Minggu, 19 Juli 2015

CERPEN - JALAN CINTA-NYA

JALAN CINTA-NYA



SELESAI sudah akad nikah. Rouf terlihat lebih tenang, sebelumnya bola-bola keringat sebiji jagung keluar dari pori-pori dahinya. Ia tak pernah membayangkan pernikahan ini akan terjadi. Pernikahan yang paling entahnya.
Dari balik tabir, keluar seorang wanita dengan gaun muslimah yang indah dan bercahaya, dengan mata malu-malu–tertunduk–wanita itu menghampiri Rouf. Seketika Rouf diburu berbagai pertanyaan yang taksa, yang melayang-layang di atas kepalanya. Inikah wanita yang namanya telah ia sebut dalam ijab qabul tadi. Wanita yang belum pernah ia kenal, tetapi wajahnya begitu akrab.
Kini wanita bak bidadari itu tepat berada di hadapan Rouf, memandang sampai ke kedalaman hatinya. Rouf yang terheran tak bergerak sejurus pun. Lalu, wanita itu mengambil tangan Rouf yang dingin dan agak lembap terkena serangan kikuk yang dahsyat, kemudian menciumnya penuh kehikmatan, penuh ketakziman, dan penuh seluruh ketulusan cinta. Ciuman itu begitu terasa dalam menembus pori-pori dan mengalir pada darah, Rouf terkelu karena ledakan rasa syukur dalam dirinya. Dikecupnya kening wanita yang telah menjadi istri sahnya itu dengan cucuran airmata yang tanpa sadar telah mewakili rasa syukurnya pada Allah atas karunia dan kabulan doa-doa disetiap bilangan sujudnya.
“Semoga Allah memberkahimu di waktu senang dan memberkahimu di waktu susah dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan,” ucap seseorang yang bersinar airmukanya, yang telah menjadi saksi dalam pernikahannya itu. Seseorang yang begitu ia kenal dan mengenalnya. Suasana kekhidmatan itu betul-betul dirasakan dan nyata. Rouf merasa seperti terjebak di luasnya surga.
***
Agak kesiangan karena tak sengaja tidur setelah solat subuh tadi. Rouf langsung bergegas mandi dan mempersiapkan diri sebelum berangkat mengajar. Walaupun dalam batinnya berbagai pertanyaan berlarian, tetapi tak diindahkan. Rouf lebih berusaha tidak mengecewakan siswa-siswanya daripada sekedar melegakan hati menjawab pertanyaan yang datangnya tiba-tiba itu.
Sesampainya di sekolah, Rouf sebenarnya agak malu karena tak biasanya ia datang setelat ini. Tadarus bersama baru saja usai, itu tandanya kegiatan belajar mengajar akan dimulai. Rouf masuk ke kelas dengan senyum dan salam, seluruh siswa membalasnya dengan penuh takzim. Belum saja sempat duduk, Rouf telah kejatuhan pertanyaan dari salah seorang siswanya, “Pak, hari ini kok tidak pimpin tadarus?” Rouf sejenak terdiam, bukan karena pertanyaan siswanya, tetapi pertanyaan-pertanyaan dalam batinnya kembali berlarian, justru semakin cepat. Alasannya karena jawaban dari pertanyaan siswa itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat ia jawab pula dalam batinnya. Entah, mimpi apa ia setelah subuh tadi?
Selesai mengajar, Rouf segera menuju masjid. Bertemu kekasihnya, begitulah rutinitas Rouf di waktu dhuha. Setelah genap sujud dan salamnya, Rouf curahkan segala kegelisahan hatinya, karena pertanyaan-pertanyaan dalam batinnya belum bisa ia jawab.
“Ya Allah, Cintaku. Engkau-lah yang menggenggam hati manusia, bersebab Engkau-lah Maha Pemilik Hati. Mudah untuk-Mu menautkan hati sekalipun keduanya belum saling mencintai. Mudah untuk-Mu menyandingkan diri sekalipun keduanya belum saling mengenali, bersebab Engkau-lah Maha Pemilik Hati. Ya Allah, Cintaku. Engkau-lah yang menciptakan segalanya berpasangan, hingga Engkau pertemukan dua insan dalam mahabah-Mu di atas pelaminan suci. Ya Allah, Cintaku. Jika mimpiku datangnya dari-Mu sebagai tanda Engkau teguhkan hatiku untuk menikah. Maka, jadikanlah pernikahanku sebagai jalan menuju ridha-Mu.” Seketika airmata deras membasahi wajah Rouf, lantaran munajat penuh cinta pada kekasihnya.
Bel pulang sekolah pun berbunyi setelah semua aktivitas sekolah selesai. Rouf biasanya segera pulang untuk murojaah hafalan Qurannya. Waktu berjam-jam pun akan habis karena kekhusyukannya, hanya adzan magrib yang bisa membuatnya lepas dari kegemerannya itu.
Malam ini ada jadwal halaqoh di rumah Ustadz Baari. Selepas solat isya berjamaah, Rouf bersegera pergi ke rumah murobbinya itu. Di rumah Ustadz Baari sudah ada beberapa rekan halaqohnya yang berkumpul. Rouf pun bercampur dan bertukar tanya dengan mereka. Tak lama kemudian, Ustadz Baari membuka halaqoh dan meminta Rouf untuk membaca surah Al-Hujurat ayat 13. Setelah Rouf selesai, Ustadz Baari pun memulai taujihnya, “Dalam surat Al-Hujurat tadi, Allah berfirman, ‘Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.’ Dari ayat tersebut, kita tentu dapat menarik sebuah simpulan, bahwa dalam Islam kita diwajibkan bermuamalah agar saling kenal-mengenal,”
“Untuk mengingat tanda-tanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah, ‘Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.’ Surat Adh-Dhariyat ayat 49. Tentu kita paham, yang paling mutlak terlihat adalah diciptakannya laki-laki dan perempuan. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari alasan Allah memasangkan laki-laki dan perempuan, di antaranya adalah untuk menyempurnakan Islam dalam diri setiap hamba-Nya. Firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 21 menyebutkan, ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan dijadikan-Nya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya itu merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.’ Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, menikah bukanlah sekedar hanya pelepas dahaga kodrati. Menikah adalah ibadah, suatu jalan yang teramat indah untuk memahami cinta dan cinta-Nya. Menikah adalah sarana, sarana untuk menggapai keridhaan-Nya. Menikah menjadi awal sebermulanya hidup baru dan generasi baru yang mengenal Tuhannya.”
Setelah menyelesaikan taujih, Ustadz Baari pun menutup halaqoh dengan doa. Sekemudian tak lama, terdengar beberapa orang datang memberi salam. Rouf yang sedang asyik dengan secangkir teh tiba-tiba terdiam seketika karena melihat seorang wanita yang rasanya ia kenal karena wajahnya yang jelita dan bercahaya itu begitu akrab dalam ingatannya.
“Awas, jaga pandangan! Mengamankan diri dari fitnah jauh lebih baik daripada menunjukkan hasrat, sekalipun itu fitrah,” sindir Dzikri sembari mengusap wajah Rouf.
“Astagfirullahal ‘azhiim. Iya, antum benar. Ana cuma agak kaget, seperti pernah ketemu wanita itu di mana gitu.”
Dalam batinnya, bergejolak perasaan yang begitu hebat seperti ombak besar menghantam karang. Rouf merasa benar-benar akrab dengan wajah wanita itu. Ia selami pikirannya dalam-dalam untuk secuil ingatan. Dan ternyata, ketika ditemuinya, ingatan itu membawa Rouf pada mimpinya subuh tadi. Rouf ingat betul, wanita itu adalah wanita yang dinikahinya dalam mimpi. Semakin besar keyakinannya, bahwa Allah telah mempertemukan jodohnya atas kejadian-kejadian yang paling makna hari ini.
Setelah semua rekan-rekannya pulang dari rumah Ustadz Baari, hanya tinggal Rouf yang belum juga pulang. Ia berencana menceritakan kejadian yang dialaminya hari ini sekaligus menanyakan perihal wanita yang barusan bertamu bersama orangtuanya itu kepada Ustadz Baari.
Rouf membuka obrolan dengan murobbi yang begitu dihormatinya itu. Ia menceritakan soal mimpinya, lalu dikaitkan dengan materi taujih Ustadz Baari, dan analisanya bahwa wanita yang dinikahi dalam mimpinya adalah wanita yang barusan bertamu ke rumah Ustadz Baari.
“Apakah ini tanda Ustadz, kalau wanita itu jodoh saya?”
“Masya Allah, luar biasa ceritamu, Rouf. Tapi saya tidak bisa memastikan apa maksud mimpimu itu. Solatlah di sepertiga malam, tanyakan pada Allah, hanya Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Merencanakan. Saya hanya ingin menyampaikan, agar kamu tahu, kalau wanita tadi adalah keponakan saya. Ia datang bersama orangtuanya hendak memohon restu dan meminta saya untuk menjadi saksi dalam pernikahannya sabtu besok. Dari kecil, keponakan saya itu memang sudah dijodohkan orangtuanya dengan anak sahabatnya, seorang pengusaha muda yang sukses. Rencananya juga, keponakan saya itu akan diajakserta ke Madinah setelah menikah karena calon suaminya ini akan mengambil program doktor di Islamic University of Madinah.”
Tanpa tanya, tanpa kata lagi. Rouf segera mengambil tangan Ustadz Baari dan menciumnya, lalu berjalan keluar dengan wajah yang pasi. Jawaban murobbinya tadi telah mengecutkan hatinya. Membayangkan siapa bakal suami wanita itu saja sudah membuatnya pesimis, karena ia merasa jauh terbentang perbedaan dari sisi ekonomi dan status pendidikannya. Terlebih-lebih bila membayangkan mimpi dan khayalnya, Rouf serasa fobia karena tahu ternyata Allah hanya ingin mengantongi rasa sakit dalam saku hatinya.
Sesampainya di rumah, Rouf hanya termangu. Kusut segala hal dalam pikirannya, kusut segala rasa dalam hatinya. Layaknya anak kecil yang tak dibelikan mainan, Rouf menangis tersedu. Semakin lama dituruti napsu tangisnya, semakin hilang batas waktu. Tetapi tiba-tiba masuk kedalam hatinya sebuah ayat yang begitu ia kenal, “Laa tahzan innallaha ma’anaa,” setelah ayat itu diam-diam menyeruak masuk ke dalam hatinya, lipur segala kesedihan Rouf. Diingatnya pula sebuah ayat yang menjelaskan bahwa, Allah menimpakan kesedihan atas kesedihan, supaya hamba-Nya jangan bersedih hati terhadap apa yang luput daripadanya dan terhadap apa yang menimpanya. Rouf semakin tegar dan menyadari kini, selama ia memiliki Allah, ia akan selalu lebih besar dari masalahnya, lebih baik dari masa lalunya, dan lebih kuat dari rasa sakitnya.
Sampai tiba di sepertiga malam, Rouf bergegas wudhu dan solat. Diadukannya segala kesedihan, dipanjatkannya segala harapan, dan diserahkannya segala untung nasibnya pada Tuhan. Ia yakin; jodoh, rezeki, hidup, dan mati telah Allah tetapkan dalam kitab Lauh Mahfuzh.
Tanpa sadar karena lelah, Rouf terlelap di atas sajadahnya.
Kemudian kumandang adzan subuh membangunkan Rouf. Ada heran disekujur pikirannya, membuat degup jantung Rouf semakin cepat seperti diburu. Mimpi itu terulang. Persis. Sama. Akan tetapi, dalam mimpinya yang baru, terlihat semakin jelas wajah-wajah yang ada. Wanita itu, benar wanita yang dikatakan Ustadz Baari adalah keponakannya.
Disegerakannya solat subuh. Setelah genap ruku dan salam, Rouf kembali bermunajat, memohon petunjuk dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum juga terjawab, “Ya Allah, Cintaku. Aku mengharap cinta-Mu, cinta para hamba yang mencintai-Mu, dan kecintaan terhadap amal yang bisa mendekatkan diriku pada cinta-Mu. Jika memang benar wanita itu adalah jodohku, maka berikanlah aku jalan untuk menjemput titipan-Mu itu dalam balutan kehalalan cinta untuk menggapai cinta-Mu.”
***
Tidak juga ada kabar, tidak juga ada tanda bahwa wanita dalam mimpinya akan nyata dinikahkannya. Hari ini adalah hari Sabtu, tepat di mana wanita dalam mimpinya itu akan diakadkan oleh orang lain, bukan dirinya. Rouf telah berpasrah, menyerahkan segalanya pada Allah.
Tak lama kemudian, ponsel Rouf berbunyi. Telepon dari murobbinya. Ustadz Baari meminta Rouf untuk datang dalam acara akad nikah keponakannya itu. Ia meminta Rouf untuk membacakan Kalam Illahi. Walaupun ia tahu, hatinya akan tersayat melihat wanita yang diimpikannya dipersunting orang lain, Rouf mencoba tegar untuk datang karena berusaha menghargai murobbinya.
Sesampainya. Rouf segera menemui Ustadz Baari. Sesuai permintaan Ustadz Baari, Rouf pun membacakan Kalam Illahi. Orang-orang yang datang seakan tersihir mendengar Rouf membacakan ayat-ayat Allah dengan begitu merdu dan tulusnya. Rouf yang tak kuasa menahan airmatanya pun tersedan, tetapi ia tetap berusaha menyelesaikannya. Setelah selesai, Ustadz Baari meminta Rouf untuk duduk di hadapan penghulu dan wali nikah mempelai wanita. Rouf tak mengerti maksud permintaan dari murobbinya ini.
“Kenapa Ustadz meminta saya untuk duduk di sini?”
“Karena kamulah yang akan menikahi keponakan saya?”
Saking terkejutnya, wajah Rouf berubah menjadi begitu pucat. Darah dari atas kepalanya serasa turun cepat sampai ke kaki, sekemudian seluruh tubuhnya menjadi terasa begitu dingin.
“Calon mempelai prianya, tidak datang. Ia tidak siap dinikahkan dengan keponakan saya, alasannya karena ingin fokus dengan kuliah program doktornya. Selain itu, dia bilang, ‘sebenarnya dia telah menghitbah seseorang di Madinah, dan berencana akan menikahinya tahun depan.’ Jadi, agar tidak memberi malu keluarga, saya berharap, kamu bisa menggantikan posisinya menjadi calon mempelai pria untuk keponakan saya.”
“Tapi, saya tidak punya apa-apa untuk dijadikan mahar?”
“Kamu punya sesuatu yang begitu mahal dan sangat berharga untuk dijadikan mahar, justru lebih mahal daripada mahar calon mempelai pria yang gagal.”
“Saya tidak bawa apa-apa, selain Al-Quran saku ini?”
“Jadikan itu mahar. Selain itu, saya memintamu memaharkan hafalan Quranmu 30 juz untuk mempersunting keponakan saya. Bagaimana siap?”
“Insya Allah saya siap, Ustadz. Tapi apakah keponakan Ustadz telah mengenal saya dan menyetujui saya menjadi imamnya kelak?”
“Sudah! Itu urusan mudah. Berkenalanlah nanti setelah halal.”***

Jakarta, 29 Ramadhan 1436 H.
16 Juli 2015 M.

Penulis:
Jalal Ahmad, seorang guru bahasa Indonesia di SMK Al-Hidayah Lestari, Jakarta. Lulusan UHAMKA (Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 2014. Aktif dalam berbagai organisasi dan berbagai komunitas, salah satunya Komunitas Vanderwijck yang terus mengasah keterampilannya dalam menulis berbagai karya, baik sastra maupun ilmiah.