BUKU CATATAN
AYAH
PAGI
ini tidak seperti pagi biasanya. Aku duduk di dalam rumah, menatap keluar lewat
jendela untuk mengamati satu persatu titik air yang berjatuhan pada jalan
sembari mengeja nada-nada yang terdengar jelas dalam telingaku. “Kapan reda kan
datang?” Pertanyaan itu melintas dalam benakku.
Setelah
semalam, kakakku pulang setengah sadar dengan wajah pasi. Ia geratak seisi
rumah. “Kak,” Sapaku dengan nada heran. Akan tetapi, ia tak membalasnya. Ia
hanya meneloh, lalu melanjutkan pencariannya. Aku yang mulai menanamkan curiga
terhadapnya, lalu memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang menggangu
pikiranku. Ini kali pertama aku melihatnya seperti itu. “Apa yang hendak kakak
cari?” Pertanyaan itulah yang kupilih dari beberapa pertanyaan yang ada dalam
benakku. “Ahhh, mau apa kamu tanyakan itu. Sudah, tidak perlu ikut campur!”
Hardiknya. Aku sontak terkejut dengan nada suaranya yang begitu keras dan
embusan bau mulutnya yang begitu memuakkan.
Aku
melihat tanda tanya yang ambigu dari kejadian ini. Aku terus mencecarnya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang semulanya membatin. Tetapi, ia seperti tak melihat,
tak mendengar, dan tak merasakan kehadiranku ataukah memang ketidaksadarannya
telah menutupi semua itu. Aku kembali bertanya dengan suara yang lebih keras, “Kakak
dengar tidak sih pertanyaan-pertanyaanku?” Ia kembali menoleh. Namun, sepertinya
pekikku mencolek amarahnya. Aku tatap wajahnya, aku hampir tidak bisa menyakini
bahwa ia adalah kakakku. Matanya merah, wajahnya pasi dengan rambut yang
berantakan, lalu berjalan terhuyung-huyung mendekatiku dan tiba-tiba sebuah
tangan menamparku, aku merintih karena merasakan sakit, sakit sekali bukan
hanya pada pipi wajahku, tetapi juga pada pipi hatiku karena tangan itu begitu
kukenal. Tangan yang biasa menyentuh lembut tiap helai rambutku, kini keras
menyentuh wajahku. Itulah yang membuat sakitnya tamparan itu begitu cepat
meresap ke dalam hatiku.
“Sudah
kubilang, jangan banyak tanya. Memangnya kalau kamu tahu apa yang kucari kamu
dapat mencarikannya. Urus saja dirimu yang cacat itu.” Kata-kata itu terlontar
bagai serpihan kaca yang menyusupi hatiku. Aku sudah tak ingin bertanya lagi
karena seketika rasa takut menempel dalam diriku. Aku hanya membiarkan saja ia
asik menggeratak segala isi rumah. Sesaat setelah itu, ia tertawa dan lekas
pergi kembali. Entah, apa yang ditemukan dan akan ke mana ia pergi?
Jalan
masih menyisakan air, belum lekas-lekas air meresap pada jalan sedang matahari
pun masih enggan menariknya. Begitu juga, kejadian semalam yang masih terus
berputar-putar dalam ruang kenangan sedang Tuhan masih menyisakan lukanya dalam
diriku. Mungkin agar aku bermuhasabah atas diriku dan lebih bijak menjalani
hidup.
Andai
saja ayah dan ibu masih ada bersamaku dan kakak di rumah ini. Rumah yang ayah
bangun sendiri, rumah kecil di dekat bantaran rel kereta, rumah yang selalu
dibayang-bayangi penggusuran, dan rumah di mana aku selalu mendapatkan
kebahagiaan karena di rumah ini ayah, ibu, dan kakak melarungkan cinta serta
kasih sayangnya padaku. Kini semua telah berubah, semenjak kejadian kecelakaan
kereta yang menghantam rumahku. Kadang aku menyesali kejadian tersebut,
“Mengapa tidak sekalian saja Kau bawa aku kembali, ya Tuhan bersama dengan ayah
dan ibuku? Mengapa Kau hanya mengambil kedua kakiku? Apakah Kau tahu betapa
sulitnya hidup tanpa kaki dan betapa sakitnya ditinggalkan ayah dan ibu?” Pesan
itu yang selalu kuselulerkan pada Tuhan, agar Tuhan tahu penderitaanku ini.
***
Matahari
mulai menampakkan diri. Aku yang terlelap di teras toko dekat pasar, akhirnya
terbangun juga karena teriknya. Padahal pagi tadi hujan turun begitu deras.
Memang aneh cuaca sekarang, seperti Tuhan yang begitu aneh menskenariokan
hidupku. “Apakah aku pembangkang pada-Mu, Tuhan? Sampai-sampai Kau memberikanku
cobaan seperti ini. Kau ambil ayah dan ibuku, sekarang yang Kau tinggalkan
hanya rumah reyot dan seorang adik yang cacat. Itu semua karena-Mu kan? Itu
semua karena-Mu!” Jeritan itu terlontar dalam benakku. Aku kini merasa sudah
tak perlu lagi hidup terkekang dan tersekat oleh aturan-aturan Tuhan. Biar saja
aturan-aturan Tuhan yang tersajak tetap menjadi sajak dalam kitab suci-Nya. Aku
ingin hidup bebas dan menggunakan caraku sendiri, kurasa itu lebih baik
daripada hidup selalu menuruti kemauan Tuhan, sedangkan Tuhan tak pernah
menuruti mauku. Sekarang, aku yang akan menciptakan kemauanku sendiri.
Hidup
dengan caraku sendiri telah aku mulai semalam. Ternyata betapa nikmatnya
meminum minuman yang Tuhan larang dalam sajak-Nya. Itu membuatku lebih merasa bebas
untuk hidup dan hidup bebas. Aku telah memiliki surat kepemilikan tanah sekarang,
tinggal aku jual saja dan hasilnya bisa kugunakan untuk bersenang-senang. Sudah
lama sekali aku tak mengenal kesenangan apa lagi merasakannya. Walaupun aku
tahu bahwa tanah rumahku itu telah dibayang-bayangi penggusuran, tetapi bagi para
pendatang itu tidak menjadi masalah, surat tanah ini akan tetap laku oleh
mereka.
***
Malam
sudah begitu larut. Semenjak kejadian itu tepatnya telah seminggu yang lalu,
aku merasa malam hanya tinggal malam tidak ada yang berubah. Hanya sepi, sendiri,
dan gelap yang menemani. Entah, ke mana kakak seminggu ini? Aku masih
bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengannya. Setelah kakak pulang dan
menggeratak seisi rumah. Aku belum sempat membereskan rumah ini. Kurasa aku
harus segera membereskan rumah ini, agar terlihat lebih rapi. Akan tetapi,
belum usai kubereskan semuanya. Aku menemukan sebuah buku catatan, aku mencoba
membukanya. Ternyata buku ini milik ayah, aku melihat fotonya di halaman depan.
Rasa ingin tahu mendadak menyeruak masuk dalam benakku. Aku mulai membuka
halaman berikutnya dari buku catatan ini.
Catatan
dan Kehidupan
Catatan
merupakan kehidupan. Kehidupan membutuhkan catatan.
Lewat
catatan, Tuhan mengabadikan kuasa-Nya,
karena
catatan, sejarah masa lalu masih terus ada,
karena
catatan, seorang akan terus hidup selamanya.
Entah,
apa jadinya kehidupan ini tanpa ada satu catatan yang tergores?
Setiap
orang akan sibuk mencari kebenaran,
Setiap
orang akan sibuk untuk saling menyalahkan,
Setiap
orang akan kehilangan cara untuk melafalkan napas,
melihat pagi, siang, dan malam, bahkan setiap orang akan
bimbang memaknai hidup,
karena hidup memiliki rutenya, bukan hanya pada suka,
tetapi juga duka
yang ‘kan menjadi pelajaran hidup.
Yang
kesemuanya itu, akan mempertemukan kita pada Tuhan.
Abdullah
Junuari
1969
Kata-kata
pengantar dalam buku catatan ayah merefleksikan tentang hidup dan kehidupan.
Ayah tahu bahwa hari yang berganti belum tentu menjadi esok karena bisa jadi
itu menjadi hari pertemuannya dengan Tuhan. Sekarang mungkin ayah telah bertemu
dengan Tuhan, tetapi catatannya masih ada di sini dan itu yang membuat ayah
akan selalu hidup bagi yang membaca buku catatannya.
Kulihat
sepertinya aku sudah melewati batas malam. Kumandang adzan telah tersiar di
sekelilingku. Aku terlalu asik membaca buku catatan ayah, sampai-sampai tak
menyadari sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu untuk itu. Ayah sungguh
pribadi yang hebat. Ia tuliskan semua pengalaman hidupnya dalam buku catatan ini.
Segala kebaikan dan keburukan yang ia lakukan, digoreskan dalam buku ini.
Hingga pada halaman akhir buku ini, kutemukan juga kata-kata penutupnya,
walaupun masih banyak pula halaman-halaman yang kosong, mungkin karena belum
sempat tertulis olehnya.
Aku
Dan Catatan Ini
Aku
adalah cerminan atas diriku.
Aku
semakin tahu betapa bodoh dan lalimnya aku,
apabila
kubaca setiap peristiwa yang kugoreskan lewat pena.
Jika
satu kebaikan saja yang kulakukan, itu akan kucatat.
Bukan
untuk merasa bangga, tetapi agar aku mampu mempertahankannya.
Jika
seribu keburukan pun yang kulakukan, semua akan kucatat.
Agar
menjadi cermin atas diriku.
Walaupun
aku tahu, semua yang telah tercatat akan terkenang,
karena
percuma pula aku coba menghapus catatan-catatan tersebut,
luka
akan tetap menjadi luka, menyisakan bekas dalam jiwa-jiwa yang tersakiti.
Aku
adalah diriku,
yang
akan tetap mempertanggungjawabkan semuanya.
Aku
tahu Tuhan lebih sempurna mencatat segalanya,
karena
semua sesuai janji-Nya,
membalas
kebaikan dan keburukan sekecil apapun
Tetapi, catatan ini
hanya sebentuk muhasabahku kepada Tuhan.
Abdullah
……………………... (kunantikan
hari pertemuan dengan-Mu, Tuhan)
Setelah
kubaca semua yang ayah goreskan dalam catatan ini, aku semakin tahu bagaimana
seharusnya memaknai hidup. Walaupun tanpa kaki, aku harus tetap menggoreskan
sesuatu dalam hidupku. Bukan hanya malah termangu di rumah ini. Masih banyak
yang harus kulakukan, ini karena Tuhan masih mengizinkanku untuk bernapas.
Aku
pun segera bersuci untuk menghadap pada Tuhan. Aku ingin mendoakan ayah dan
ibu, agar Tuhan sudi menemui mereka serta memberikan mereka tempat yang layak
dan indah di sana. Mulutku terus berdzikir seraya memetik tasbih dalam kepalan
tanganku. Aku tak ingin menyudahi kekhusyukan ini. Mataku tak berhenti
mengalirkan rasa rindu, rindu akan ketenangan dalam dekapan Tuhan ketika kuucap
asma-Nya. Hingga lelah menenggelamkanku pada lelap di atas sajadah.
“Hey, buka pintunya!” Suara itu berkali-kali masuk gendang
telingaku, hingga membuatku terjaga. Aku pun berjalan menuju pintu dengan kedua
tanganku dan berusaha membukanya.
“Maaf,
Mas ini siapa ya?” Tanyaku.
“Aku
pemiliki tanah rumah ini sekarang!” Sontak jawaban lelaki itu membuatku
terkejut. Apa maksudnya tanah rumahku ini diakui sebagai miliknya.
“Aku
tak mengerti, mengapa Mas bilang kalau tanah ini milikmu. Jelas-jelas tanah dan
rumah ini adalah milik ayahku. Aku dan keluargaku sudah lama tinggal di sini.”
“Itukan
dulu, kemarin aku telah membeli tanah ini dari seseorang yang mengaku pemilik
tanah ini. Lihat, ini bukti surat tanah yang telah dia dan aku tandatangani.”
Ujar lelaki itu tegas sembari menunjukan surat tanah yang dipegangnya.
“Hanafi?”
Ujarku heran membatin membaca nama itu. Jadi kakak yang telah menjual tanah ini.
Pantas saja malam itu ia tak mau menjawab pertanyaanku dan segera pergi setelah
menemukan surat tanah untuk dijualnya.
“Sekarang
segeralah kamu berkemas karena mulai hari ini juga, aku akan menepati rumah
ini.” Titah lelaki itu.
Aku
yang tak mampu lagi untuk mengelak, segera mengemas barang-barang yang hanya
mungkin bisa kubawa karena kecacatanku ini. Beberapa helai pakaian, sarung, dan
buku catatan ayah, semua itu kumasukan ke dalam tas yang akan kubawa. Aku pun
berjalan meninggalkan rumah yang telah mengisahkan kenangan. Kenangan yang tak
akan pernah terlupa tentang ayah, ibu, dan kakakku yang dulu.
***
Malam
kembali menyapa, aku siap untuk bersenang-senang. Dengan uang di tangan, apapun
bisa kubeli. Aku akan merasakan segala kenikmatan dunia ini. Ternyata hidup itu
tidak sulit apabila kita melupakan Tuhan. Tanpa perlu berpikir bahwa Tuhan
melihat segala tingkahku, aku bebas melakukan apa yang kuinginkan. Malam demi
malam, hari demi hari itu adalah waktuku bersenang-senang. Di dunia ini tak ada
yang mampu mengaturku. Akulah Tuhan atas diriku sendiri.
“Mas,
mau minum lagi?” Ujar seorang perempuan yang menemaniku malam ini.
“Ya!
Tuangkanlah lagi bir itu, Manis.” Sambil memainkan jemariku, menyentuh seluruh
lekukan tubuhnya.
Aku
melihat surga di depanku. Malam ini telah kuhabiskan seluruh uangku untuk
bersenang-senang. Tak perlu berpikir bagaimana besok aku mendapatkan uang lagi,
mungkin aku bisa mencuri, mencopet atau menipu orang lain. Hidup tak perlu
dikhawatirkan, semua ada jalannya, asalkan jangan bawa-bawa Tuhan dalam setiap
urusan karena itu akan menyusahkan.
Malam
hampir usai, tak terasa ternyata bersenang-senang itu melelahkan juga. Akhirnya
kurebahkan diriku di atas kasur yang empuk yang kusewa bersama perempuanku. Ia
akan menemaniku sampai pagi dan mengenalkan lagi surganya dunia ini.
***
Kereta
menyambut ramai para penumpangnya. Padahal adzan subuh baru saja berkumandang,
tetapi orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sepertinya mereka
lupa akan Tuhan. Wajar saja, bagaimana mereka tidak melupakan Tuhan, stasiun
sebesar ini hanya memiliki satu surau kecil yang tak terurus. Mana mungkin
mereka mau berdesak-desakan di tempat itu, yang ada mereka akan ketinggalan
kereta yang tak akan mau menunggu orang-orang yang mengingat Tuhan.
Usai
solat dan berdzikir di dalam surau stasiun, aku bergegas untuk pergi. Sekarang
aku hidup dengan menjadi pemulung, tak ada lagi kerjaan yang bisa kukerjakan
selain memulung, tetapi biarlah, yang penting aku tidak melakukan keburukan. Pagi
ini aku akan mencari gelas-gelas atau botol-botol plastik di sekitar peron
stasiun, lalu menjelang siang aku akan mencari di sekitar pemukiman bantaran
rel kereta dan malamnya kembali lagi ke stasiun untuk beristirahat.
Tak
terasa hari sudah semakin sore. Aku harus segera ke tempat pengumpul barang
bekas dan menjual hasil mulungku hari ini. Uangnya akan kubelikan makanan untuk
mengisi perutku yang lapar. Ternyata kehilangan kaki, bukan alasan untuk tidak
bekerja. Kalau hanya diam saja yang ada aku akan mati membusuk, yang kuperlukan
sekarang adalah berusaha menerima semua yang Tuhan berikan dan mensyukurinya.
Akhirnya,
tiba juga saatnya aku pulang ke stasiun untuk beristirahat. Satu persatu
langkah tanganku memijaki jalan-jalan berbatu, untungnya aku menggunakan sandal
untuk alasnya. Walaupun tidak secepat apabila berjalan dengan kaki, tetapi
tanganku mampu juga membuatku sampai ke tempat yang akan kutuju. Di pertengahan
jalan sebelum sampai ke stasiun, aku seperti melihat seseorang yang berada di
rel kereta, “Sedang apa orang itu?” Pertanyaan itu terpikir dalam benakku. Kucoba
untuk mendekatinya, aku penasaran dengan apa yang sebenarnya ia lakukan.
Semakin mendekat, aku merasa sangat mengenal orang itu.
“Kakak!”
Sapaku heran, “Kakak sedang apa di sini?”
“Ternyata,
kamu masih hidup. Aku kira kamu telah mati, Leh.”
“Astagfirullah,
Soleh masih hidup Kak. Lagipula aku tak mau mati berdiam diri tanpa ada usaha
menjalani hidup.”
“Alaaah.
Sudah cacat, masih saja sok, Kamu! Kalau mau uang, ayo bantu aku untuk mencuri
besi-besi rel kereta ini.”
“Jadi,
kakak mencuri besi-besi rel kereta. Itu tindakan kriminal Kak dan itu
membahayakan orang lain.”
“Aku
tak perduli dengan orang lain. Toh, mereka pula tak memedulikanku. Sudah kalau
kamu tak mau bantu, pergi saja!”
“Apa
kakak butuh uang, sampai-sampai melakukan hal seperti ini?”
“Jelas
aku membutuhkan uang, uang itu sumber kehidupan dan kesenanganku.”
“Aku
akan memberikan kakak uang setiap hari, asalkan kakak berjanji jangan melakukan
hal seperti ini lagi.”
“Hahaha.
Apa kamu yakin bisa memberikanku uang? Darimana kamu mendapatkan uang dengan kecacatanmu
itu?”
“Aku
sekarang menjadi pemulung di stasiun dan pemukiman sekitar bantaran rel kereta,
lihat ini uang hasil mulungku hari ini.”
“Dua
puluh ribu perak? Yah, walaupun sedikit, tapi aku percaya kamu mampu mencari
uang, walaupun dengan cara rendahan seperti itu.”
“Walaupun
kakak bilang ini cara rendahan, tapi ini jauh lebih baik ketimbang mencuri besi
rel kereta, Kak! Aku berjanji akan lebih berusaha untuk mendapatkan uang yang
lebih banyak dari ini dan semuanya akan kuberikan untuk kakak, asal kakak
berhenti untuk mencuri besi-besi rel kereta.”
“Ya,
baiklah. Setidaknya aku tak perlu bersusah payah untuk mencari uang. Sini
berikan uangmu. Ingat, besok harus lebih banyak lagi ya!”
Perbincangan
berakhir setelah kakak mengambil uang itu, lalu pergi meninggalkanku. Aku masih
terdiam dan merenung, menangkap segala tanya yang terpendam dalam hatiku. Malam
hanya bertambah malam, tetapi tidak mengurangi kesedihanku saat ini.
***
Sudah beberapa hari ini Soleh terus memberikan uang hasil
mulungnya kepadaku, tetapi itu tidak mencukupi kebutuhanku untuk
bersenang-senang. Uang yang hanya sedikit itu hanya bisa untuk membeli minuman
saja dan itu juga tidak banyak. Sepertinya aku harus mencari uang tambahan. Kalau
saja aku mencuri besi-besi rel kereta, pasti bisa mencukupi kebutuhanku.
Persetan dengan janjiku pada Soleh untuk tidak mencuri. Kalaupun ia tahu dan
tak ingin memberiku uang lagi, kurasa hasil curianku saja sudah cukup untuk
bersenang-senang.
Malam
ini benar-benar sepi, harus segera kumanfaatkan untuk mencuri. Akhirnya, setelah
beberapa lama berusaha untuk mengumpulkan besi-besi rel kereta ini, tubuhku
rasa lelah sekali. Kurasa sebaiknya aku segera menjual besi-besi ini dan kembali
ke tempat di mana aku mendapatkan kesenangan.
Bir
memang minuman yang luar biasa, menghilangkan kesadaranku. Aku seperti tak lagi
punya masalah dalam hidup ini. Semua bisa terselesaikan seketika hanya dengan
meminum bir sebanyak-banyaknya. Setelah itu, aku akan berimajinasi setinggi-tingginya.
Mula-mula,
aku seperti berdiri di ruang gelap tanpa setitikpun cahaya. Kemudian, muncul
sebuah suara yang menuntunku untuk mengikutinya. Barulah setelah itu, akan
kutemukan imajiku. Tapi saat ini aneh sekali, mengapa tidak kutemukan imaji
kesenangan? Justru, aku hanya melihat jalur rel kereta yang sangat panjang,
seakan tiada berujung. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menyusuri jalur ini
agar kutemukan pangkalnya. Akan tetapi, sudah begitu jauh berjalan, tak juga
kutemukan ke mana jalur rel kereta ini usai. Lalu, secara tiba-tiba sebuah
kereta dengan kecepatan tinggi melintas menabrak tubuhku. Aku berpikir bahwa
aku akan mati. Namun, ternyata kereta itu hanya menebus tubuhku saja. Aku yang
masih belum percaya, kembali dikagetkan dengan melihat Soleh yang memegang
sebuah buku tertabrak kereta yang tadi menembusku. Alaah, imaji apa ini? Segera
aku menyadarkan diriku. Namun, tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan terus menyusipi
relung hatiku. Aku benar-benar gelisah kali ini, tak bisa aku memungkirinya.
Aku segera bangkit dan berjalan mencari Soleh. Mungkin saat ini ia sedang
mencari gelas dan botol plastik di sekitar rel.
Sekarang aku tengah berjalan di sepanjang jalur rel
kereta untuk mencari Soleh. Akhirnya, kutemukan ia sedang duduk di atas rel
sembari menulis disebuah buku. “Apa yang Soleh tulis dalam buku itu?”
Pertanyaan itu terbesit dalam benakku. Tiba-tiba datang sebuah kereta yang
berjalan di atas rel yang ia duduki tepat di belakangnya. Namun, ia seperti tidak
menyadari hal itu. “Soleh!” Pekikku, mencoba memanggilnya, ia melihatku dan
hanya tersenyum. Aku sontak menutup mataku dan membiarkan kereta itu berlalu.
Hingga tak lagi kudengar deru kereta, kubuka mata dan melihat Soleh tepat di
hadapku, tergeletak berlumuran darah bersama bukunya yang menempel foto ayah di
situ. Astaga! Itu buku catatan ayah. Ayah dulu pernah memintaku untuk membacanya
dan menulis setiap kebaikan dan keburukan yang kulakukan agar aku tahu cara
memaknai hidup.***
Jakarta, 30 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar