Rabu, 14 Mei 2014

KARYA INSPIRATIF - SANG AKTIVIS

SANG AKTIVIS
kepada Idham Fajar Shodiq


SUDILAH kiranya kawan duduk sejenak. Namun, maaf tak banyak yang dapat kusuguhkan, di sini hanya ada bale bambu untuk bersantai dan secangkir cerita yang inspirasinya kudapat dari seorang teman. Inspirasi itu memang terkadang datang darimana saja, bisa datang lewat lengang jendela, dari pintu-pintu, dan terkadang dari atap yang rembes karena rintik hujan yang mengendap di plafon pun bisa. Ya, begitulah. Itu karena inspirasi adalah sebentuk cerita yang datangnya dari mata air air mata yang mengandungi segala cita, baik canda, tawa, tangis, duka, dan hikmah yang datangnya dari sang Maha Cinta.
Kebetulan ada lomba menulis karya inspiratif dari GAPAI. Sebenarnya tidak terlalu berharap menjadi juara karena bukan itu tujuan utamaku menulis cerita ini, hanya saja aku ingin kalian mengetahui cerita dariku, anggaplah sebagai cerita biasa. Namun, apalah artinya sebuah karya bila tak menjadi manfaat dan bagi Tuhan tak menjadi nilai ibadah juga. Selain itu, aku memang ingin mengenalkan temanku yang sangat luar biasa. Namanya Idham Fajar Shodiq, dia temanku di kampus. Kami sama-sama kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta. Kami pun memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang guru. Ya, agar kelak dapat digugu dan ditiru, begitulah yang kami tahu dari dulu. Oleh karena itu, kami sama-sama menimba ilmu di FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Namun, bedanya dia mengambil program studi Pendidikan Matematika dan aku mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Awal pertemuanku dengannya adalah di masjid At-Taqwa, tepat di belakang kampusku. Aku masih ingat sekali, ketika itu aku baru saja merapalkan takbir sebagai tanda sebermulanya solatku. Namun, mataku yang tadinya khusuk dalam bayang-bayang Illahi pada sejadah panjang masjid terubah pandangnya pada seseorang yang tak berdiri dalam solatnya, dia hanya duduk saja dengan kedua kakinya yang berselonjor. Hah? Kuperjelas padanganku, ternyata satu di antara kakinya adalah kaki palsu. Ya, aku terkejut dan hilang khusuk dalam peribadatan rutin siang itu.
Solat pun berakhir dengan dua salam. Namun, aku masih terbebani pikiran, “Hebat betul orang ini! Dalam ketidaksempurnaan fisiknya saja, dia masih mau mengingat Tuhan, sedangkan di luar sana, banyak sekali orang-orang yang sibuk dan menyibukan dirinya serta menuhankan kesibukannya dengan tak menyisihkan sejenak waktunya untuk beribadah, bersujud, menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar batinku.
Semenjak pertemuan itu, aku mulai sedikit mengamatinya. Dia ternyata mahasiswa yang rajin dan senang mengikuti kajian-kajian di masjid dan di kampus. Sampai pada saat ada sebuah informasi terkait pengkaderan sebuah organisasi di fakultas kami. Aku dikagetkan dengan kabar yang mengatakan bahwa di HIMA PMIPA (Himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) ada seorang peserta yang menggunakan kaki palsu, tetapi mau mengikuti LKTD (Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar). “Pasti dia!” Dalam benakku meyakinkan. “Memang hebat betul semangatnya.”
Setelah selesai LKTD, aku yang masih tak enak badan karena lelahnya, mulai bertanya-tanya, “Apakah dia mampu mengikuti LKTD ini sampai usai dengan ketidaksempurnaannya, sedang aku saja yang tak bercacat merasa super-super capeknya karena segudang materi dan mesti naik turun di puncak pada malam hari dengan sejuta teka-teki permainan dari senior-senior HIMA?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam benakku dan terjawab beberapa hari setelahnya, ketika ada beberapa teman yang menceritakan tentang dia yang hebat, semangat, cerdas, dan tak pernah rendah diri atas kekurangannya itu.
***
 Tak terasa, sudah satu tahun kuliah. Ini adalah masanya aku menjadi seorang aktivis. Pelantikan adalah gerbang awal, sebuah janji terpatri dalam dada-dadaku dan rekan-rekan aktivis yang lain. Di atas panggung aula itu, aku melihatnya, tapi aku sudah tahu namanya, Idham. begitulah rekan-rekan memanggilnya.
Tak lama dari pelantikan, aku sudah cukup akrab bertegur sapa dengan Idham. Aku semakin tahu sepak terjangnya di kampus. Menjadi aktivis HIMA PMIPA dan menjadi aktivis yang aku pun tak mengikutinya karena merasa tak akan sanggup membagi diri kalau harus mengikuti banyak oraganisasi, yaitu PK IMM FKIP UHAMKA. Dia memang benar-benar menyukai berorganisasi karena dia berpikir bahwa organisasi adalah tahap awal untuk mengubah pribadi menjadi lebih teroganisir dan ketika lulus nanti dapat menjadi teladan yang baik. Selain itu, dia berpikir untuk apa merasa minder dengan kekurangan, “Toh, tiap manusia itu punya kekurangannya masing-masing kan, Lal? Hanya saja aku ditakdirkan Allah memiliki kekurangan fisik dan aku yakin Allah telah mengirim suatu kelebihan padaku sebagai gantinya. Maka haruskah aku menjadi seseorang yang murung dan terasing dalam pergaulan? Tidak kan? Aku tidak mau masuk ke dalam golongan orang-orang yang tak bersyukur, Allah telah banyak memberi dalam hidup dan kehidupanku. Jadi tidak ada alasan aku mengkufurinya.” Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seketika tersadap dalam benakku, mencabik-cabik rasa hatiku. Aku belum banyak mengetahui tentang bagaimana hidup ini, tapi dia sudah mampu menjadi pribadi yang tangguh dalam hidup ini. Aku menjadi sadar bahwa aku pun penuh celah, celih, dan bercacat. Meski tak pada jasad, namun pada hati dan pikiran ini yang selalu menganggap bahwa hidup tak ubahnya membuang waktu dan diriku serupa kemalasan yang kubentuk-bentuk sendiri rupanya. Di situlah kusadari kecacatanku.
Pernah sekali aku turut dalam kegiatan dari HIMA PMIPA. Outing Class ke UNY dan UGM di Yogyakarta. Betapa rasa kagumku kembali tumbuh karena dipupukinya dengan pembuktian semangatnya. Idham menjadi seorang ketua pelaksana dalam kegiatan sebesar itu. Aku dengar ceritanya dalam memperjuangkan kegiatan ini.
Di perjalanan menuju Yogyakarta saja, sosok aktivis yang satu ini semakin terlihat ketangguhannya. Dia mempersilakan aku untuk duduk di dalam bis, sedang dia berdiri dengan kakinya. Aku sudah mencoba menolak, tapi dia tetap tak membiarkan aku berdiri, “Ayolah duduk, tamu undangan harus dijamu dengan baik.” Begitulah candanya dan tetap memaksaku untuk duduk. Berjam, berhari, hingga kembali ke Jakarta aku sudah mengantongi banyak sekali cerita, ilmu dan tertulari semangat luar biasa Idham.
***
            Hari-hari terus berganti, ketika malam menjelma angka, pagi pun angka, dan senja yang berkali kutinggal serupa jemari tiada hingga. Aku sudah masuk pada semester akhir dalam masa perkuliahanku. Walaupun menjelang akhir perkuliahan ini ada tugas akhir yang mesti kuselesaikan sebagai titik akhirnya. Namun aku tak pernah meninggalkan organisasi. Begitu jua Idham. Kami yang sebelumnya sama-sama tergabung dalam DPM FKIP UHAMKA sebagai lembaga legislatif tertinggi di FKIP, dan sekarang telah memasuki fase berlembaga di tingkat universitas, Idham aktif sebagai Ketua Komisi II MPM UHAMKA, sedangkan aku lebih memilih menjadi staff KEMENDIK BEM UHAMKA.
Satu di antara program kerja KEMENDIK BEM UHAMKA adalah UHAMKA Menyala, yaitu suatu gerakan relawan mengajar di yayasan atau daerah-daerah yang membutuhkan pendidikan dan segala kebutuhannya. Dari sinilah aku mulai memupuk jiwa sosialku lebih dalam lagi, bahwa hidup itu mesti berbagi karena kebaikan harus didistribusikan. Aku menyenangi kegiatan ini, sampai pada saat aku dan rekanku di BEM UHAMKA mengunjungi sebuah yayasan yatim-piatu dia daerah Jakarta Selatan kembali dikejutkan dengan ulah si Idham, aktivis yang luar biasa itu. Ternyata dia sudah hampir lebih dari dua tahun mengajar di yayasan itu. Alangkah malu aku sebagai pribadi yang dianugerahi tubuh yang sempurna, namun baru menyadari bahwa hidup itu mesti berbagi. Sedangkan Idham yang hanya memiliki satu kaki saja tak pernah mengeluhkan hidupnya dan selalu menebar benih-benih kebaikannya di mana saja, hingga terlihat benih itu tumbuh menjadi akar yang kuat, batang yang kokoh, reranting yang bersambut lebat dipenuhi dedaun yang menyejukan hati setiap orang yang memandangnya.
Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang kamu dustakan?***

Jakarta, 15 Mei 2014