Sabtu, 01 Februari 2014

CERPEN - BUKU CATATAN AYAH

BUKU CATATAN AYAH

PAGI ini tidak seperti pagi biasanya. Aku duduk di dalam rumah, menatap keluar lewat jendela untuk mengamati satu persatu titik air yang berjatuhan pada jalan sembari mengeja nada-nada yang terdengar jelas dalam telingaku. “Kapan reda kan datang?” Pertanyaan itu melintas dalam benakku.
Setelah semalam, kakakku pulang setengah sadar dengan wajah pasi. Ia geratak seisi rumah. “Kak,” Sapaku dengan nada heran. Akan tetapi, ia tak membalasnya. Ia hanya meneloh, lalu melanjutkan pencariannya. Aku yang mulai menanamkan curiga terhadapnya, lalu memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang menggangu pikiranku. Ini kali pertama aku melihatnya seperti itu. “Apa yang hendak kakak cari?” Pertanyaan itulah yang kupilih dari beberapa pertanyaan yang ada dalam benakku. “Ahhh, mau apa kamu tanyakan itu. Sudah, tidak perlu ikut campur!” Hardiknya. Aku sontak terkejut dengan nada suaranya yang begitu keras dan embusan bau mulutnya yang begitu memuakkan.
Aku melihat tanda tanya yang ambigu dari kejadian ini. Aku terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang semulanya membatin. Tetapi, ia seperti tak melihat, tak mendengar, dan tak merasakan kehadiranku ataukah memang ketidaksadarannya telah menutupi semua itu. Aku kembali bertanya dengan suara yang lebih keras, “Kakak dengar tidak sih pertanyaan-pertanyaanku?” Ia kembali menoleh. Namun, sepertinya pekikku mencolek amarahnya. Aku tatap wajahnya, aku hampir tidak bisa menyakini bahwa ia adalah kakakku. Matanya merah, wajahnya pasi dengan rambut yang berantakan, lalu berjalan terhuyung-huyung mendekatiku dan tiba-tiba sebuah tangan menamparku, aku merintih karena merasakan sakit, sakit sekali bukan hanya pada pipi wajahku, tetapi juga pada pipi hatiku karena tangan itu begitu kukenal. Tangan yang biasa menyentuh lembut tiap helai rambutku, kini keras menyentuh wajahku. Itulah yang membuat sakitnya tamparan itu begitu cepat meresap ke dalam hatiku.
“Sudah kubilang, jangan banyak tanya. Memangnya kalau kamu tahu apa yang kucari kamu dapat mencarikannya. Urus saja dirimu yang cacat itu.” Kata-kata itu terlontar bagai serpihan kaca yang menyusupi hatiku. Aku sudah tak ingin bertanya lagi karena seketika rasa takut menempel dalam diriku. Aku hanya membiarkan saja ia asik menggeratak segala isi rumah. Sesaat setelah itu, ia tertawa dan lekas pergi kembali. Entah, apa yang ditemukan dan akan ke mana ia pergi?
Jalan masih menyisakan air, belum lekas-lekas air meresap pada jalan sedang matahari pun masih enggan menariknya. Begitu juga, kejadian semalam yang masih terus berputar-putar dalam ruang kenangan sedang Tuhan masih menyisakan lukanya dalam diriku. Mungkin agar aku bermuhasabah atas diriku dan lebih bijak menjalani hidup.
Andai saja ayah dan ibu masih ada bersamaku dan kakak di rumah ini. Rumah yang ayah bangun sendiri, rumah kecil di dekat bantaran rel kereta, rumah yang selalu dibayang-bayangi penggusuran, dan rumah di mana aku selalu mendapatkan kebahagiaan karena di rumah ini ayah, ibu, dan kakak melarungkan cinta serta kasih sayangnya padaku. Kini semua telah berubah, semenjak kejadian kecelakaan kereta yang menghantam rumahku. Kadang aku menyesali kejadian tersebut, “Mengapa tidak sekalian saja Kau bawa aku kembali, ya Tuhan bersama dengan ayah dan ibuku? Mengapa Kau hanya mengambil kedua kakiku? Apakah Kau tahu betapa sulitnya hidup tanpa kaki dan betapa sakitnya ditinggalkan ayah dan ibu?” Pesan itu yang selalu kuselulerkan pada Tuhan, agar Tuhan tahu penderitaanku ini.
***
Matahari mulai menampakkan diri. Aku yang terlelap di teras toko dekat pasar, akhirnya terbangun juga karena teriknya. Padahal pagi tadi hujan turun begitu deras. Memang aneh cuaca sekarang, seperti Tuhan yang begitu aneh menskenariokan hidupku. “Apakah aku pembangkang pada-Mu, Tuhan? Sampai-sampai Kau memberikanku cobaan seperti ini. Kau ambil ayah dan ibuku, sekarang yang Kau tinggalkan hanya rumah reyot dan seorang adik yang cacat. Itu semua karena-Mu kan? Itu semua karena-Mu!” Jeritan itu terlontar dalam benakku. Aku kini merasa sudah tak perlu lagi hidup terkekang dan tersekat oleh aturan-aturan Tuhan. Biar saja aturan-aturan Tuhan yang tersajak tetap menjadi sajak dalam kitab suci-Nya. Aku ingin hidup bebas dan menggunakan caraku sendiri, kurasa itu lebih baik daripada hidup selalu menuruti kemauan Tuhan, sedangkan Tuhan tak pernah menuruti mauku. Sekarang, aku yang akan menciptakan kemauanku sendiri.
Hidup dengan caraku sendiri telah aku mulai semalam. Ternyata betapa nikmatnya meminum minuman yang Tuhan larang dalam sajak-Nya. Itu membuatku lebih merasa bebas untuk hidup dan hidup bebas. Aku telah memiliki surat kepemilikan tanah sekarang, tinggal aku jual saja dan hasilnya bisa kugunakan untuk bersenang-senang. Sudah lama sekali aku tak mengenal kesenangan apa lagi merasakannya. Walaupun aku tahu bahwa tanah rumahku itu telah dibayang-bayangi penggusuran, tetapi bagi para pendatang itu tidak menjadi masalah, surat tanah ini akan tetap laku oleh mereka.
***
Malam sudah begitu larut. Semenjak kejadian itu tepatnya telah seminggu yang lalu, aku merasa malam hanya tinggal malam tidak ada yang berubah. Hanya sepi, sendiri, dan gelap yang menemani. Entah, ke mana kakak seminggu ini? Aku masih bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengannya. Setelah kakak pulang dan menggeratak seisi rumah. Aku belum sempat membereskan rumah ini. Kurasa aku harus segera membereskan rumah ini, agar terlihat lebih rapi. Akan tetapi, belum usai kubereskan semuanya. Aku menemukan sebuah buku catatan, aku mencoba membukanya. Ternyata buku ini milik ayah, aku melihat fotonya di halaman depan. Rasa ingin tahu mendadak menyeruak masuk dalam benakku. Aku mulai membuka halaman berikutnya dari buku catatan ini.
Catatan dan Kehidupan
Catatan merupakan kehidupan. Kehidupan membutuhkan catatan.
Lewat catatan, Tuhan mengabadikan kuasa-Nya,
karena catatan, sejarah masa lalu masih terus ada,
karena catatan, seorang akan terus hidup selamanya.
Entah, apa jadinya kehidupan ini tanpa ada satu catatan yang tergores?
Setiap orang akan sibuk mencari kebenaran,
Setiap orang akan sibuk untuk saling menyalahkan,
Setiap orang akan kehilangan cara untuk melafalkan napas,
melihat pagi, siang, dan malam, bahkan setiap orang akan bimbang memaknai hidup,
karena hidup memiliki rutenya, bukan hanya pada suka, tetapi juga duka
yang ‘kan menjadi pelajaran hidup.
Yang kesemuanya itu, akan mempertemukan kita pada Tuhan.
Abdullah
Junuari 1969
Kata-kata pengantar dalam buku catatan ayah merefleksikan tentang hidup dan kehidupan. Ayah tahu bahwa hari yang berganti belum tentu menjadi esok karena bisa jadi itu menjadi hari pertemuannya dengan Tuhan. Sekarang mungkin ayah telah bertemu dengan Tuhan, tetapi catatannya masih ada di sini dan itu yang membuat ayah akan selalu hidup bagi yang membaca buku catatannya.
Kulihat sepertinya aku sudah melewati batas malam. Kumandang adzan telah tersiar di sekelilingku. Aku terlalu asik membaca buku catatan ayah, sampai-sampai tak menyadari sudah berjam-jam aku menghabiskan waktu untuk itu. Ayah sungguh pribadi yang hebat. Ia tuliskan semua pengalaman hidupnya dalam buku catatan ini. Segala kebaikan dan keburukan yang ia lakukan, digoreskan dalam buku ini. Hingga pada halaman akhir buku ini, kutemukan juga kata-kata penutupnya, walaupun masih banyak pula halaman-halaman yang kosong, mungkin karena belum sempat tertulis olehnya.
Aku Dan Catatan Ini
Aku adalah cerminan atas diriku.
Aku semakin tahu betapa bodoh dan lalimnya aku,
apabila kubaca setiap peristiwa yang kugoreskan lewat pena.
Jika satu kebaikan saja yang kulakukan, itu akan kucatat.
Bukan untuk merasa bangga, tetapi agar aku mampu mempertahankannya.
Jika seribu keburukan pun yang kulakukan, semua akan kucatat.
Agar menjadi cermin atas diriku.
Walaupun aku tahu, semua yang telah tercatat akan terkenang,
karena percuma pula aku coba menghapus catatan-catatan tersebut,
luka akan tetap menjadi luka, menyisakan bekas dalam jiwa-jiwa yang tersakiti.
Aku adalah diriku,
yang akan tetap mempertanggungjawabkan semuanya.
Aku tahu Tuhan lebih sempurna mencatat segalanya,
karena semua sesuai janji-Nya,
membalas kebaikan dan keburukan sekecil apapun
Tetapi, catatan ini hanya sebentuk muhasabahku kepada Tuhan.
Abdullah
……………………... (kunantikan hari pertemuan dengan-Mu, Tuhan)
Setelah kubaca semua yang ayah goreskan dalam catatan ini, aku semakin tahu bagaimana seharusnya memaknai hidup. Walaupun tanpa kaki, aku harus tetap menggoreskan sesuatu dalam hidupku. Bukan hanya malah termangu di rumah ini. Masih banyak yang harus kulakukan, ini karena Tuhan masih mengizinkanku untuk bernapas.
Aku pun segera bersuci untuk menghadap pada Tuhan. Aku ingin mendoakan ayah dan ibu, agar Tuhan sudi menemui mereka serta memberikan mereka tempat yang layak dan indah di sana. Mulutku terus berdzikir seraya memetik tasbih dalam kepalan tanganku. Aku tak ingin menyudahi kekhusyukan ini. Mataku tak berhenti mengalirkan rasa rindu, rindu akan ketenangan dalam dekapan Tuhan ketika kuucap asma-Nya. Hingga lelah menenggelamkanku pada lelap di atas sajadah.
“Hey, buka pintunya!” Suara itu berkali-kali masuk gendang telingaku, hingga membuatku terjaga. Aku pun berjalan menuju pintu dengan kedua tanganku dan berusaha membukanya.
“Maaf, Mas ini siapa ya?” Tanyaku.
“Aku pemiliki tanah rumah ini sekarang!” Sontak jawaban lelaki itu membuatku terkejut. Apa maksudnya tanah rumahku ini diakui sebagai miliknya.
“Aku tak mengerti, mengapa Mas bilang kalau tanah ini milikmu. Jelas-jelas tanah dan rumah ini adalah milik ayahku. Aku dan keluargaku sudah lama tinggal di sini.”
“Itukan dulu, kemarin aku telah membeli tanah ini dari seseorang yang mengaku pemilik tanah ini. Lihat, ini bukti surat tanah yang telah dia dan aku tandatangani.” Ujar lelaki itu tegas sembari menunjukan surat tanah yang dipegangnya.
“Hanafi?” Ujarku heran membatin membaca nama itu. Jadi kakak yang telah menjual tanah ini. Pantas saja malam itu ia tak mau menjawab pertanyaanku dan segera pergi setelah menemukan surat tanah untuk dijualnya.
“Sekarang segeralah kamu berkemas karena mulai hari ini juga, aku akan menepati rumah ini.” Titah lelaki itu.
Aku yang tak mampu lagi untuk mengelak, segera mengemas barang-barang yang hanya mungkin bisa kubawa karena kecacatanku ini. Beberapa helai pakaian, sarung, dan buku catatan ayah, semua itu kumasukan ke dalam tas yang akan kubawa. Aku pun berjalan meninggalkan rumah yang telah mengisahkan kenangan. Kenangan yang tak akan pernah terlupa tentang ayah, ibu, dan kakakku yang dulu.
***
Malam kembali menyapa, aku siap untuk bersenang-senang. Dengan uang di tangan, apapun bisa kubeli. Aku akan merasakan segala kenikmatan dunia ini. Ternyata hidup itu tidak sulit apabila kita melupakan Tuhan. Tanpa perlu berpikir bahwa Tuhan melihat segala tingkahku, aku bebas melakukan apa yang kuinginkan. Malam demi malam, hari demi hari itu adalah waktuku bersenang-senang. Di dunia ini tak ada yang mampu mengaturku. Akulah Tuhan atas diriku sendiri.
“Mas, mau minum lagi?” Ujar seorang perempuan yang menemaniku malam ini.
“Ya! Tuangkanlah lagi bir itu, Manis.” Sambil memainkan jemariku, menyentuh seluruh lekukan tubuhnya.
Aku melihat surga di depanku. Malam ini telah kuhabiskan seluruh uangku untuk bersenang-senang. Tak perlu berpikir bagaimana besok aku mendapatkan uang lagi, mungkin aku bisa mencuri, mencopet atau menipu orang lain. Hidup tak perlu dikhawatirkan, semua ada jalannya, asalkan jangan bawa-bawa Tuhan dalam setiap urusan karena itu akan menyusahkan.
Malam hampir usai, tak terasa ternyata bersenang-senang itu melelahkan juga. Akhirnya kurebahkan diriku di atas kasur yang empuk yang kusewa bersama perempuanku. Ia akan menemaniku sampai pagi dan mengenalkan lagi surganya dunia ini.
***
Kereta menyambut ramai para penumpangnya. Padahal adzan subuh baru saja berkumandang, tetapi orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sepertinya mereka lupa akan Tuhan. Wajar saja, bagaimana mereka tidak melupakan Tuhan, stasiun sebesar ini hanya memiliki satu surau kecil yang tak terurus. Mana mungkin mereka mau berdesak-desakan di tempat itu, yang ada mereka akan ketinggalan kereta yang tak akan mau menunggu orang-orang yang mengingat Tuhan.
Usai solat dan berdzikir di dalam surau stasiun, aku bergegas untuk pergi. Sekarang aku hidup dengan menjadi pemulung, tak ada lagi kerjaan yang bisa kukerjakan selain memulung, tetapi biarlah, yang penting aku tidak melakukan keburukan. Pagi ini aku akan mencari gelas-gelas atau botol-botol plastik di sekitar peron stasiun, lalu menjelang siang aku akan mencari di sekitar pemukiman bantaran rel kereta dan malamnya kembali lagi ke stasiun untuk beristirahat.
Tak terasa hari sudah semakin sore. Aku harus segera ke tempat pengumpul barang bekas dan menjual hasil mulungku hari ini. Uangnya akan kubelikan makanan untuk mengisi perutku yang lapar. Ternyata kehilangan kaki, bukan alasan untuk tidak bekerja. Kalau hanya diam saja yang ada aku akan mati membusuk, yang kuperlukan sekarang adalah berusaha menerima semua yang Tuhan berikan dan mensyukurinya.
Akhirnya, tiba juga saatnya aku pulang ke stasiun untuk beristirahat. Satu persatu langkah tanganku memijaki jalan-jalan berbatu, untungnya aku menggunakan sandal untuk alasnya. Walaupun tidak secepat apabila berjalan dengan kaki, tetapi tanganku mampu juga membuatku sampai ke tempat yang akan kutuju. Di pertengahan jalan sebelum sampai ke stasiun, aku seperti melihat seseorang yang berada di rel kereta, “Sedang apa orang itu?” Pertanyaan itu terpikir dalam benakku. Kucoba untuk mendekatinya, aku penasaran dengan apa yang sebenarnya ia lakukan. Semakin mendekat, aku merasa sangat mengenal orang itu.
“Kakak!” Sapaku heran, “Kakak sedang apa di sini?”
“Ternyata, kamu masih hidup. Aku kira kamu telah mati, Leh.”
“Astagfirullah, Soleh masih hidup Kak. Lagipula aku tak mau mati berdiam diri tanpa ada usaha menjalani hidup.”
“Alaaah. Sudah cacat, masih saja sok, Kamu! Kalau mau uang, ayo bantu aku untuk mencuri besi-besi rel kereta ini.”
“Jadi, kakak mencuri besi-besi rel kereta. Itu tindakan kriminal Kak dan itu membahayakan orang lain.”
“Aku tak perduli dengan orang lain. Toh, mereka pula tak memedulikanku. Sudah kalau kamu tak mau bantu, pergi saja!”
“Apa kakak butuh uang, sampai-sampai melakukan hal seperti ini?”
“Jelas aku membutuhkan uang, uang itu sumber kehidupan dan kesenanganku.”
“Aku akan memberikan kakak uang setiap hari, asalkan kakak berjanji jangan melakukan hal seperti ini lagi.”
“Hahaha. Apa kamu yakin bisa memberikanku uang? Darimana kamu mendapatkan uang dengan kecacatanmu itu?”
“Aku sekarang menjadi pemulung di stasiun dan pemukiman sekitar bantaran rel kereta, lihat ini uang hasil mulungku hari ini.”
“Dua puluh ribu perak? Yah, walaupun sedikit, tapi aku percaya kamu mampu mencari uang, walaupun dengan cara rendahan seperti itu.”
“Walaupun kakak bilang ini cara rendahan, tapi ini jauh lebih baik ketimbang mencuri besi rel kereta, Kak! Aku berjanji akan lebih berusaha untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari ini dan semuanya akan kuberikan untuk kakak, asal kakak berhenti untuk mencuri besi-besi rel kereta.”
“Ya, baiklah. Setidaknya aku tak perlu bersusah payah untuk mencari uang. Sini berikan uangmu. Ingat, besok harus lebih banyak lagi ya!”
Perbincangan berakhir setelah kakak mengambil uang itu, lalu pergi meninggalkanku. Aku masih terdiam dan merenung, menangkap segala tanya yang terpendam dalam hatiku. Malam hanya bertambah malam, tetapi tidak mengurangi kesedihanku saat ini.
***
Sudah beberapa hari ini Soleh terus memberikan uang hasil mulungnya kepadaku, tetapi itu tidak mencukupi kebutuhanku untuk bersenang-senang. Uang yang hanya sedikit itu hanya bisa untuk membeli minuman saja dan itu juga tidak banyak. Sepertinya aku harus mencari uang tambahan. Kalau saja aku mencuri besi-besi rel kereta, pasti bisa mencukupi kebutuhanku. Persetan dengan janjiku pada Soleh untuk tidak mencuri. Kalaupun ia tahu dan tak ingin memberiku uang lagi, kurasa hasil curianku saja sudah cukup untuk bersenang-senang.
Malam ini benar-benar sepi, harus segera kumanfaatkan untuk mencuri. Akhirnya, setelah beberapa lama berusaha untuk mengumpulkan besi-besi rel kereta ini, tubuhku rasa lelah sekali. Kurasa sebaiknya aku segera menjual besi-besi ini dan kembali ke tempat di mana aku mendapatkan kesenangan.
Bir memang minuman yang luar biasa, menghilangkan kesadaranku. Aku seperti tak lagi punya masalah dalam hidup ini. Semua bisa terselesaikan seketika hanya dengan meminum bir sebanyak-banyaknya. Setelah itu, aku akan berimajinasi setinggi-tingginya.
Mula-mula, aku seperti berdiri di ruang gelap tanpa setitikpun cahaya. Kemudian, muncul sebuah suara yang menuntunku untuk mengikutinya. Barulah setelah itu, akan kutemukan imajiku. Tapi saat ini aneh sekali, mengapa tidak kutemukan imaji kesenangan? Justru, aku hanya melihat jalur rel kereta yang sangat panjang, seakan tiada berujung. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menyusuri jalur ini agar kutemukan pangkalnya. Akan tetapi, sudah begitu jauh berjalan, tak juga kutemukan ke mana jalur rel kereta ini usai. Lalu, secara tiba-tiba sebuah kereta dengan kecepatan tinggi melintas menabrak tubuhku. Aku berpikir bahwa aku akan mati. Namun, ternyata kereta itu hanya menebus tubuhku saja. Aku yang masih belum percaya, kembali dikagetkan dengan melihat Soleh yang memegang sebuah buku tertabrak kereta yang tadi menembusku. Alaah, imaji apa ini? Segera aku menyadarkan diriku. Namun, tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan terus menyusipi relung hatiku. Aku benar-benar gelisah kali ini, tak bisa aku memungkirinya. Aku segera bangkit dan berjalan mencari Soleh. Mungkin saat ini ia sedang mencari gelas dan botol plastik di sekitar rel.
Sekarang aku tengah berjalan di sepanjang jalur rel kereta untuk mencari Soleh. Akhirnya, kutemukan ia sedang duduk di atas rel sembari menulis disebuah buku. “Apa yang Soleh tulis dalam buku itu?” Pertanyaan itu terbesit dalam benakku. Tiba-tiba datang sebuah kereta yang berjalan di atas rel yang ia duduki tepat di belakangnya. Namun, ia seperti tidak menyadari hal itu. “Soleh!” Pekikku, mencoba memanggilnya, ia melihatku dan hanya tersenyum. Aku sontak menutup mataku dan membiarkan kereta itu berlalu. Hingga tak lagi kudengar deru kereta, kubuka mata dan melihat Soleh tepat di hadapku, tergeletak berlumuran darah bersama bukunya yang menempel foto ayah di situ. Astaga! Itu buku catatan ayah. Ayah dulu pernah memintaku untuk membacanya dan menulis setiap kebaikan dan keburukan yang kulakukan agar aku tahu cara memaknai hidup.***

Jakarta, 30 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar