapa kali
dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak
menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Kakinya hilang satu akibat peperangan sewaktu masih jadi tentara.
Dialog : “Seniman besar, Minke, entah ia pelukis,
entah apa, entah peimpin, entah panglima perang, adalah karena disarati dan
dilandasi engalaman-pengalaman besar, intensif; perasaan, batin, atau badan.
Tanpa pengalaman besar, kebesaran seseorang khayali semata.”
Penggambaran
pikiran dan perasaan : Jean Marais,
pelukis, perancang perabot rumah tangga, bangsa Prancis, sahabatku, tak
berbahasa Belanda.
§
Herman
Mellema
Herman Mellema,
tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Penggambaran
fisik : Alisnya tebal, tidak begitu
putih, dan wajahnya beku seperti batu kapur. Rambutnya yang tak bersisir dan
tipi situ menutup pelipis, kuping.
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Tuan telah
tinggalkan pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers satu tuduhan telah berbuat
serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina.
§
Darsam
Darsam, tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari
sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak
menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran
fisik : Darsam, yang belum pernah aku
lihat itu muncul dalam benakku. Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan
clurit.
Narasi : Seorang
pendekar Madura yang sangat patuh kepada majikannya. Tapi karena sifatnya yang
selalu bertindak tanpa berpikir panjang, terkadang mengundang bahaya.
Dialog: Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai.
Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam
lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu.
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Ternyata dia memang
bisa dipercaya.
§
Dokter
Martinet
Dokter Martinet, tokoh tambahan, muncul beberapa
kali dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan
tidak menentang ataupun menyebabkan konflik.
Penggambaran fisik : Ia berumur empat puluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba
putih kecuali topinya yang dari laken kelabu. matanya yang sebelah kanan
menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada lubang kancing baju
sebelah atas.
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Bukan saja aku
anggap dia sebagai seorang dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi
kemanusiaanya, juga seorang yang mampu memberi benih kekuatan baru.
§
Ibu Minke
Ibu Minke, tokoh tambahan, muncul beberapa kali
dari sebagian cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak
menentang ataupun menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang ibu yang bijaksana dan sangat
menyayangi anaknya.
Dialog : “Terserah padamu kalau memang kau suka dan
dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan
tanggungjawabnya, tidak lari seperti kriminil.”
Penggambaran
pikiran tokoh lain : Kau tak pernah
menghukum aku, tak pernah mengadili putramu ini.
§
Ayah
Minke
Ayah Minke,
tokoh tambahan, muncul beberapa kali dari sebagian kecil cerita.
Narasi : Seorang ayah yang keras, pemarah, dan sangat
menjunjung tinggi adat istiadat Jawa.
Dialog : “Dengar kau anak mursal! Kau sudah jadi
linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban
sebagai anak.
§
Tuan
Asisten Residen B
Tuan Asisten Residen B, tokoh tambahan, muncul
beberapa kali dari sebagian cerita. Protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan
tidak menentang atau menyebabkan konflik.
Narasi : Seorang Belanda yang sangat menaruh
perhatian kepada Pribumi.
Dialog : “Minke, kalau kau bersikap begitu terus,
artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa
seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Mestinya kau sebagai
terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa
tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus
memulai sendiri.”
3.
Alur
dan Pengaluran
Alur cerita ini
menggunakan alur keras, yaitu akhir cerita tidak dapat ditebak. Pada awal dan
tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan berakhir bahagia
dengan pernikahan Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan
perpisahan Annelies dan Minke. Annelies harus pergi ke negaranya, Belanda,
sedangkan Minke tetap di Hindia sebagai seorang Pribumi.
Secara
keseluruhan novel ini menggunakan alur maju, tetapi ditengah cerita terdapat
kilas balik, yang terdapat pada kutipan berikut ini:
Agar ceritaku ini agak urut, biar kuutarakan
dulu yang terjadi atas diri Robert sepeninggalanku dari Wonokromo dibawa agen
polisi klas satu itu ke B….
Pengaluran yang
digunakan di dalam novel Bumi Manusia
ini adalah:
§
Teknik linier:
Peristiwa
berjalan secara runtun dari awal penceritaan perkenalan Minke dengan Annelies
sampai kemudian mereka berdua berpisah.
§
Tenik ingatan:
Minke
menceritakan semua kejadian yang dialaminya, layaknya orang yang sedang menulis
catatan harian.
4.
Latar
§
Latar
tempat
Wonokromo,
Rumah Nyai Ontosoroh: Orang menganggap
rumahnya sebuah istana pribadi, sekali pun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan
sudah Nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan jendela terbuka lebar.
Berandanya tidak ada. Sebagai gantinya sebuah konsol cukup luas dan lebar
melindungi anaktangga kayu yang lebar pula, lebih lebar daripada pintu depan.
§
Latar
waktu
Pagi itu sangat indah memang. Langit biru
cerah tanpa awan.
§
Latar
sosial
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
5.
Gaya
Bahasa
§
Diksi
Dalam novel
ini, pemilihan kata atau diksi yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa
Jawa pada beberapa bagian dalam novel ini, misalnya : sinyo, ndoro, raden mas,
kebo giro, mbedah praja mboyong putri, wisma, turangga, kukila, curiga, dan
lainnya.
§
Majas
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![*](file:///C:/Users/win7/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
6.
Gaya
Penceritaan
Penceritaan
dalam novel ini, pengarang sebagai pencerita intern. Pengarang hadir di dalam
teks sebagai tokoh utama Minke, jadi menggunakan kata ‘Aku’. Pengarang menyebut
tokoh-tokoh dengan kata ganti orang kedua, ketiga atau menyebut nama. Pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa
yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan
kata-katanya sendiri.
Selain itu
pengarang juga menggunakan sudut pandang ‘Aku’ pada tokoh lain tetapi hanya
sebagai gambaran sekilas saja, misalnya :
Juga karena mengutamakan urutan waktu aku
susun bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudian hari.
Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah
tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri.
“Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang,
ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual
diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong….”
7.
Amanat
Novel yang
dilatarbelakangi pergerakan Indonesia di awal abad 20 ini, menceritakan
pergerakan, perjuangan, dan semangat pemuda Indonesia di masa itu. Pengarang
menyerukan agar pemuda sekarang ini tetap mempunyai semangat itu meskipun
sekarang sudah tidak ada penjajahan kolonial.
“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil
sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” (Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer)
B.
Analisis
Postkolonialisme
Sesuai dengan judulnya, oleh pengarangnya,
Bumi Manusia dimaksudkan untuk
mempresentasikan bumi dan manusia Indoensia, dengan pengertian bahwa yang
dimaksudkan dengan Indonesia masih terbatas pada pulau Jawa, pulau dengan
jumlah penduduk 17.000.000 jiwa tahun 1900. Pada saat itu (van Niel dalam Ratna,
2008: 333) di Jawa hanya terdapat sekitar 70.000 orang Eropa, dan Cina sekitar
280.000 jiwa. Hanya seperempat dari jumlah orang-orang Eropa secara keseluruhan
merupakan Eropa totok, sisanya adalah Indo Eropa. Golongan kedua ini sekitar
50.000 orang, kedudukan ekonominya tidak dapat dikatakan baik. Di samping itu
hanya sebagian berhasil menjadi Eropa, diakui oleh ayahnya, sedangkan sebagian
lagi sudah terserap sebagai pribumi. Golongan terakhir ini kedudukannya
seoah-olah menjadi masyarakat termarginalisasikan, antara kedudukan sebagai
Eropa dengan pribumi, seperti Robert Mellema dan Robert Suurhof dalam Bumi Manusia.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa
luas wilayah dengan besarnya jumlah penduduk bukan jaminan bagi suatu kawasan,
wilayah negara menjadi berdaulat. Kolonialisme Eropa rata-rata merupakan negara-negara
dengan jumlah penduduk kecil, dibandingkan dengan tanah-tanah jajahan yang
dikuasainya. Masalah utama yang berperan adalah kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas inilah yang menjadi syarat utama mengapa Eropa, dalam
hubungan ini Belanda berhasil menguasai Indonesia selama tiga setengah abad.
Toer menciptakan preotipe manusia berkualitas seperti Ontosoroh, perempuan
berhati keras, disiplin, dan pemberani. Keberhasilannya diperoleh melalui
otodidak, tidak pernah mengenal bangku sekolah. Ontosoroh memiliki semangat
baja sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik,
bahkan dijual sebagai budak. Oleh karena itulah, ia berhasil menyelamatkan
perusahaan suaminya, sehingga pada zamannya menjadi terbesar di Surabaya. Magda
Peters melukiskan pribadi Ontosoroh sebagai berikut:
“…. Kalau ada barang seribu pribumi seperti
dia di Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi
gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama. Ingat,
kesan pertama, betapa pun pentingnya, belum tentu benar.” (Bumi Manusia, 2011: 347-348).
Masalah utama yang diungkap dalam Bumi Manusia adalah perbedaan ras bangsa,
yaitu Barat dan Timut, penjajah dan terjajah, Eropa dan pribumi, kulit putih
dan kulit berwarna. Pada umumnya raslah, yaitu ras Arya yang dianggap sebagai
ciri utama superioritas bangsa Barat. Ras juga yang mengondisikannya untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dengan perkembangan pesat yang terjadi sejak abad renaissance, khususnya abad pencerahan. Kegagalannya,
ilmu pengetahuan digunakan untuk menguasai bangsa lain, dengan menciptakan
model hubungan sebagai oposisi biner dengan konsekuensi selalu menempatkan
pihak lain sebagai inferior. Dalam Bumi
Manusia sikap superioritas seperti terjadi di atas dilukiskan melalui Herman
Mellema, suami Ontosoroh.
“Kowe kira, kalo sudah pake-pakean Eropa,
bersama orang Eropa, bisa sedikit Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”
“Tutup mulutmu!” Bentak nyai (Ontosoroh)
dalam bahasa Belanda dengan suara berat dan kukuh., “Ia tamuku.” (Bumi Manusia,
2011: 64-65).
Bumi
Manusia didominasi oleh perbedaan antara Barat dan Timur, bagaimana eropa
dengan peradabannya bermaksud untuk menguasai keseluruhan aset kekayaan tanah
jajahannya.
“Akhir-akhirnya,” Katanya kemudian dengan
suara rendah: “Persoalan tetap Eropa terhadap pribumi, Minke, terhadap diriku,
ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa….
Hanya kulitnya yang putih,“ ia mengumpat, “Hatinya bulu semata.” (Bumi Manusia, 2011: 489-490)
Gundik dan Indo merupakan masalah
penting dalam sastra postkolonial. Konotasi gudik adalah perempuan pribumi sebab
penjajah pada umumnya adalah laki-laki. Kesombongan ras dan hukum formal
seolah-olah melarang laki-laki Eropa melakukan perkawinan sah dengan pribumi
sehingga hubungan berumah tangga semata-mata untuk memuaskan kebutuhan
biologis. Pengarang melukiskan kedudukan gundik melalui sudut pandang Kommer
(seorang Indo yang membela HAM).
“Tulisnya,
perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo-Eropa yang berasal
dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi
bukan pribumi. Tidak diakui menjadi pribumi. Artinya, pribumi sama dengan anak gundik yang tidak diakui sah sang ayah. Ia
juga mengecam pengungkapan perkara pribadi. Kommer menilai jaksa dan hakim itu
tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari pengadilan pribumi yang dilakukan
Wiroguno, atas diri Pronocitro – barang dua ratus lima puluh tahunan lalu.” (Bumi
Manusia, 2011: 430).
Seperti di atas, satu di antara
peninggalan kolonial, adalah akibat-akibat kawin campur antara Belanda totok
dengan perempuan pribumi, yaitu Indo. Menjadi jelas menimbulkan ambivalensi
sekaligus mimikri. Ambivalensi sebagai akibat berpijak pada dua sisi, orientasi
Belanda totok, pada pihak ayah dan orientasi pribumi, pada pihak ibu. Kelahiran
Indo menimbulkan kesulitan dan memperoleh kewarganegaraan dan hak-hak atas hukum
formal lainnya. Meskipun demikian, Indo menjadi idaman sebagai akibat
pencampuran darah yang pada umumnya memiliki wajah tampan dan cantik. Hukum yang
lebih memihak pada penjajah menghapuskan hak perempuan pribumi sebagai ibu
kandung, yang dengan sendirinya juga mempersulit kedudukan masyarakat Indo. Melalui
tokoh Ontosoroh pengarang melukiskan kedudukan perempuan pribumi sebagai berikut.
….. Pada mulanya aku menduga, dengan
pengakuan itu anak-anakku akan medapat pengakuan hukum sebagai anak sah. Ternyata tidak, Ann. Abangmu dan kau
tetap dianggap anak tidak sah, hanya diakui sebagai anak tuan Mellema dan punya
hak menggunakan namanya. Dengan campur tangan pengadilan hukum justru tidak
mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau mama ini
yang melahirkan (Bumi Manusia,
2011: 136).
Ambivalensi sebagai akibat
pendidikan Barat jelas merupakan ciri penting sastra postkolonial. Sebagai bentuk
perwujudan pendidikan Barat, Minke menolak keras tradisi, ia menolak pola-pola
kehidupan feodal keluarga bangsawan. Minke dalam menyerap pendidikan Barat
dianggap telah melewati batas, tidak sesuai dengan aspirasi zamannya. Pengarang
melukiskan kejadian ini melalui ibu Minke terhadap Minke:
“Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda. Maka
kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu, bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan ayahandamu pun. Surat-surat
tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.” (Bumi Manusia, 2011:194).
Pada akhirnya, Toer memiliki
padangan tersendiri mengenai kolonialisme. Menurutnya, kolonialisme tidak terbatas
pada bangsa Belada dan Eropa, tetapi siapa saja yang ikut serta bertindak,
berbicara, dan berpikiran sama seperti apa yang dilakukan oleh Belanda. Jadi,
pribumi yang berada di bawah pengaruh kolonial sehingga menyetujui segala
sesuatu yang menjadi rencananya, adalah kolonial sebab mereka merupakan
perpanjangan tangan kolonial. Dalam kenyataannya mereka pun memperoleh
keuntungan, baik dalam bentuk material maupun kekuasaan. Pengarang menjelaskan
pandangan di atas melalui diskusi kelas di bawah asuhan Magda Peters, sebagai
berkiut:
“…. Tahukah para siswa apa politik
kolonial?” Tak terjawab.
Itulah stelsel atau tatakuasa untuk
mengukuhi kekuasaan atas negeri dan bangsa-bangsa jajahan. Seseorang yang
menyetujui stelsel itu adalah kolonial. Bukan saja menyetujui, juga
membenarkan, melaksanakan, dan membelanya. Termasuk di dalamnya juga mereka
yang bertujuan, bercita-cita, bermasksud berterima kasih pada stelsel
kolonial…. (Bumi Manusia, 2011: 314-315).
C.
Kritik
Sastra
Menurut Semi, kritik sastra
merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya
sastra, mengenai bernilai atau tidaknya sebuah karya sastra (Semi, 1978: 9).
Oleh karena itu, kami akan membuat kritik sastra berdasarkan pada pendekatan
yang telah kami analisis yaitu postkolonialisme.
Karya-karya Toer menarik
dibicarakan, pertama, sebagai akibat
kekayaan informasi yang berhasil disampaikan. Kedewasaannya, baik dalam
menggunakan bahasa maupun menggali isi, belum tertandingi oleh pengarang lain
di Indonesia. Kedua,
produktivitasnya, baik jumlah karya yang dihasilkan maupun jumlah halaman
judul-judulnya, khususnya sebagai kuartet Pulau Buru, menyebabkan pengarang ini
perlu diberikan perhatian tersendiri. Ketiga,
kontroversi sebagai akibat keterlibatannya dalam oraganisasi Lekra sehingga
selama berapa dasawarsa karya-karyanya dilarang beredar, tetapi kemudian
menjadi karya-karya terlaris sesudah zaman reformasi, jelas juga merupakan masalah
tersendiri. Pada gilirannya teori postkolonialismelah yang paling
berkepentingan terhadap karya-karya Toer dengan pertimbangan bahwa sebagian
besar di antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kolonialisme, nasionalisme, dan berbagai konflik yang ditimbulkannya. Bumi Manusia dianggap sebagai novel
terkuat dalam menampilkan pertikaian dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut.
Seperti di atas, Bumi
Manusia adalah novel pertama di antara novel yang disebut kuartet Pulau
Buru. Bumi Manusia pernah dilarang
peredarannya di Indonesia, tetapi justru diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
di negara-negara asing, bahkan pernah menjadi nominasi Hadiah Nobel. Dari segi
produktivias jelas Toer patut dipuji. Kuartet Pulau Buru saja, di luar
karya-karyanya yang lain berjumlah sekitar 2.000 halaman. Meskipun demikian,
sebagai akibat keterlibatanya dengan organisasi Lekra, Toer seolah-olah
terlupakan, baik dalam sejarah sastra dan bunga rampai, maupun kumpulan
sinopsis, dan dengan demikian juga dalam proses belajar-mengajar. Diduga
keterlibatannya ke dalam organisasi terlarang itulah yang menjadi indikator
bagi beberapa kritikus untuk mengaitkan karya-karyanya sebagai memiliki ciri
pertentangan kelas.
Memang benar Bumi Manusia akan mengemukakan pertentangan kelas sehingga
dikhawatirkan akan menggangu kestabilan masyarakat. Tetapi perlu diketahui
bahwa yang dimaksudkan bukan kelas antara komunis dan nonkomunis, kelas buruh
dan pemilik modal, kelompok elite dan nonelite sebagaimana diintrduksi dalam
teori Marxis. Bentuk kelas bermacam-macam dan dengan sendirinya tidak ada
masyarakat tanpa kelas. Keragaman kelas, apabila diarahkan pada tujuan-tujuan
yang positif akan melahirkan suatu masyarakat tentram. Justru dalam kehidupan
kontemporer diharapkan hadirnya keanekaragaman masyarakat. Atas dasar
keberagaman itulah, sebagai masyarakat multikultural dengan kompetensinya
masing-masing, kehidupan manusia akan mengalami kemajuan. Toer melangkah lebih
jauh, bukan semata-mata kelas nasional, melainkan internasional.
“Jean Marais, pelukis, perancang perabot
rumah tangga, bangsa Perancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda.”
Suasana jadi berubah. Soalnya dokter Martinet
tidak mengerti Melayu. Mama dan Annelies tak tahu Perancis, biarpun dokter Martinet
tahu. Hanya May dan aku yang tahu semua bahasa mereka. Dan May dengan cepatnya
melengket pada Annelies (Bumi Manusia,
2011: 387).
Masalah penting dalam kaitannya
dengan pelaksanaan pelarangan penerbitan adalah pemahaman bahwa karya sastra
bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Karya seni adalah aktivitas kreatif
imajinatif, kenyataan yang diciptakan, representasi dari kenyataan itu sendiri.
Dalam karya seni dianggap sebagai doktrin, tidak ada kejadian yang dapat
ditimbulkan kembali pada kenyataan yang sesungguhnya sebab segala sesuatu
merupakan rekaan pengarang. Di sinilah letak kelemahan sekaligus kekurangan
masyarakat kita, khususnya bagi mereka yang berada di luar kompetensi sastra,
menyamakan karya sastra dengan sejarah dan ilmu pengatahuan. Dengan kalimat
lain, belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi.
BAB IV
PENUTUP
B.
Simpulan
Berdasarkan hasil
analisis novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer berdasarkan teori postkolonialisme dapat disimpulkan
bahwa: bangsa pribumi selalu dianggap lemah oleh bangsa Eropa, setinggi apapun
jiwa nasionalisme bangsa pribumi, akan tetap kalah jika dibandingkan oleh
kekuasaan Eropa dan hukum pun akhirnya kalah karena adanya kekuasaan Eropa. Masalah
utama adanya penjajahan adalah pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Masalah utama pada novel Bumi Manusia
adalah tentang perbedaan ras. Oleh karena itu, dari kedua hal tersebut para
koloni merasa superioritas dan menginferioritaskan pribumi.
Dari analisis
novel ini pula diketahui bahwa banyak sekali pengaruh-pengaruh akulturasi
budaya dan penjunjung tinggian nilai-nilai yang datang dari Eropa. Seperti
masalah perkawinan antara Eropa totok dengan pribumi yang melahirkan seorang
Indo dengan sejumlah problematikanya. Selain itu, ambivalensi pendidikan barat
juga menjadi candu bagi pribumi dan mengagungkannya dengan ketidaksadarannya
telah melunturkan sendiri budaya bangsanya.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer menarik karena memiliki
kekayaan informasi. Kedewasaannya, baik dalam menggunakan bahasa maupun
menggali isi, belum tertandingi oleh pengarang lain di Indonesia.
Produktivitasnya, baik jumlah karya yang dihasilkan maupun jumlah halaman
judul-judulnya, khususnya sebagai kuartet Pulau Buru, menyebabkan pengarang ini
perlu diberikan perhatian tersendiri. Selain itu, kontroversi sebagai akibat
keterlibatannya dalam oraganisasi Lekra. Teori postkolonialisme yang paling
berkepentingan terhadap karya-karya Toer dengan pertimbangan bahwa sebagian
besar di antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kolonialisme, nasionalisme, dan berbagai konflik yang ditimbulkannya. Bumi Manusia dianggap sebagai novel
terkuat dalam menampilkan pertikaian dimensi-dimensi kemanusiaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Semi, Atar. 1978. Kritik Sastra. Bandung:
Angkasa.
Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Di
Pantara.
LAMPIRAN
§
Sinopsis
Cerita dalam Bumi Manusia diduga terjadi sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad
ke-20. Tokoh utamanya, di antaranya: Minke, Ontosoroh, dan Annelies. Minke
adalah putra Bupati B., siswa Hoogere
Burger School (HBS), penulis dengan nama samaran Max Tollenaar. Atas dasar
pendidikan Barat yang diterima, ia menolak adat-istiadat Jawa, tidak mau hidup
bersama di lingkungan keluarga, tidak tertarik pada jabatan pegawai negeri,
bahkan juga menolak untuk menjadi bupati. Sebagai anak cerdas, Minke lulus
nomor satu untuk wilayah Surabaya, nomor dua untuk Hindia Belanda. Keberhasilan
Minke dipuji oleh Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda, sekaligus tokoh
aliran Liberal di Belanda. Melalui kemahirannya berbahasa Belanda, Minke juga
dipuji oleh Asisten Residen Kota B., Herbert de la Croix. Setelah lulus HBS,
Minke kawin dengan Annelis.
Ontosoroh, waktu kecil bernama
Sanikem, anak Sastrotomo. Oleh ayahnya, dengan tujuan memperoleh jabatan,
Sanikem dijual sebagai gundik Herman Mellema, pemilik perusahaan ternak sapi
perah. Ontosoroh diambil dari nama perusahaan itu sendiri, yaitu Boerderij
Buitenzorg. Ontosoroh adalah perempuan luar biasa, otokdodak. Melalui
perkawinannya denganHerman Mellema, lahir dua orang anak, yaitu Robert Mellema
dan Anmelies. herman Mellema sebenarnya sudah punya istri di Belanda bernama
Nyonya Amelia Mellema Hermmers dan anak bernama Maurits Mellema. Herman Mellema
meninggal di rumah pelacur Babah Ah Tjong.
Annalies adalah gadis kreol, sangat
cantik, lembut, tetapi tangkas dalam bekerja. Meskipun lahir sebagai indo
tetapi ia lebih memihak pada pribumi. Annelies mengalami tekanan psikologis
sebagai akibat diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri, yaitu Robert Mellema.
Nasib malang
menimpah Ontosoroh sebagai akibat gugatan Maurits Mellema atas kekayaan Herman
Mellema. Ontosoroh dan Minke berjuang sekuat tenang, tetapi oleh karena hukum
lebih memihak pada Belanda, akhirnya perjuangan mereka gagal. Kekayaan
Ontosoroh dan Herman Mellema dikuasai oleh pemerintah kolonial. Annalies juga
dibawa ke Belanda dengan alasan perkawinannya dengan Minke tidak sah.
PERBANDINGAN PUISI KARYA CHAIRIL ANWAR DENGAN PUISI KARYA
HENDRIK MARSMAN
1.
Latar Belakang
Sastra bandingan merupakan
kajian tentang sastra yang memang belum begitu populer dilakukan di Indonesia.
Hal ini disebabkan sastra banding memerlukan wawasan yang lebih luas tentang
karya sastra itu sendiri, juga membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang
latar belakang budaya yang luas dari munculnya karya sastra tersebut.
Dalam sastra banding ada
dua kutub aliran yang sangat berpengaruh yaitu mazhab Perancis dan mazhab
Amerika. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra banding adalah membandingkan
sastra sebuah Negara dengan sastra lain dan membandingkan sastra dengan bidang
lain. Mazhab Amerika tersebut cakupannya lebih luas dibandingkan dengan mazhab
Perancis, yang menekan perbandingan sastra dari aspek-aspek pengungkapannya,
seperti tema, tokoh, dan lain-lain.
Puisi merupakan suatu
karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan sebagai medium komunikasi untuk
menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pencintanya di samping karya seni
lain. Jenis karya seni puisi masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan
tujuan. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk
mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni
tanda-tanda yang mempunyai arti. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang
yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat atau ditentukan
oleh konvensi masyarakat.
Karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari pengarangnya, sebab diantara keduanya terdapat “hubungan
kausalitas” (Aminudin, 1990: 93), yakni sebagai hasil kreatifitas pengarangnya,
karya sastra tidak mungkin lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Dalam
hal ini ada penyair yang menuliskan puisi dalam bentuk prosais, tapi ada juga
yang menuliskannya dalam bentuk umum. Ia berbentuk bait-bait yang terdiri dari
baris-baris dan pemenggalan katanya pun tidak terikat pada peraturan bahasa
tertentu. Ia bukan berbentuk seperti prosa yang membujur datar dari kanan ke
kiri. Fleksibilitasnya dan kebebasan bentuknya itulah yang membuat puisi
benar-benar tampak puitis.
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, maka makalah ini membandingkan persamaan dan perbedaan
yang terdapat dalam puisi karya Chairil Anwar dengan puisi karya Hendrik
Marsman. Adanya persamaan dan perbedaan dari puisi-puisi kedua penyair tersebut
telah memenuhi syarat untuk dibandingkan karena keduanya memiliki memiliki
perbedaan bahasa, perbedaan politik, dan perbedaan wilayah.
2.
Teori
2.1
Hakekat Sastra Banding
Sastra bandingan adalah
telaah atau analisis terhadap kesamaan dan pertalian karya sastra berbagai
bahasa dan bangsa. Telaah bandingan sastra ini khususnya dalam kesusastraan
Indonesia relatif baru (comparative
literature) (Zaidan, dkk., 1991: 123). Sastra bandingan merupakan kajian
yang menekankan pada relasi di antara karya sastra yang berbeda budaya. Mazhab
Perancis mengemukakan bahwa ahli sastra bandingan berusaha meneliti karya sastra
dengan membandingkannya dengan karya sastra lain dengan mempertimbangkan aspek
linguistik, pertukaran tema, gagasan, dan nasionalisme. Mazhab Perancis lebih
menekankan pada perbandingan sastra dengan sastra nasional yang didasarkan pada
aspek-aspek intrinsik.
Mazhab Amerika berbeda
dengan mazhab Perancis. Mazhab Amerika memiliki cakupan yang lebih luas seperti
yang dikemukakan oleh Hendry Remark, bahwa studi karya bandingan merupakan
karya sastra antarnegara, bangsa, di satu pihak dan studi bandingan antarbidang
di pihak lain. Mazhab ini mengkritik tolak ukur sastra nasional, seperti yang
dikemukakan mazhab Perancis, bahwa sastra nasional terlalu sempit, oleh karena
itu mazhab Amerika cenderung melihatnya sebagai tolak ukur yang bersifat
kultural. Perbedaan budaya dan bangsa sudah cukup bagi mazhab ini untuk
melaksanakan suatu perbandingan.
2.2
Hakekat Puisi
Puisi adalah bentuk
kesusastraan yang paling tua. Karya-karya besar dunia yang bersifat monumental
ditulis dalam bentuk puisi. Karya-karya pujangga besar seperti: Oedipus,
Antigone, Hamlet, Macbeth, Mahabharata, Ramayana, Bharata Yudha, dan sebagainya
ditulis dalam bentuk puisi. Puisi tidak hanya dipergunakan untuk penulisan
karya-karya besar, namun ternyata puisi juga sangat erat kaitannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dunia telah diperindah dengan adanya puisi.
Jika menghadapi sebuah puisi, kita tidak
hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata
indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang
hendak diucapkan oleh penyair. Pada intinya puisi dibangun oleh dua unsur
pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan struktur
batin atau makna, yakni pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair.
Kedua unsur itu merupakan kesatuan yang saling jalin-menjalin secara
fungsional. Penyair mempunyai maksud tertentu mengapa baris-barisnya dan
bait-baitnya disusun sedemikian rupa, mengapa digunakan kata-kata, lambang,
kiasan dan sebagainya. Semua yang ditampilkan oleh penyair mempunyai makna.
Bahkan, karena yang digunakan adalah kata-kata yang dikonsentrasikan, yang
dipadatkan, maka semua yang diungkapakan oleh penyair harus bermakna. Tidak
boleh mengungkapkan sesuatu yang mubazir.
Untuk dapat memahami puisi memang tidak mudah
karena perlu diketahui konteks kesejarahan puisi tersebut. Hal itu disebabkan
sebuah karya sastra (puisi) tidak ditulis dalam situsi kekosongan budaya
(Teeuw, 1980: 11). Berkaitan dengan itu,
Riffaterre dengan prinsip intertekstualitasnya mengatakan sebuah sajak biasanya
baru bermakna penuh dalam hubungannya (pertentangannya) dengan puisi lain. Riffaterre
menggunakan istilah hypogram, yaitu tulisan yang merupakan dasar sering kali
dasar yang implisit atau yang harus dijabarkan dari puisi lain untuk penciptaan
baru. Puisi tersebut sering bersifat kontras dan atau memutarbalikan amanat
sebelumnya.
I.A. Richards menyebutkan adanya hakikat
puisi untuk mengganti bentuk batin atau isi puisi dalam metode puisi untuk
mengganti bentuk fisik puisi. Diperinci pula bentuk batin yang meliputi
perasaan (feeling), tema (sense), nada (tone), dan amanat (intention).
Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi (diction), kata
konkret (the concrete word), majas
atau bahasa figuratif (figurativ language),
dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (rhyme
and rhytm) (1976: 129-225).
Antara bentuk dan isi puisi tidak dapat
ditarik garis pemisah yang tegas. Keduanya bersifat komplementer atau
gonta-ganti dan saling menutupi. Kedua bagian itu padu sekali, sehingga dalam
pengertian bentuk terimplisit juga pengertian isi dan demikian juga sebaliknya.
Unsur puisi yang lazim disebut unsur isi atau struktur batin meliputi tema,
amanat, nada, dan suasana. Sedangkan unsur intrinsik atau struktur fisik adalah
persajakan, penyusunan baris, bait, diksi, irama, kata konkret, bahasa
figuratif, tipografi, dan sebagainya.
3.
Analisis
Hendrik Marsman
Hendrik Marsman lahir pada tahun 1899 di
Zeist (dekat Utrecht) dan dibesarkan dan dalam lingkungan Protestan. Menjelang
akhir sekolahnya di HBS ia menulis sajak-sajaknya yang pertama. Ayah dari
Hendrik Marsman adalah seorang penjual buku di Zeist (yang dimilikinya pada
waktu itu hal yang paling penting), ibunya adalah seorang guru sebelum menikah.
Pada tahun keenam Marsman mengunjungi sekolah dasar Ikhwan (Moravia, pemukiman
sejak abad ke-18 di Zeist), tapi ia sesuai dengan tradisi keluarga Reformed
Belanda mengangkat. Dia memiliki kesehatannya yang buruk (ia menderita
paru-paru dan juga sedikit epilepsi).
Dia
senang menjadi seorang perwira angkatan laut, sebagai salah satu dari dua adik
laki-lakinya. Setelah pendidikan menengah dan ujian negara tambahan ia
menangkap hak untuk belajar di Leiden dan Utrecht hak. Marsman adalah 1929-1933
di Utrecht sebagai pengacara. Sudah dalam beberapa tahun muridnya Marsman
memulai debutnya sebagai seorang penyair. Setelah 1935 ia menyerah praktek
untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada sastra.
Pada
1929 ia menikah dengan Rotterdam guru Rina Louise Barendregt, yang memiliki
minat khusus untuk sastra Belanda. Ia melakukan perjalanan secara ekstensif dan
tinggal sebagian besar di luar negeri (Swiss, tetapi terutama Perancis). Dari
1925-1931 Marsman adalah editor dari The Blades Gratis, yang diterbitkan
beberapa manifesto sastra, setelah ia menerbitkan terutama di majalah sastra
inovatif Forum. Kemudian ia menjadi kritikus sastra dari New Rotterdam Courant.
Marsman berteman dengan para penulis Menno ter Braak dan Edgar du Perron, yang
ia dihargai, meskipun ia tidak setuju dengan mereka dalam segala hal.
Pengaturan kosmopolitannya adalah refleksi dari banyak perjalanan dia melakukan,
pertama ke Jerman, tetapi kemudian oleh Eropa selatan, di mana alam adalah
karakter gelisah menawarkan penangkis tenang. Awal ia mengambil dari latar
belakang Protestan ortodoks dan dia tertarik ke Katolik. Dia mempertahankan
hubungan baik dengan perwakilan dari Katolik sastra pemuda Anton dari Dunkirk
dan juga diterbitkan di majalah sastra Masyarakat Katolik. Dari 1936-1940
Marsman tinggal di Perancis.
Pada
musim semi tahun 1939 Marsman adalah untuk terakhir kalinya di Belanda, di mana
ia menjabat sebagai kepala dari para penyair muda kini telah dihargai. Perang
mengejutkannya di selatan Perancis. Setelah invasi Jerman barat pada tahun
1940, ia tewas ketika Berenice, kapal yang ia melarikan diri ke Inggris bersama
istrinya, tenggelam di Selat Inggris. Apakah kapal itu ditenggelamkan oleh
U-boat atau kepunahan penyebab lainnya tidak pasti.
Ketika
berita kematian Marsman di radio diberitahu, ayahnya sakit keras. Itu tidak
mengatakan kepadanya dan ia meninggal pada tanggal 24 Juli 1940. Terhadap latar
belakang fakta-fakta puisi mendapatkan ('The
Crossing' dari 1926) bahwa data pada tindakan seperti itu, atau mengerikan
"kedua" dimensi. Tidak hanya judul tapi juga pertama dua bait
sebenarnya benar secara harfiah terbukti.
Chairil Anwar
Chairil
Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal.
Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari
Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal
dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan
Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang
cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas
perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Chairil
masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk
orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah
pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk
menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada
usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah
dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun
pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan
bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang
internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald
MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini
sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi
tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa
kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu
memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka,
salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Sejak
kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul
Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika
semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya
ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun
dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan
itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh
dikatakan tidak pernah diam.
Nama
Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di
“Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh
tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil
ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati
tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Wanita
adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid,
Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama
gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis
Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur
panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah,
Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Vitalitas
puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah
akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh
tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam
usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet
Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman.
Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Analisis Puisi Chairil Anwar dengan Hendrik Marsman
Puisi Hendrik
Marsman
|
Puisi Chairil
Anwar
|
VLAM
Schuimende
morgen
en mijn vuren lach
drinkt uit ontzaggelijke schalen van lucht en aarde den opalen dag |
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
|
Dari
kedua puisi di atas, diketahui bahwa keduanya penyair yang ekspresionisme.
Ekspresionisme dalam sajak-sajak Chairil Anwar terdiri atas pendekatan kata
pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan
liris, penghilangan imbuhan dipergunakan untuk tenaga ekspresivitas dengan
hanya mengucapkan intinya saja. Chairil Anwar juga menggunakan penyimpangan
struktur sintaksis, agar membuat bahasa segar dan menarik karena keharuannya.
Misalnya:
Pemendekan kata “aku” dan “akan”:
Kalau
sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Sedangkan
ekspresionisme dalam sajak-sajak Hendrik Marsman mendapat pengaruh langsung
dari ekspresionisme Jerman, yakni yang berkenanan dengan vitalitas dan
pemberian bentuk, sekalipun harus ditambahkan bahwa ia tidak begitu jauh
seperti kebanyakan orang-orang sezamannya. Hal ini dapat dilihat dari puisinya,
yaitu:
VLAM NYALA
Schuimende morgen Pagi
berbuih
en mijn vuren lach dan
tawaku api
drinkt uit ontzaggelijke schalen menghirup api baiduri
van lucht en aarde dan bokor-bokor raksasa
den opalen dag paduan udara dan tanah
drinkt uit ontzaggelijke schalen menghirup api baiduri
van lucht en aarde dan bokor-bokor raksasa
den opalen dag paduan udara dan tanah
Sajak-sajak Hendrik Marsman dalam Verzen, sebagai karya pertamanya mengandung ciri keberanian untuk
berjuang, vitalitas yang bergejolak dan keperkasaan remaja, yang memberinya
perasaan bahkan dapat menaklukan semesta kepada kemauanya.
Puisi Hendrik
Marsman
|
Puisi Chairil
Anwar
|
DE HAND VAN
DEN DICHTER
Glazen
grijpen en leegen;
veel
jagen en reizen;
vrouwen
omhelzen en streelen;
strijden
op felle paarden
en
blinkende wateren splijten;
spelen
met licht en donker;
den
dag en den nacht doorrijden
onder
fluweel en schaduw en
flonkrende
sterrebeelden.
het
staat niet in mijn hand gegrift;
en
een hand is een leven, een lot;
ik
lees slechts in fijn scherp schrift
-
en dit geldt voor vroeger en later -
weinig
liefde en wijn, veel water,
soms
een racket, een zweep, maar
stellig
nimmer een zwaard.
zoo
is mij enkel bewaard
langzaam
maar vast te verwijven
in
nijver monnikenwerk:
bidden
en verzen schrijven
geel
op geel perkament,
en
mijn hand alleen te verstrengelen
met
mijn eigen andere hand
en
in een cel te versterven
oud
op een houten bank.
|
KEPADA KAWAN
Sebelum
ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam
dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama
masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum
bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak
lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar
merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan,
mari kita putuskan kini di sini:
Ajal
yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi
gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus
jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk
kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih
kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan
tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan
lagi apa yang kau perbuat,
Hilang
sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak
minta ampun atas segala dosa,
Tidak
memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari
kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali
lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan
pedangmu hingga ke hulu
Pada
siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
|
Pada
puisi di atas, adakalanya Chairil Anwar mempergunakan alat-alat yang didapatkan
dari Hendrik Marsman, tidak untuk menyatakan pikiran yang sama, tetapi
bertentangan dengan sumber pengambilannya, yaitu:
(dalam puisi
Hendrik Marsman ada juga baris yang memuat kata pedang, yakni):
weinig liefde en wijn, veel water,
soms een racket, een zweep, maar
stellig nimmer een zwaard.
(Chairil Anwar)
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Puisi Hendrik
Marsman
|
Puisi Chairil
Anwar
|
VERZ AWERK I
Gij
hebt het oog van een ontwakend hert
En
uw gelaat, uit doodsbleek licht der maan gegrift,
Is
op uw marmren tor seen koele vlam
Gij
hebt U-zelf zeer life,
En
zoozeer houdt uw beeltenis u geboeid
Dat
gij den adem aan uw mond ontrooft
En
u verteert, zoozeer,
Dat
gij de schim uwer weerkaatsing wordt,
Bezwijmt
En
sterift.
………………………………
|
SELAMAT
TINGGAL
Ini muka penuh luka
Siapa punya ?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…….!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ………….!! Selamat tinggal …………….!! |
Dalam sajak Chairil Anwar “Selamat
Tinggal” dan sajak Hendrik Marsman tentang seorang yang sedang berkata dalam
“Verz Werk I”. Dari kedua puisi tersebut dapat dilihat adanya persamaan, yaitu
tentang berkaca. Akan tetapi mendasarkan persamaan ini hanya atas dasar
kejadian ini maka dari itu tidak tepat, apalagi isi pikiran yang terkandung
dalam kedua puisi berlaian sama sekali. Begitu juga suasana, gaya pemikiran,
dan pembentukannya.
Puisi Hendrik
Marsman
|
Puisi Chairil
Anwar
|
DE
GESCHEIDENEN
De
kamer leeg.
een
vale grauwe nacht.
een
schemering die aan den dood onsteeg –
wij
liggen eenzaam op de zwarte baar
en
zullen weldra op de klippen stranden
drijven
wij naar den dood?
of
in den ronde?
de
rozen worden zwarter in uw haar –
waar
zijn uw handen?
|
ORANG
BERDUA
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
|
Sajak
Chairil Anwar “ Orang Berdua” dan sajak Marsman “De Gescheidenen”, bukan hanya
terjemahan. Sajak Chairil Anwar mempunyai dunianya sendiri. Bandingkan: De kamer leeg, dengan pengisian Chairil
Anwar yang lebih kaya: kamar ini jadi sarang penghabisan. Wijliggen eenzaam op de zwarte bar dengan pendinamisan Chairil: Aku
dan dia hanya menjangkau rakit hitam. Dalam penyaduran ini Chairil Anwar
memiliki pemikiran, pendalaman, penggolongan dalam situasi sendiri.
Puisi Hendrik
Marsman
|
Puisi Chairil
Anwar
|
DOODSSTRIJD
Ik
lig zwaar en verminkt in de hoek van de nacht
weerloos
en blind; ik wacht
op
de dood die nu eindelijk komen moet.—
het
paradijs is verbrand; ik proef roet,
dood,
angst en bloed,
ik
ben bang, ik ben bang voor de dood.
ik
kan hem niet zien,
ik
kan hem niet zien,
maar
ik voel hem achter mij staan
hij
is misschien rakelings langs mij heen gegaan,
hij
sluipt op zwarte geruisloze voeten onzichtbaar
achter
het leven aan.
hij
is weergaloos laf;
hij
valt aan in de rug
hij
durft niet recht tegenover mij te staan
ik
zou zijn schedel te pletter slaan.
ik
heb nu nog, nu nog, een wild ontembaar
verlangen
naar bloed
|
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku |
Dari
kedua puisi karya penyair di atas, terlihat jelas bahwa mereka menceritakan
tentang kesepian, kesendirian dan bayangannya akan kematian dengan gaya
kepenyairannya masing-masing. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan puisi
Chairil Anwar dengan Hendrik Marsman bahwa mereka mempunyai kesamaan yang tidak
begitu jauh tetapi motif mereka dalam menuangkan puisinya yang sangat kentara,
Hendrik Marsman menggunakan motif kematian karena sebenarnya dia takut akan hal
itu. Sedangkan Chairil Anwar menggunakan motif kehidupan yang sebenar-benarnya,
walaupun dalam puisi membahas tentang kematian, tetapi dalam puisinya tersebut
masih tersimpan sebuah eksperionisme yang bergejolak yang menandakan jiwa
mudanya.
Persamaan
Khalayak
mengetahui bahwa penyair besar Indonesia, Chairil Anwar dipengaruhi oleh
penyair asal Jerman, Hendrik Marsman yang menulis puisinya antara dua perang
dunia. Di antara dua penyair ini mempunyai kesamaan yaitu:
1.
Sama-sama memiliki sifat individualis;
2.
Vitalis, artinya kehidupan dalam segala
aspeknya merupakan titik pusat dalam puisi keduanya;
3.
Memiliki jiwa emosionil;
4.
Semangat;
5.
Tertarik pada alam: laut, awan, dan
angin; serta
6.
Penyair yang ekspersionisme, yaitu
menhindari kalimat-kalimat lengkap, dia mencari kata-kata yang sarat mengandung
arti, ritme-ritme yang mengejutkan dan kiasan-kiasan yang menikam tajam. Khas
pula misalnya pengungkapan dengan pengaruh warna: kuning, hijau, lembayung,
dst.
Perbedaan
Di
samping persamaan yang dimiliki oleh kedua penyair itu, ada pula perbedaan
antara keduanya, yaitu:
1.
Chairil Anwar direnggut dari kehidupan
di tengah-tengah proses pertumbuhannya, sedangkan Hendrik Marsman masih punya
cukup waktu untuk hidup dan tumbuh dewasa menjadi suatu pribadi yang membulat.
2.
Chairil Anwar mencintai tanah air dan
bangsanya, rasa kebangsaan dan patriotismenya Nampak dalam sajak “Diponegoro”.
3.
Chairil Anwar bukan hanya seorang yang
melukiskan kehidupan dalam puisinya, tetapi dia juga hidup sungguh-sungguh:
megah dan menghanyutkan, dia mengalaminya dalam segala hal. Dia adalah nyala
yang menjulang tinggi yang cepat-cepat dipadamkan. Manusia dan penyair pada
Chairil Anwar identik. Pada Marsman tidak demikian halnya. Sajak-sajaknya yang
vitalistis yang berbicara tentang kehidupan yang agung, keras, lembut, dan ulet
menimbulkan prasangkaan kepada kita bahwa pengarang itu sendiri mempunyai kehidupan
yang penuh gerak dan penuh nafsu, tetapi prasangka itu tidak benar: tidak
banyak yang bisa diceritakan tentang riwayat hidupnya. Marsman sendiri
menyadari; “Saya mengidentikkan diri saya dengan orang yang berbicara dari
sajak-sajak saya, bukan saja supaya saya dapat dengan berani membelanya, tetapi
juga supaya saya dapat merasakan kelepasan bila saya mengalami kesamaan dan
keserupaan antara diri saya dan karya-karya saya.
4.
Chairil Anwar berdiri di tengah-tengah
kehidupan, di tengah-tengah zamannya, pada Marsman kita tidak dapat mengatakan
demikain, temannya Atrhur Lehning pernah menulis; dalam hal fisik dia tidak
begitu vital, vitalisme yang dihubungkan orang dengan namananya paling-paling
merupakan ciri-ciri puisinya, tapi dorongan yang menjiwai sebagai penyair
memberikan kepada tokohnya sesuatu yang dinamis, dan gambaran yang karakteristik
ini, gambaran yang hidup, cepat, itulah gambaran yang dikenal orang-orang sezamannya.
Sebagai manusia, Marsman kurang daya tempur, kurang dinamis, kurang terlibat
dengan zamannya sebagai penyair dia adalah vitalis. Vitalisme kepenyairannya
itu diteriakkan untuk hidup agung, keras, dan penuh nafsu, adalah terlahir dari
ketakutan yang besar kepada maut, yang menjadi pusat kepadanya tetapi itulah
yang menjadi obesesi baginya.
4.
Simpulan
Jadi
tidak pernah disangkal adanya pengaruh-pengaruh pada Chairil Anwar, tapi
pengaruh-pengaruh ini sudah demikian meresap dalam jiwanya sehingga dalam
menciptakan kembali pengaruh itu terjalin secara organis dalam hasil seninya.
keasliannya ialah dalam penngucapan diri pribadi seperti yang telah ditentukan
oleh pendidikannya, bacaannya, pemikirannya, perasaannya, dengan singkat pengalaman
lahir batinnya.
Pada
Chairil Anwar dapat dilihat pengaruh-pengaruh Marsman, malah demikian besar
pengaruhnya hingga alat-alat perbandingan dan ungkapan penyair itu di sana-sini
terpakai olehnya, mungkin dengan sadar dipakainya untuk menyatakan apa yang
hidup dalam dirinya. Tergantung pada kritisi menyelidiki sampai kemana sadar
pengaruh ini bisa dianggap telah merupakan bagian dari hidup dan jiwa penyair
dan sampai kemana berupa tempelan.
DAFTAR PUSTAKA
Heru Santosa,Wijaya dan Wahyuningtyas,Sri.
2011.SASTRA: Teori dan Implementasi. Kadipito Surakarta: Yuma Pustaka.
http://nova-myutz.blogspot.com/2009/05/perbandingan-sajak-krawang-bekasi-karya.html, diakses 12 Juni 2013, pukul 6.40 WIB.
http://republicgothic.blogspot.com/2013/01/tinjauan-struktural-terhadap-puisi.html#.UbaUu-ew2uI, diakses 12 Juni 2013, pukul 6.50 WIB.
Heru Santosa,Wijaya dan Wahyuningtyas,Sri.
2011.SASTRA: Teori dan Implementasi. Kadipito Surakarta: Yuma Pustaka.
http://tatun666.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses 12 Juli 2013, pukul 6.43 WIB.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi
Puisi. Salatiga: Widya Sari Press Salatiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar