Rabu, 02 April 2014

CERPEN - SIMSALABIM ABRAKADABRA

SIMSALABIM ABRAKADABRA


Lagi musimnya orang-orang cari muka. Lagi musimnya orang-orang cari modal kampanyenya, tapi biasa saja kan? Toh, sudah banyak dari mereka yang telah merusak kepercayaan kita.
Kau mungkin satu di antara mereka?
Iya ataupun tidak. Tidak ada salahnya kan kalau aku bercerita? Toh, ini hanya sebuah cerita, mungkin bisa juga jadi canda tawa. Ya, bisa pula jadi renungan para manusia dan pemimpin bangsanya.
Duduklah sejenak, kan kuceritakan padamu duka-lara makhluk-makhluk selain kita karena ulah manusia. Setelah itu, mungkin bisa pula ada kata maaf yang harus kita selulerkan pada mereka.
Namanya Ruwo, lengkapnya Gondo Ruwo. Entah kenapa ia dinamakan seperti itu? Mungkin saja karena rambutnya yang panjang dan/atau ia yang bermukim lama di sebuah pohon dekat tanah kubang yang disebut rawa. Mengada-ngada memang tebakanku, tetapi tentu tak masalah karena bukan itu yang jadi bagian ceritanya.
Pada mulanya ia tinggal dibeberapa pepohonan besar, yang pada umumnya seperti makhluk sebangsanya. Ia sudah ribuan tahun menetap dan hidup sentausa, tetapi sejak orang-orang kampung jadi gila karena harta, hingga seperti sulap, simsalabim abrakadabra! Terubahlah ribuan pepohonan menjadi puluhan gedung-gedung tinggi yang mampu mencakar langit. Terubahlah kampung menjadi kota.
Tidak berperikesetan sekali bukan kita ini?
Ketika kita gencar mengampanyekan HAM, agar manusia diperlakukan secara berperikemanusiaan, tetapi kita lupa bahwa dunia diciptakan Tuhan bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk sebangsa mereka.
Napas-napas pepohonan telah berakhir, bebatang-batang, reranting-ranting, dedaun-daun dan segala rupa darinya telah terubah pula secara simsalabim abrakadabra! Terciptalah segala kebutuhan manusia darinya. Luar biasa bukan bangsa kita, atas nama modernisasi segalanya bisa berubah, termasuk alam.
Bisa pula kukatakan bahwa kita juga sudah tidak berperikepohonan?
Kalau kukatakan semua kebusukan kita, mungkin tak habis nantinya ceritaku ini. Baiklah akan lekas kuceritakan padamu karena kutahu kau pasti punya segudang kesibukan lain, bukan? Sebagai manusia begitulah kodratnya.
***
Kala itu angin sangat menggelitik, daun-daun makin gencar bertasbih, langit berkelir kemerahan, seperti biasa hari akan lahirkan malam. Adzan saling sambut mengumandang. Seorang lelaki keluar dari rumahnya menuju surau dan seorang wanita mengunci rumahnya pertanda tak kan lagi ada aktivitas luar, yang ada hanya mengajarkan anak-anaknya membaca sajak-sajak Tuhan dan bersiap larungi mimpi.
Abdullah seorang yang pandai agamanya, selepas mengajar kitab kuning bergegas menuju rumahnya. Tak jauh, hanya lima menit dari surau jika berjalan kaki, hanya saja kalau kau ingin ke rumahnya mesti berhati-hati karena harus melewati sebuah rawa kecil namun sangat dalam, orang-orang sering menyebutnya Rawa Bolong. Nah, tepat di samping rumah Abdullah ada sebuah pohon belimbing, besar sekali. Mungkin sudah tumbuh sebelum Abdullah dilahirkan.
“Assalamualaikum! Umi! Umi!” Ucap Abdullah ketika telah sampai di rumahnya sembari mengetuk pintu.
“Walaikumsalam!” Sahut-menyahut salam dari dalam rumah.
Pintu pun dibuka, di baliknya ada sesuatu yang dinanti, ialah seuntai senyum manis dan pertautan jemari. Aluyahlah sosok di balik pintu itu, ia segera mengambil tangan suaminya dan menciuminya berkali-kali serasa tak bosannya. Disaat itu pula, ada sebuah kening yang basah karena derasnya cinta dan rindu.
“Abi sudah makan?”
“Belum!”
“Ya sudah, yuk segera ke dalam! Anak-anak juga sudah menunggu Abi untuk makan sama-sama.”
“Iya, Sayang!” Balasnya lirih sembari tersenyum.
Kehangatan itu begitu terasa, walau malam menutupi sekujur tubuh kampung dengan dingin karena diam-diam jemari hujan mengetuk-ngetuk atap-atap rumah warga. Dari celah-celah reranting serta dedaunan, ada mata yang mengintip. Mata yang begitu tajam, seperti ujung-ujung jejarum.
Ruwolah pemilik mata itu. Ia tinggal di pohon belimbing samping rumah Abdullah. Sebagai makhluk yang tak sebangsa, Ruwo selalu menjaga hubungan baik dengan Abdullah karena memang tak ada alasan pula untuk ia mengusik. Abdullah sebagai manusia telah begitu baik dengannya. Setiap pekan Abdullah rutin merawat rumah tempat tinggal Ruwo. Menyirami, memotongi benalu, dan menyedekahi segala yang lahir dari rahim reratingnya.
Rekan-rekan sebangsa Ruwo belum tentu seberuntungnya karena banyak pula yang tinggal di pepohonan liar di kampung ini. Pernah Ruwo mendengarkan curhatan rekan-rekannya, ada yang risih dengan kertas-kertas yang ditempeli segelintir orang ketika malam  yang berisi gambar, nomor, foto, dan janji-janji yang memuakkan, ada juga yang tidak betah di rumahnya karena sering sekali menjadi tempat manusia jorok yang mengencingi rumahnya, belum lagi yang menjadi tempat pembuangan sampah, menjadi hingar-bingar para penjudi karena dijadikan tongkrongan mereka, dan lebih-lebih parahnya yang harus pindah-pindah karena sudah mulai banyak pohon yang ditumbangi karena lahan-lahannya akan dibangun menjadi rumah atau gedung-gedung.
Atas dasar itu pulalah Ruwo senantiasa menjaga rumah Abdullah. Pernah sekali ada seseorang yang berniat ingin mencuri di rumah Abdullah. Baru saja mengeluarkan perkakasnya untuk membuka pintu rumah, Ruwo sudah mengejutkannya dengan menampakkan wajahnya di depan pencuri itu. Alhasil, larilah ia sampai terkencing-kencing karena takutnya.
Walaupun saling menjaga, mereka tidak pernah bisa berbincang. Tentu karena Abdullah dan Ruwo dari bangsa yang berbeda. Abdullah melakukan hal itu karena ia sangat menjaga kebersihan dan mencintai pohon. Buktinya saja banyak sekali tumbuhan yang ia rawat disekitaran rumahnya, tumbuhan itu tidak besar-besar karena hanya tumbuh-tumbuhan jagung, singkong, dan berbagai jenis bunga. Hanya satu pohon yang besar, yang berdiri di samping rumahnya yaitu pohon belimbing.
Abdullah sangat menyadari dengan begitu rumahnnya akan terlihat lebih hijau dan mungkin juga dari beberapa bencana. Itupun terbukti ketika hujan terus-menerus turun di kampungnya, seluruh rumah di lingkungannya terkena banjir dan anehnya hanya rumah Abdullah yang tidak. Air yang mengalir melewati halaman rumahnya, dengan mudah menyerap ke dalam tanah. Entah ada atau tidak campur tangan Ruwo atas kejadian ini?
***
Pagi itu menjadi pagi yang begitu berbeda. Ruwo terkejut ketika Abdullah menyapanya. Sejak kapan ia bisa melihatku? Mungkin pertanyan itu yang keluar dari benak Ruwo.
“Kau melihatku, Abdullah?
“Iya, memangnya siapa kau?
“Aku Ruwo, aku penunggu pohon ini.”
“Ruwo?”
“Ya, Ruwo. Oh iya, ada yang ingin aku sampaikan padamu.”
“Katakanlah!”
“Terima kasih kau telah merawat tempatku selama ini. Kuharap kau tak akan pernah menebang pohon ini karena aku dan kau saling membutuhkannya.”
“Bagaimana bisa seperti itu?”
“Tentu bisa, kau lihat bukan kampungmu sekarang? Sudah tak ada lagi yang menanam pohon? Semua orang sudah dibutakan harta, ia tebang sebanyak-banyak pohon dan ia bangun sebanyak-banyak gedung. Ketika sudah datang pada mereka bencana, apalagi yang dapat mereka perbuat?
“Bagaimana kalau aku tetap menebangnya?”
“Kau tak akan selamat.”
“Apa maksudmu?”
“Pikirkanlah itu sendiri, Abdullah!”
Seketika pula Abdullah tak bisa lagi untuk melihat Ruwo. Abdullah terus memikirkan apa-apa yang telah dikatakan Ruwo. Akan tetapi, baginya segala perkataan makhluk-makhluk semacam Ruwo tidak boleh dipercaya.
Abdullah pun masuk ke dalam rumah menyiapkan segala perkakas untuk menebang satu-satunya pohon besar yang ia punya. Dengan golok yang dipegangnya, ia pun menebasi batang pohon belimbing itu hingga pada akhirnya tumbanglah pohon tersebut.
Ruwo yang melihat tempatnya telah dirubuhkan, akhirnya segera pergi dari tempat itu. tak lama kemudian tiba-tiba datang hujan deras mengguyur kampung.
Dalam sehari hujan tak kunjung henti, air semakin lama semakin naik. Tak biasanya rumah Abdullah mulai tergenang air walau hanya sebatas mata kaki. Abdullah hanya berpikir ini hanya sebuah kebetulan saja.
Hari demi hari hujan tak juga kunjung berhenti. Segala macam ritual telah dilakukan, dari melakukan solat penolak bala sampai pada ritual aneh dengan menaburkan garam ke seluruh penjuru kampung. Akan tetapi tetap saja hujan tak kunjung berhenti.
Seluruh warga mulai sibuk mencari tempat untuk mengungsi. Namun, sepanjang mereka cari tak juga mereka temukan. Seluruh daerah telah terkempung banjir. Satu persatu warga mulai terserang penyakit. Penyakit yang sangat aneh. Tubuh mereka menjadi gatal dan dipenuhi oleh bintik-bintik besar seperti bisul. Bayi, anak-anak, remaja, dan orang tua semua terkena penyakit ini. Setiap menitnya selalu saja ada warga yang mati karena ketidaksanggupan mereka menahan sakitnya.
Abdullah semakin gelisah karena hanya tinggal dia yang belum terkena penyakit tersebut. Istri serta anak-anaknya tak luput dari penyakit itu. Ia pun mencari Ruwo untuk mencari cara mengatasi bencana yang begitu besar melanda kampungnya ini.
Di sekeliling rumah sampai ke sekeliling kampung Abdullah terus mencari Ruwo sembari memanggilnya, tetapi tak juga ia temukan dan tak juga mendapat jawaban. Sampai pada akhirnya, Abdullah mulai merasakan penyakit aneh yang diderita seluruh warga kampungnya. Mula-mula muncul bintik-bintik kecil disekujur tubuhnya, lama-kelamaan bintik-bintik tersebut membesar, pecah dan mengelurkan nanah. Nanah itu bercampur pada air yang telah menenggelami kampung setinggi pundak orang dewasa.
Demikian cerita ini. Seperti simsalabim abrakadabra, bukan? Jika manusia sudah tidak bersahabat dengan semua yang Tuhan ciptakan. Entah kutukan apa yang terjadi atas apa yang telah manusia lakukan?***


Jakarta, 22 Februari 2014