JALAN
CINTA-NYA
SELESAI sudah akad nikah. Rouf terlihat lebih tenang,
sebelumnya bola-bola keringat sebiji jagung keluar dari pori-pori dahinya. Ia tak
pernah membayangkan pernikahan ini akan terjadi. Pernikahan yang paling
entahnya.
Dari balik tabir, keluar
seorang wanita dengan gaun muslimah yang indah dan bercahaya, dengan mata
malu-malu–tertunduk–wanita itu menghampiri Rouf. Seketika Rouf diburu berbagai
pertanyaan yang taksa, yang melayang-layang di atas kepalanya. Inikah wanita yang
namanya telah ia sebut dalam ijab qabul tadi. Wanita yang belum pernah ia
kenal, tetapi wajahnya begitu akrab.
Kini wanita bak bidadari itu
tepat berada di hadapan Rouf, memandang sampai ke kedalaman hatinya. Rouf yang
terheran tak bergerak sejurus pun. Lalu, wanita itu mengambil tangan Rouf yang dingin
dan agak lembap terkena serangan kikuk yang dahsyat, kemudian menciumnya penuh
kehikmatan, penuh ketakziman, dan penuh seluruh ketulusan cinta. Ciuman itu
begitu terasa dalam menembus pori-pori dan mengalir pada darah, Rouf terkelu karena
ledakan rasa syukur dalam dirinya. Dikecupnya kening wanita yang telah menjadi
istri sahnya itu dengan cucuran airmata yang tanpa sadar telah mewakili rasa
syukurnya pada Allah atas karunia dan kabulan doa-doa disetiap bilangan sujudnya.
“Semoga Allah memberkahimu
di waktu senang dan memberkahimu di waktu susah dan mengumpulkan kalian berdua
dalam kebaikan,” ucap seseorang yang bersinar airmukanya, yang telah menjadi
saksi dalam pernikahannya itu. Seseorang yang begitu ia kenal dan mengenalnya.
Suasana kekhidmatan itu betul-betul dirasakan dan nyata. Rouf merasa seperti
terjebak di luasnya surga.
***
Agak kesiangan karena tak
sengaja tidur setelah solat subuh tadi. Rouf langsung bergegas mandi dan
mempersiapkan diri sebelum berangkat mengajar. Walaupun dalam batinnya berbagai
pertanyaan berlarian, tetapi tak diindahkan. Rouf lebih berusaha tidak
mengecewakan siswa-siswanya daripada sekedar melegakan hati menjawab pertanyaan
yang datangnya tiba-tiba itu.
Sesampainya di sekolah, Rouf
sebenarnya agak malu karena tak biasanya ia datang setelat ini. Tadarus bersama
baru saja usai, itu tandanya kegiatan belajar mengajar akan dimulai. Rouf masuk
ke kelas dengan senyum dan salam, seluruh siswa membalasnya dengan penuh
takzim. Belum saja sempat duduk, Rouf telah kejatuhan pertanyaan dari salah
seorang siswanya, “Pak, hari ini kok tidak pimpin tadarus?” Rouf sejenak
terdiam, bukan karena pertanyaan siswanya, tetapi pertanyaan-pertanyaan dalam
batinnya kembali berlarian, justru semakin cepat. Alasannya karena jawaban dari
pertanyaan siswa itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat ia jawab
pula dalam batinnya. Entah, mimpi apa ia setelah subuh tadi?
Selesai mengajar, Rouf
segera menuju masjid. Bertemu kekasihnya, begitulah rutinitas Rouf di waktu
dhuha. Setelah genap sujud dan salamnya, Rouf curahkan segala kegelisahan
hatinya, karena pertanyaan-pertanyaan dalam batinnya belum bisa ia jawab.
“Ya Allah, Cintaku.
Engkau-lah yang menggenggam hati manusia, bersebab Engkau-lah Maha Pemilik
Hati. Mudah untuk-Mu menautkan hati sekalipun keduanya belum saling mencintai.
Mudah untuk-Mu menyandingkan diri sekalipun keduanya belum saling mengenali,
bersebab Engkau-lah Maha Pemilik Hati. Ya Allah, Cintaku. Engkau-lah yang menciptakan
segalanya berpasangan, hingga Engkau pertemukan dua insan dalam mahabah-Mu di
atas pelaminan suci. Ya Allah, Cintaku. Jika mimpiku datangnya dari-Mu sebagai
tanda Engkau teguhkan hatiku untuk menikah. Maka, jadikanlah pernikahanku
sebagai jalan menuju ridha-Mu.” Seketika airmata deras membasahi wajah Rouf,
lantaran munajat penuh cinta pada kekasihnya.
Bel pulang sekolah pun
berbunyi setelah semua aktivitas sekolah selesai. Rouf biasanya segera pulang
untuk murojaah hafalan Qurannya. Waktu
berjam-jam pun akan habis karena kekhusyukannya, hanya adzan magrib yang bisa
membuatnya lepas dari kegemerannya itu.
Malam ini ada jadwal halaqoh
di rumah Ustadz Baari. Selepas solat isya berjamaah, Rouf bersegera pergi ke
rumah murobbinya itu. Di rumah Ustadz
Baari sudah ada beberapa rekan halaqohnya yang berkumpul. Rouf pun bercampur
dan bertukar tanya dengan mereka. Tak lama kemudian, Ustadz Baari membuka
halaqoh dan meminta Rouf untuk membaca surah Al-Hujurat ayat 13. Setelah Rouf
selesai, Ustadz Baari pun memulai taujihnya,
“Dalam surat Al-Hujurat tadi, Allah berfirman, ‘Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.’ Dari
ayat tersebut, kita tentu dapat menarik sebuah simpulan, bahwa dalam Islam kita
diwajibkan bermuamalah agar saling kenal-mengenal,”
“Untuk mengingat tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan,
sebagaimana firman Allah, ‘Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.’ Surat Adh-Dhariyat ayat 49. Tentu kita
paham, yang paling mutlak terlihat adalah diciptakannya laki-laki dan
perempuan. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari alasan Allah memasangkan
laki-laki dan perempuan, di antaranya adalah untuk menyempurnakan Islam dalam
diri setiap hamba-Nya. Firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 21 menyebutkan,
‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan dijadikan-Nya
di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya itu merupakan tanda-tanda bagi
orang-orang yang berpikir.’ Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, menikah
bukanlah sekedar hanya pelepas dahaga kodrati. Menikah adalah ibadah, suatu
jalan yang teramat indah untuk memahami cinta dan cinta-Nya. Menikah adalah
sarana, sarana untuk menggapai keridhaan-Nya. Menikah menjadi awal sebermulanya
hidup baru dan generasi baru yang mengenal Tuhannya.”
Setelah menyelesaikan taujih, Ustadz Baari pun menutup halaqoh
dengan doa. Sekemudian tak lama, terdengar beberapa orang datang memberi salam.
Rouf yang sedang asyik dengan secangkir teh tiba-tiba terdiam seketika karena
melihat seorang wanita yang rasanya ia kenal karena wajahnya yang jelita dan
bercahaya itu begitu akrab dalam ingatannya.
“Awas, jaga pandangan!
Mengamankan diri dari fitnah jauh lebih baik daripada menunjukkan hasrat,
sekalipun itu fitrah,” sindir Dzikri sembari mengusap wajah Rouf.
“Astagfirullahal ‘azhiim.
Iya, antum benar. Ana cuma agak kaget, seperti pernah
ketemu wanita itu di mana gitu.”
Dalam batinnya, bergejolak
perasaan yang begitu hebat seperti ombak besar menghantam karang. Rouf merasa benar-benar
akrab dengan wajah wanita itu. Ia selami pikirannya dalam-dalam untuk secuil
ingatan. Dan ternyata, ketika ditemuinya, ingatan itu membawa Rouf pada
mimpinya subuh tadi. Rouf ingat betul, wanita itu adalah wanita yang
dinikahinya dalam mimpi. Semakin besar keyakinannya, bahwa Allah telah
mempertemukan jodohnya atas kejadian-kejadian yang paling makna hari ini.
Setelah semua rekan-rekannya
pulang dari rumah Ustadz Baari, hanya tinggal Rouf yang belum juga pulang. Ia
berencana menceritakan kejadian yang dialaminya hari ini sekaligus menanyakan
perihal wanita yang barusan bertamu bersama orangtuanya itu kepada Ustadz
Baari.
Rouf membuka obrolan dengan murobbi yang begitu dihormatinya itu. Ia
menceritakan soal mimpinya, lalu dikaitkan dengan materi taujih Ustadz Baari, dan analisanya bahwa wanita yang dinikahi
dalam mimpinya adalah wanita yang barusan bertamu ke rumah Ustadz Baari.
“Apakah ini tanda Ustadz,
kalau wanita itu jodoh saya?”
“Masya Allah, luar biasa
ceritamu, Rouf. Tapi saya tidak bisa memastikan apa maksud mimpimu itu.
Solatlah di sepertiga malam, tanyakan pada Allah, hanya Allah yang Maha
Mengetahui dan Maha Merencanakan. Saya hanya ingin menyampaikan, agar kamu
tahu, kalau wanita tadi adalah keponakan saya. Ia datang bersama orangtuanya
hendak memohon restu dan meminta saya untuk menjadi saksi dalam pernikahannya
sabtu besok. Dari kecil, keponakan saya itu memang sudah dijodohkan orangtuanya
dengan anak sahabatnya, seorang pengusaha muda yang sukses. Rencananya juga,
keponakan saya itu akan diajakserta ke Madinah setelah menikah karena calon
suaminya ini akan mengambil program doktor di Islamic University of Madinah.”
Tanpa tanya, tanpa kata
lagi. Rouf segera mengambil tangan Ustadz Baari dan menciumnya, lalu berjalan
keluar dengan wajah yang pasi. Jawaban murobbinya
tadi telah mengecutkan hatinya. Membayangkan siapa bakal suami wanita itu saja
sudah membuatnya pesimis, karena ia merasa jauh terbentang perbedaan dari sisi
ekonomi dan status pendidikannya. Terlebih-lebih bila membayangkan mimpi dan
khayalnya, Rouf serasa fobia karena tahu ternyata Allah hanya ingin mengantongi
rasa sakit dalam saku hatinya.
Sesampainya di rumah, Rouf
hanya termangu. Kusut segala hal dalam pikirannya, kusut segala rasa dalam hatinya.
Layaknya anak kecil yang tak dibelikan mainan, Rouf menangis tersedu. Semakin
lama dituruti napsu tangisnya, semakin hilang batas waktu. Tetapi tiba-tiba
masuk kedalam hatinya sebuah ayat yang begitu ia kenal, “Laa tahzan innallaha ma’anaa,”
setelah ayat itu diam-diam menyeruak masuk ke dalam hatinya, lipur segala
kesedihan Rouf. Diingatnya pula sebuah ayat yang menjelaskan bahwa, Allah
menimpakan kesedihan atas kesedihan, supaya hamba-Nya jangan bersedih hati
terhadap apa yang luput daripadanya dan terhadap apa yang menimpanya. Rouf
semakin tegar dan menyadari kini, selama ia memiliki Allah, ia akan selalu
lebih besar dari masalahnya, lebih baik dari masa lalunya, dan lebih kuat dari
rasa sakitnya.
Sampai tiba di sepertiga
malam, Rouf bergegas wudhu dan solat. Diadukannya segala kesedihan,
dipanjatkannya segala harapan, dan diserahkannya segala untung nasibnya pada
Tuhan. Ia yakin; jodoh, rezeki, hidup, dan mati telah Allah tetapkan dalam
kitab Lauh Mahfuzh.
Tanpa sadar karena lelah,
Rouf terlelap di atas sajadahnya.
Kemudian kumandang adzan
subuh membangunkan Rouf. Ada heran disekujur pikirannya, membuat degup jantung
Rouf semakin cepat seperti diburu. Mimpi itu terulang. Persis. Sama. Akan
tetapi, dalam mimpinya yang baru, terlihat semakin jelas wajah-wajah yang ada.
Wanita itu, benar wanita yang dikatakan Ustadz Baari adalah keponakannya.
Disegerakannya solat subuh.
Setelah genap ruku dan salam, Rouf kembali bermunajat, memohon petunjuk dan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum juga terjawab, “Ya Allah,
Cintaku. Aku mengharap cinta-Mu, cinta para hamba yang mencintai-Mu, dan
kecintaan terhadap amal yang bisa mendekatkan diriku pada cinta-Mu. Jika memang
benar wanita itu adalah jodohku, maka berikanlah aku jalan untuk menjemput titipan-Mu
itu dalam balutan kehalalan cinta untuk menggapai cinta-Mu.”
***
Tidak juga ada kabar, tidak
juga ada tanda bahwa wanita dalam mimpinya akan nyata dinikahkannya. Hari ini
adalah hari Sabtu, tepat di mana wanita dalam mimpinya itu akan diakadkan oleh
orang lain, bukan dirinya. Rouf telah berpasrah, menyerahkan segalanya pada
Allah.
Tak lama kemudian, ponsel
Rouf berbunyi. Telepon dari murobbinya.
Ustadz Baari meminta Rouf untuk datang dalam acara akad nikah keponakannya itu.
Ia meminta Rouf untuk membacakan Kalam Illahi. Walaupun ia tahu, hatinya akan
tersayat melihat wanita yang diimpikannya dipersunting orang lain, Rouf mencoba
tegar untuk datang karena berusaha menghargai murobbinya.
Sesampainya. Rouf segera
menemui Ustadz Baari. Sesuai permintaan Ustadz Baari, Rouf pun membacakan Kalam
Illahi. Orang-orang yang datang seakan tersihir mendengar Rouf membacakan
ayat-ayat Allah dengan begitu merdu dan tulusnya. Rouf yang tak kuasa menahan
airmatanya pun tersedan, tetapi ia tetap berusaha menyelesaikannya. Setelah
selesai, Ustadz Baari meminta Rouf untuk duduk di hadapan penghulu dan wali
nikah mempelai wanita. Rouf tak mengerti maksud permintaan dari murobbinya ini.
“Kenapa Ustadz meminta saya
untuk duduk di sini?”
“Karena kamulah yang akan
menikahi keponakan saya?”
Saking terkejutnya, wajah
Rouf berubah menjadi begitu pucat. Darah dari atas kepalanya serasa turun cepat
sampai ke kaki, sekemudian seluruh tubuhnya menjadi terasa begitu dingin.
“Calon mempelai prianya,
tidak datang. Ia tidak siap dinikahkan dengan keponakan saya, alasannya karena
ingin fokus dengan kuliah program doktornya. Selain itu, dia bilang,
‘sebenarnya dia telah menghitbah seseorang di Madinah, dan berencana akan
menikahinya tahun depan.’ Jadi, agar tidak memberi malu keluarga, saya
berharap, kamu bisa menggantikan posisinya menjadi calon mempelai pria untuk
keponakan saya.”
“Tapi, saya tidak punya
apa-apa untuk dijadikan mahar?”
“Kamu punya sesuatu yang
begitu mahal dan sangat berharga untuk dijadikan mahar, justru lebih mahal daripada
mahar calon mempelai pria yang gagal.”
“Saya tidak bawa apa-apa,
selain Al-Quran saku ini?”
“Jadikan itu mahar. Selain
itu, saya memintamu memaharkan hafalan Quranmu 30 juz untuk mempersunting
keponakan saya. Bagaimana siap?”
“Insya Allah saya siap, Ustadz.
Tapi apakah keponakan Ustadz telah mengenal saya dan menyetujui saya menjadi
imamnya kelak?”
“Sudah! Itu urusan mudah.
Berkenalanlah nanti setelah halal.”***
Jakarta, 29
Ramadhan 1436 H.
16 Juli
2015 M.
Penulis:
Jalal Ahmad, seorang guru bahasa Indonesia di SMK
Al-Hidayah Lestari, Jakarta. Lulusan UHAMKA (Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, tahun 2014. Aktif dalam
berbagai organisasi dan berbagai komunitas, salah satunya Komunitas Vanderwijck
yang terus mengasah keterampilannya dalam menulis berbagai karya, baik sastra
maupun ilmiah.