Kamis, 11 Desember 2014

CERPEN - AYAH, IBU, KINI AKU SARJANA

AYAH, IBU, KINI AKU SARJANA


HARI kembali lahirkan pagi.

Seperti biasa, ayah dan ibu selalu menyuguhkan senyum mereka menyapaku setelah terlelap dalam mimpi-mimpi. Mereka memang selalu berada di kamarku, menemani setiap kuterjaga. Disetiap pagi pulalah, aku tak pernah kenal bosan memandangi wajah mereka yang penuh cinta kasih, senyum mereka yang penuh harap, dan kembali mengingat-ingat setiap doa, mutiara, cita, dan asa yang terapal dari lisan mereka.

Setelah puas dengan ingatan. Aku bersegara membersihkan diri, sholat subuh, dan bersiap untuk menjalankan rutinitas harian.

Sebagai anak tunggal, tentunya aku harus mandiri. Semua pekerjaan rumah harus kuselesaikan terlebih dulu sebelum berangkat kuliah dan pulang hingga larut nanti setelah bekerja. Semua tuntutan itu mesti aku lakukan, untuk bisa menggapai impian.

Tiba saatnya untuk berangkat, kucari ayah dan ibu di kamar. Kujumpai mereka yang dibaluti senyuman, aku pun kembali melempar senyum, tanda berbagi kasih. Kuciumi kedua pipi mereka, kukecupi keningnya, dan mendekap mereka untuk merasakan hangatnya ketulusan cinta.

Setelah prosesi kekhidmatan cinta itu, aku pun dengan langkah pasti meninggalkan rumah menjemput ilmu, harapan, dan impian.

***

Sudah hampir empat tahun aku bergelar mahasiswa. Aku kuliah di salah satu kampus terbaik di timur Jakarta. Kampus yang banyak diminati karena prestasi, kemegahan gedung, dan asrinya pemandangan.

Tentunya, kalau bukan karena mendapatkan beasiswa, aku rasa aku tak akan sanggup membayar semua  biaya perkuliahan di kampusku ini. Belajar di sini memang bagian dari mimpiku saat masih duduk sebagai siswa sekolah menengah.

Kini aku menjadi mahasiswa tingkat akhir. Ini adalah bulan terakhir dalam masa perkuliahanku. Minggu-minggu ini aku harus fokus menyelesaikan skripsiku karena di akhir bulan ini akan ada sidang skripsi. Dan itu adalah kesempatan terakhir karena apabila aku gagal menyelesaikannya bulan ini, sudah tentu aku harus membayar biaya perkuliahan di semester baru tanpa ada potongan beasiswa lagi.

Beberapa temanku, sudah menjadi sarjana karena berhasil ikut sidang skripsi gelombang pertama bulan kemarin. Ya, wajar saja. Mereka memang cerdas dan/atau mungkin punya cukup banyak waktu untuk menyelesaikan skripsinya. Berbeda denganku, yang memiliki berbagai tuntutan hidup yang keras.

Selain menjadi mahasiswa, aku bekerja di sebuah perusahaan percetakan sederhana.

Bekerja di sini juga bagian dari strategiku. Menjadi seorang mahasiswa tentu selalu membutuhkan komputer untuk mengerjakan berbagai tugas dan juga membutuhkan alat cetaknya. Efek domino, dengan bekerja di perusahaan percetakan, aku bisa menghemat segala pengeluaran dalam perkuliahanku. Aku tak perlu ke rental untuk mengetik tugas-tugasku, aku juga tak perlu ke percetakan untuk mencetaknya. Hanya tinggal memanfaatkan segala fasilitas di tempatku bekerja, walau untuk bisa mendapatkannya aku harus menunggu sampai jam kerjaku usai dan tempat ini ditutup. Tak jarang juga aku sampai menginap dan bergadang semalam suntuk untuk menyelesaikan tugas-tugasku.

Untungnya pemilik perusahaan percetakan di tempatku bekerja adalah orang yang sangat baik, peduli, dan pengertian. Ia mengijinkan aku untuk memanfaat segala fasilitas di tempatnya untuk kugunakan. Rejeki memang tak pernah salah sasaran diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Tak terasa, angin membawa malam di atas pundakku. Lelah setelah seharian beraktivitas sangat kurasakan. Pagi tadi, dosen pembimbing skripsiku banyak memberi coretan, setiap coretan menjadi tugasku sekarang untuk segara kuselesaikan.

Setelah menyelesaikan revisi dan mencetaknya. Aku bersegera pulang untuk beristirahat, walau sudah terlalu larut, tetapi karena esok ahad kurasa akan lebih enak bila bersantai di rumah bersama ayah dan ibu.

***

“Jadilah sarjana yang bernilai! Kalau hanya sekedar sukses, tapi tak bermanfaat untuk orang lain, kamu bukanlah sarjananya ibu.” Kata-kata ibu saat berkumpul makan siang.

“Selain itu, kamu harus juga jadi sarjana yang mampu memberi perubahan yang nyata bagi negerimu. Agent of change itukan bagian dari peran mahasiswa. Apalagi kalau sudah menjadi sarjana, tentu harus lebih-lebih membawa perubahan, bukan justru menjadi apatis. Lihatlah sekarang betapa bobroknya negeri kita, hal itu bukan karena sedikitnya orang-orang terpelajar di sini, tetapi karena mereka tidak pernah adil terhadap dirinya, orang lain, dan tanah airnya. Mereka terlena akan title, kepentingan dan keuntungan yang bisa didapatkannya. Sarjana ayah harus bisa jadi orang terpelajar yang adil; adil sejak dalam pikiran, hati, dan perbuatan. Agar kelak kamu bisa menebar kebaikan dan membawa perubahan positif pada negeri tercinta kita.” Sambung ayah dengan menggebu.

Ingatan itu kembali menyeruak dalam secangkir kopi yang sedang kunikmati di rumah. Saat bersantai seperti inilah biasanya kata-kata ayah dan ibu menjadi candu dalam pikiran dan hatiku. Harapan mereka ialah aku menjadi sarjana seperti yang mereka kriteriakan. Itulah yang akan kukejar sekarang.

Mimpi-mimpi berterbangan di langit-langit imajiku. Segara kucari ayah dan ibu di kamar. Senyum mereka tak pernah pudar. Tak terasa airmataku satu persatu tumpah di lantai. Kudekap mereka erat, seakan telah menahun menahan rindu. Cinta kasihku terkulum dalam gumam. Kuciumi mereka, berharap nyata.

***

Tiba saatnya aku menghadapi sidang skripsiku. Segala doa terapal, semoga Allah senantiasa memberiku kemudahan, kelancaran, dan kesuksesan dalam penentuan babak akhir perkuliahanku ini.

Di rumah tadi, sudah banyak kucurahkan suka, duka, cemas, gelisah, takut, dan segala rasa yang kurasakan pada ayah dan ibu. Senyum mereka cukup menenangkanku. Banjir airmata di kamar tadi pun cukup menguatkanku sekarang.

Namaku dipanggil dan aku siap untuk mempertanggungjawabkan semua hasil penelitianku selama ini. Kedua mata penguji begitu tajam, namun kubayangkan senyum ayah dan ibu di rumah. Berubahlah semua ketakutanku menjadi kecintaan.

Alhamdulillah, Allah Maha Kuasa memudahkan segala urusan. Selesai sudah sidangku. Tinggal saja kutunggu hasilnya di malam yudisium nanti.

Dalam tunggu, aku termangu. Tak kusangka sebentar lagi akan ada keputusan; aku lulus dan menjadi sarjana. Tentu sesuai janjiku, menjadi sarjananya ayah dan ibu.

Di saat malam yudisium tiba, keputusannya adalah aku lulus, menjadi sarjana, dan mendapatkan nilai terbaik. Puji syukur pada Allah, yang memegang segala takdir dan keistimewaan.

Kebahagiaan menjelma senyum-senyum dan airmata. Ucapan selamat terus datang, hingga hingar-bingar itu hilang perlahan dan hanya tinggal malam. Aku pun bergegas pulang untuk berbagi kebahagiaan bersama ayah dan ibu.

***

Gemuruh suara adzan, membuatku terjaga. Seperti biasa ayah dan ibu hadir dengan senyuman ditiap awal terbukanya mataku. Tak ada yang lebih manis dan kudambakan, selain melihat senyum mereka.

Hari ini adalah hari yang dinanti semua mahasiswa. Hari yang merupakan hadiah terbesar seorang anak terhadap orang tuanya. Mereka akan dengan gempita merayakannya bersama. Semua momen akan dikekalkan lewat segala memori.

Setelah semua persiapan telah selesai kupersiapkan. Aku pun pergi ke kamar, menjemput ayah dan ibu. Senyum dan kemesraan mereka selalu terbingkai, aku pun membalas senyum, mengalirkan cinta.

Kami pun berangkat menuju tempat berlangsungnya wisuda. Setelah sampai, kulihat teman-temanku menggandeng mesra orang tua mereka sambil bersenda gurau dan sesekali tertawa. Aku pun turut bahagia, karena di dekapku ada ayah dan ibu.

Tiba-tiba seorang teman yang melangkah bersama orang tuanya menyapaku, “Kamu datang sendiri? Mana orang tuamu?”

“Tidak, aku bersama ayah dan ibuku.” Jawabku sambil menunjukan foto ayah dan ibu yang berbingkai senyum kemesraan dan menyiratkan kebahagiaan dari surga karena aku telah sarjana.***

Jakarta, 7 Desember 2014




PENULIS
JALAL AHMAD, seorang sarjana dari UHAMKA tahun 2014. Lahir di Ibukota Jakarta, dan tinggal di daerah Rawa Belong, Jakarta Barat. Aktif di Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia dan komunitas sastra di kampusnya; Komunitas Vanderwijck.