SANG AKTIVIS
kepada Idham Fajar Shodiq
SUDILAH kiranya kawan duduk sejenak. Namun, maaf tak banyak
yang dapat kusuguhkan, di sini hanya ada bale
bambu untuk bersantai dan secangkir cerita yang inspirasinya kudapat dari seorang teman. Inspirasi itu memang
terkadang datang darimana saja, bisa datang lewat lengang jendela, dari pintu-pintu,
dan terkadang dari atap yang rembes karena rintik hujan yang mengendap di
plafon pun bisa. Ya, begitulah. Itu karena inspirasi adalah sebentuk cerita
yang datangnya dari mata air air mata yang mengandungi segala cita, baik canda,
tawa, tangis, duka, dan hikmah yang datangnya dari sang Maha Cinta.
Kebetulan ada lomba menulis karya
inspiratif dari GAPAI. Sebenarnya tidak terlalu berharap menjadi juara karena
bukan itu tujuan utamaku menulis cerita ini, hanya saja aku ingin kalian
mengetahui cerita dariku, anggaplah sebagai cerita biasa. Namun, apalah artinya
sebuah karya bila tak menjadi manfaat dan bagi Tuhan tak menjadi nilai ibadah
juga. Selain itu, aku memang ingin mengenalkan temanku yang sangat luar biasa. Namanya
Idham Fajar Shodiq, dia temanku di kampus. Kami sama-sama kuliah di sebuah
universitas swasta di Jakarta. Kami pun memiliki cita-cita yang sama, yaitu
menjadi seorang guru. Ya, agar kelak dapat digugu dan ditiru, begitulah yang
kami tahu dari dulu. Oleh karena itu, kami sama-sama menimba ilmu di FKIP
(Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Namun, bedanya dia mengambil program
studi Pendidikan Matematika dan aku mengambil program studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
Awal pertemuanku dengannya adalah di
masjid At-Taqwa, tepat di belakang kampusku. Aku masih ingat sekali, ketika itu
aku baru saja merapalkan takbir sebagai tanda sebermulanya solatku. Namun,
mataku yang tadinya khusuk dalam bayang-bayang Illahi pada sejadah panjang
masjid terubah pandangnya pada seseorang yang tak berdiri dalam solatnya, dia
hanya duduk saja dengan kedua kakinya yang berselonjor. Hah? Kuperjelas
padanganku, ternyata satu di antara kakinya adalah kaki palsu. Ya, aku terkejut
dan hilang khusuk dalam peribadatan rutin siang itu.
Solat pun berakhir dengan dua salam.
Namun, aku masih terbebani pikiran, “Hebat betul orang ini! Dalam
ketidaksempurnaan fisiknya saja, dia masih mau mengingat Tuhan, sedangkan di
luar sana, banyak sekali orang-orang yang sibuk dan menyibukan dirinya serta
menuhankan kesibukannya dengan tak menyisihkan sejenak waktunya untuk
beribadah, bersujud, menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar batinku.
Semenjak pertemuan itu, aku mulai sedikit
mengamatinya. Dia ternyata mahasiswa yang rajin dan senang mengikuti
kajian-kajian di masjid dan di kampus. Sampai pada saat ada sebuah informasi
terkait pengkaderan sebuah organisasi di fakultas kami. Aku dikagetkan dengan
kabar yang mengatakan bahwa di HIMA PMIPA (Himpunan Mahasiswa Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) ada seorang peserta yang menggunakan kaki
palsu, tetapi mau mengikuti LKTD (Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar). “Pasti
dia!” Dalam benakku meyakinkan. “Memang hebat betul semangatnya.”
Setelah selesai LKTD, aku yang masih tak
enak badan karena lelahnya, mulai bertanya-tanya, “Apakah dia mampu mengikuti
LKTD ini sampai usai dengan ketidaksempurnaannya, sedang aku saja yang tak
bercacat merasa super-super capeknya
karena segudang materi dan mesti naik turun di puncak pada malam hari dengan
sejuta teka-teki permainan dari senior-senior HIMA?” Pertanyaan-pertanyaan itu
muncul dalam benakku dan terjawab beberapa hari setelahnya, ketika ada beberapa
teman yang menceritakan tentang dia yang hebat, semangat, cerdas, dan tak
pernah rendah diri atas kekurangannya itu.
***
Tak
terasa, sudah satu tahun kuliah. Ini adalah masanya aku menjadi seorang
aktivis. Pelantikan adalah gerbang awal, sebuah janji terpatri dalam
dada-dadaku dan rekan-rekan aktivis yang lain. Di atas panggung aula itu, aku
melihatnya, tapi aku sudah tahu namanya, Idham. begitulah rekan-rekan
memanggilnya.
Tak lama dari pelantikan, aku sudah
cukup akrab bertegur sapa dengan Idham. Aku semakin tahu sepak terjangnya di kampus.
Menjadi aktivis HIMA PMIPA dan menjadi aktivis yang aku pun tak mengikutinya
karena merasa tak akan sanggup membagi diri kalau harus mengikuti banyak
oraganisasi, yaitu PK IMM FKIP UHAMKA. Dia memang benar-benar menyukai
berorganisasi karena dia berpikir bahwa organisasi adalah tahap awal untuk
mengubah pribadi menjadi lebih teroganisir dan ketika lulus nanti dapat menjadi
teladan yang baik. Selain itu, dia berpikir untuk apa merasa minder dengan
kekurangan, “Toh, tiap manusia itu punya kekurangannya masing-masing kan, Lal?
Hanya saja aku ditakdirkan Allah memiliki kekurangan fisik dan aku yakin Allah
telah mengirim suatu kelebihan padaku sebagai gantinya. Maka haruskah aku
menjadi seseorang yang murung dan terasing dalam pergaulan? Tidak kan? Aku tidak
mau masuk ke dalam golongan orang-orang yang tak bersyukur, Allah telah banyak
memberi dalam hidup dan kehidupanku. Jadi tidak ada alasan aku mengkufurinya.”
Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu seketika tersadap dalam benakku,
mencabik-cabik rasa hatiku. Aku belum banyak mengetahui tentang bagaimana hidup
ini, tapi dia sudah mampu menjadi pribadi yang tangguh dalam hidup ini. Aku
menjadi sadar bahwa aku pun penuh celah, celih, dan bercacat. Meski tak pada
jasad, namun pada hati dan pikiran ini yang selalu menganggap bahwa hidup tak
ubahnya membuang waktu dan diriku serupa kemalasan yang kubentuk-bentuk sendiri
rupanya. Di situlah kusadari kecacatanku.
Pernah sekali aku turut dalam kegiatan
dari HIMA PMIPA. Outing Class ke UNY
dan UGM di Yogyakarta. Betapa rasa kagumku kembali tumbuh karena dipupukinya
dengan pembuktian semangatnya. Idham menjadi seorang ketua pelaksana dalam
kegiatan sebesar itu. Aku dengar ceritanya dalam memperjuangkan kegiatan ini.
Di perjalanan menuju Yogyakarta saja,
sosok aktivis yang satu ini semakin terlihat ketangguhannya. Dia mempersilakan
aku untuk duduk di dalam bis, sedang dia berdiri dengan kakinya. Aku sudah
mencoba menolak, tapi dia tetap tak membiarkan aku berdiri, “Ayolah duduk, tamu
undangan harus dijamu dengan baik.” Begitulah candanya dan tetap memaksaku
untuk duduk. Berjam, berhari, hingga kembali ke Jakarta aku sudah mengantongi
banyak sekali cerita, ilmu dan tertulari semangat luar biasa Idham.
***
Hari-hari
terus berganti, ketika malam menjelma angka, pagi pun angka, dan senja yang
berkali kutinggal serupa jemari tiada hingga. Aku sudah masuk pada semester
akhir dalam masa perkuliahanku. Walaupun menjelang akhir perkuliahan ini ada
tugas akhir yang mesti kuselesaikan sebagai titik akhirnya. Namun aku tak
pernah meninggalkan organisasi. Begitu jua Idham. Kami yang sebelumnya
sama-sama tergabung dalam DPM FKIP UHAMKA sebagai lembaga legislatif tertinggi
di FKIP, dan sekarang telah memasuki fase berlembaga di tingkat universitas,
Idham aktif sebagai Ketua Komisi II MPM UHAMKA, sedangkan aku lebih memilih
menjadi staff KEMENDIK BEM UHAMKA.
Satu di antara program kerja KEMENDIK
BEM UHAMKA adalah UHAMKA Menyala, yaitu suatu gerakan relawan mengajar di yayasan
atau daerah-daerah yang membutuhkan pendidikan dan segala kebutuhannya. Dari
sinilah aku mulai memupuk jiwa sosialku lebih dalam lagi, bahwa hidup itu mesti
berbagi karena kebaikan harus didistribusikan. Aku menyenangi kegiatan ini,
sampai pada saat aku dan rekanku di BEM UHAMKA mengunjungi sebuah yayasan
yatim-piatu dia daerah Jakarta Selatan kembali dikejutkan dengan ulah si Idham,
aktivis yang luar biasa itu. Ternyata dia sudah hampir lebih dari dua tahun
mengajar di yayasan itu. Alangkah malu aku sebagai pribadi yang dianugerahi
tubuh yang sempurna, namun baru menyadari bahwa hidup itu mesti berbagi.
Sedangkan Idham yang hanya memiliki satu kaki saja tak pernah mengeluhkan
hidupnya dan selalu menebar benih-benih kebaikannya di mana saja, hingga terlihat
benih itu tumbuh menjadi akar yang kuat, batang yang kokoh, reranting yang
bersambut lebat dipenuhi dedaun yang menyejukan hati setiap orang yang
memandangnya.
Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang
kamu dustakan?***
Jakarta, 15 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar