Sabtu, 01 Februari 2014

CERPEN - KATA-KATA MEMBAJAKAN CITA-CITA

KATA-KATA MEMBAJAKAN
CITA-CITA*


KETIKA jemari hujan menyentuh segala apa yang dikenanya hingga terdengar melodi-melodi indah tentang hidup dan kehidupan. Saat itulah Ahmad dengar bibir yang kering dan jari-jari tangan yang lihai terus memetik biji-biji tasbihnya. Zikirnya terus melarung bersama derasnya air hujan yang membasahi atap-atap seng rumahnya.
Ahmad memang dikenal seorang anak yang cerdas dan saleh di kampungnya. Ia merupakan lulusan pesantren terbaik di Jawa Tengah. Selama ia menjadi santri, ia diberikan beasiswa oleh pesentrannya sampai ia lulus, tetapi ia harus mengabdi untuk menutupi segala biaya hidupnya di pesantren.
Sekarang Ahmad telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Ia pun telah kembali ke rumah dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayah Ahmad hanyalah seorang loper koran dengan penghasilan yang sedikit dan tak menentu. Sedangkan ibunya hanyalah seorang wanita lumpuh yang tidak dapat bekerja apapun. Setiap hari ibunya hanya terbaring tak berdaya di ranjang.
Hidup yang begitu sulit tidak menyurutkan niat Ahmad untuk terus menggapai cita-citanya. Saat di pesantren pun memang Ahmad sudah memikirkan bagaimana agar ia bisa meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Tetapi saat ini ada yang menjanggal dalam hati Ahmad, yaitu orang tuanya. Ia masih bingung apakah bapak dan ibunya akan menyetujui dan bisa membiayai kuliahnya nanti. Setelah selesai berzikir di kamar Ahmad pun akhirnya memberanikan dirinya untuk bertanya kepada kedua orang tuanya.
“Pak, Bu aku ingin sekali meneruskan pendidikanku di perguruan tinggi, apakah boleh?” Ujar Ahmad dengan suara yang begitu lirih kepada kedua orang tuanya.
Pertanyaan itu yang dipilihnya dari beberapa pertanyaan yang terbayang di pikirannya. Ia berpikir dengan pertanyaan itu bapak dan ibunya tidak akan begitu terkejut dengan niatnya untuk kuliah.
“Apa benar kamu mau kuliah Nak?” Ucap ibunya dengan nada yang lemah.
“Iya Bu!” Jawab Ahmad dengan tegas.
“Apa kamu punya uang untuk biaya kuliahmu nanti?” Ujar ayahnya. “Kamukan tahu kalau ayah pasti tidak akan mampu membiayakanmu kuliah nanti. Untuk makan saja kita ala kadarnya, apalagi harus membiayaimu kuliah?”
“Aku memang tidak punya uang untuk saat ini Pak!” Jawab Ahmad. “Tapi aku akan berusaha untuk mencari uang dan menggunakan uang itu untuk membiayai kuliahku.” Tambahnya dengan tegas.
“Baiklah kalau itu memang maumu. Bapak dan ibu hanya bisa mendoakanmu saja semoga apapun yang kamu cita-citakan dapat terwujud Nak, amin.” Ucap ayahnya dengan perasaan yang haru.
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum Pak, kalau kaum itu tidak mau berusaha untuk mengubahnya. Oleh karena itu, aku ingin sekali bisa menyejahterakan kehidupan kita.” Ujar Ahmad dengan semangat. “Man jadda wa jada, barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Bukan begitu Pak?” Tambahnya dengan senyuman lebar ke arah bapak dan ibunya.
“Iya benar itu Nak! Bapak bangga denganmu.” Jawab bapaknya dengan tangisan haru.
Suasana pun menjadi begitu mengharu biru di dalam rumah kecil yang mereka singgahi setelah Ahmad memeluk kedua orang tuanya. Tidaklah bisa dibendung lagi butiran-butiran air mata yang membasahi wajah mereka.
Tidak lama setelah suasana haru itu mereka pun beranjak untuk tidur. Perasaan Ahmad begitu tenang setelah mengemukakan niatnya untuk kuliah di perguruan tinggi. Beralaskan tikar, Ahmad pun berbaring dan mencoba memutar kembali memori tentang percakapannya dengan kiai Qarni di pesantren dahulu.
“Ahmad, nanti setelah kamu lulus dari pesantren ini, janganlah kamu berhenti untuk mencari ilmu.” Ucap kiai dengan tegas. “Mencari ilmu itu wajib bagi seorang muslim Mad, tidak ada batasannya. Sesuai dengan hadis ‘tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat’. Jadi teruslah kamu mencari ilmu yang bermanfaat sampai ragamu benar-benar tak bernyawa lagi.” Tambahnya meyakinkan Ahmad.
“Iya Kiai. Saya akan meneruskan pendidikan saya nanti setelah saya lulus dari pesantren.” Ujar Ahmad dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada sebuah syair dari Az-Zamakhsyari tentang ilmu, ‘Malam-malamku untuk merajut imu yang bisa dipetik, menjauhi wanita elok dan harumnya leher. Aku mondar-mandir untuk menyelesaikan masalah sulit, lebih menggoda dan manis dari berkepit betis nan panjang. Bunyi penaku yang menari di atas kertas-kertas, lebih manis daripada berada di belaian wanita dan kekasih. Bagiku lebih indah melemparkan pasir ke atas kertas daripada gadis-gadis yang menabuh dentuman rebana. Hai orang yang berusaha mencapai kedudukan lewat angannya, sungguh jauh jarak antara orang yang diam dan yang lain naik. Apakah aku tidak tidur selama dua purnama dan engkau tidur nyenyak, setelah itu engkau ingin menyamai derajatku.’ Alangkah mulianya ilmu pengetahuan itu Mad. Alangkah gembiranya jiwa seseorang yang dapat mengusainya. Alangkah segarnya dada orang yang penuh dengannya, dan alangkah leganya perasaan orang yang menguasi ilmu pengetahuan itu.” Ucap kiai Qarni dengan menggebu-gebu.
“Subhanallah! Alangkah indahnya hidup ini Kiai apabila kita mempunyai banyak ilmu pengetahuan.” Ujar Ahmad dengan perasaan yang sangat terkesima dengan ucapan kiai Qarni tadi.
“Benar Mad! Kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman hati senantiasa berawal dari ilmu pengetahuan. Itu karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.” Ucap kiai Qarni menyakinkan Ahmad kembali.
Ahmad terdiam dan menatap wajah kiai Qarni yang begitu menyejukan hatinya dengan tatapan kagum akan ucapan-ucapan kiai Qarni kepadanya dan senyuman kiai Qarni yang terlempar jauh merasuk kedalam hati hingga terangkai satu cita-cita Ahmad untuk menjadi seperti kiai Qarni yang cerdas, berpendidikan tinggi, bisa kuliah di Universitas ternama di Mesir dan Arab Saudi lalu mengabdi di pesantrennya sekarang ini.
“Jangan sampai kamu menjadi orang yang bodoh Mad! Kebodohan itu sangat menyedihkan dan membosankan. Karena, orang bodoh itu tidak pernah memunculkan hal baru yang lebih menarik dan segar. Pola hidupnya akan selalu sama saja, yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang kan terjadi esok hari.” Ucap kiai Qarni kembali setelah hening tadi.
“Iya kiai, saya tidak ingin menjadi orang bodoh. Saya ingin menjadi orang yang cerdas seperti kiai Qarni.” Ujar Ahmad dengan tegas.
“Bagus itu Mad, kalau bisa kamu harus lebih baik lagi dari kiai ya?”
“Iya kiai! Saya akan berusaha.”
“Bila kamu ingin senantiasa bahagia baik di dunia maupun di akhirat, tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan dan raihlah berbagai manfaat, niscaya semua kesedihan, kepedihan dan kecemasan itu akan sirna Mad. Berdoalah kepada Allah seperti dalam surat Thaha ayat 114, ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’ InsyaAllah doamu akan terkabul Mad, dengan syarat kamu juga harus berusaha.”
“Baik kiai, saya akan terus berdoa dan berusaha untuk bisa mendapatkan derajat yang tinggi sebagai orang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan. Terima kasih kiai atas wejangannya.” Ujar Ahmad sekaligus menutup percakapannya dengan kiai Qarni.
Setelah lelah mengingat kenangan tentang awal terukirnya cita-cita untuk terus meneruskan kuliah dan menjadi seorang kiai seperti kiai Qarni. Ahmad pun lelap tertidur dan melayang bersama mimpi indahnya.
***
Di pagi yang sangat cerah, secerah wajah pak Rahim seorang pengusaha yang sangat kaya dan mempunyai sikap yang begitu baik hati. Arif salah satu karyawan di perusahaannya mengajukan surat penguduran diri.
“Maaf Pak, saya tidak bisa melanjutkan bekerja di perusahaan Bapak. Bukan karena saya tidak betah bekerja di sini, tetapi karena ada sesuatu hal yang mengharuskan saya untuk pindah ke Aceh dan menetap di sana bersama anak dan istri saya.” Ujar Arif penuh takzim.
“Kalau seperti itu saya tidak bisa melarang kamu Rif. Ya sudah mulai besok kamu tidak perlu ke kantor lagi. Segeralah urus perpindahanmu ke Aceh. Walaupun sangat berat saya melepaskan seorang karyawan yang jujur dan sangat saya percaya seperti kamu, tetapi apa boleh buat kalau itu sudah menjadi keputusan kamu.” Ujar pak Rahim dengan lesuh.
“Terima kasih Pak, maaf apabila saya mengecewakan Bapak selama ini.”
“Kamu tidak pernah mengecewakan saya Rif, kamu sangat jujur. Saya sangat senang dengan pekerjaanmu. Mungkin tidak akan saya temukan lagi orang yang lebih baik dari kamu di perusahaan ini.”
“Bapak terlalu berlebihan memuji saya. Saya punya kenalan Pak, teman saya di pesantren waktu itu. Ia sangat cerdas, mempunyai sikap yang baik dan sangat jujur. Mungkin ia bisa menggantikan saya di sini!”
“Siapa namanya? Kalau begitu suruh ia besok menghadap saya dan suruh ia segera menyerahkan segala persyaratan untuk melamar menjadi karyawan di sini.”
“Ahmad Pak namanya! Baiklah kalau seperti itu saya akan sampaikan. Saya mohon pamit untuk bekerja yang terakhir Pak di sini.” Ujar Arif dengan tersenyum.
“Baik. Terima kasih Rif. Semoga sukses nanti di Aceh ya.” Ujar pak Rahim menutup percakapan mereka.
Suasana kantor pun berjalan seperti biasanya. Semua karyawan dengan tertib mengerjakan pekerjaannya tanpa mengeluh dengan apa yang diperintahkan oleh pak Rahim, seorang pimpinan perusahaan yang tidak hanya berwibawa tapi juga memiliki perangai yang  sangat baik.
***
Senja pun telah datang. Suasana semakin teduh karena matahari telah terbenam. Arif dari kantornya. Ia pun mampir ke rumah Ahmad untuk menyampaikan pesan dari pak Rahim untuk segera bertemu dengannya dan menyerahkan lamaran ke perusahaan sekaligus pamit akan pindah ke Aceh bersama keluarganya.
“Mad, besok aku akan pindah ke Aceh bersama keluarga. Maafin aku ya kalau kira-kira banyak melakukan salah sama kamu selama ini.” Ujar Arif.
“Loh, kok mendadak benar Rif!” Ujar Ahmad terkejut.
“Iya Mad, disuruh sama ibuku untuk mengurusi perkebunan di sana sekaligus merawatnya. Kan ibuku sendiri di sana, kasian juga ia kan sudah tua.”
“Oo begitu Rif. Ya sudahlah, semoga selamat ya diperjalanan nanti dan juga semoga kamu bisa sukses di Aceh.”
“Amin, terima kasih Mad. Oiya Mad, aku disuruh direktur perusahaanku untuk mencari ganti. Nah, aku ingin kamu yang menggantikan aku di sana. Besok kamu temui pak Rahim dan bawa segala keperluan lamaran ya?”
“Serius kamu Rif? Aku memang sedang mencari kerja.” Ujar Ahmad terkejut.
“Seriuslah. Ya sudah itu saja yang aku mau sampaikan. Aku mau pamit.”
“Alhamdulillah, baiklah kalau begitu. Besok aku akan ke perusahaan pak Rahim. Terima kasih Rif kabarnya. Hati-hati kamu pulangnya. Baik-baiklah di Aceh nanti.”
“Iya Mad. Tenang saja akan aku kabarkan nanti kalau sudah sampai sana.”
Setelah kepergian Arif pulang, Ahmad langsung bersujud syukur atas kabar yang begitu mengejutkannya ini. Tidak habis-habis lidahnya mengucap syukur kepada Allah. Ahmad pun segera memberitahukan kepada orang tuanya dan segera mempersiapkan segala keperluan untuk lamaran kerjanya besok.
***
Pagi menyambut senyum dan semangat Ahmad untuk melangkah keluar rumah. Tepat pukul 08.00 Ahmad sudah sampai di perusahaan pak Rahim dan segera menemui dan menyerahkan lamarannya kepada pak Rahim.
“Selamat pagi Pak! Saya Ahmad rekannya Arif, mantan karyawan Bapak.” Ujar Ahmad penuh takzim.
“Selamat Pagi. Ya silahkan masuk.” Ujar pak Rahim dengan senyuman.
“Kemarin saya mendapat kabar kalau Bapak menyuruh saya untuk bertemu dengan Bapak hari ini sekaligus memberikan lamaran kerja ini.”
“Iya benar! Saya sudah mendengar cerita dari Arif tentang kamu.”
Setelah lama berbincang, akhirnya Ahmad pun diterima oleh pak Rahim untuk bekerja di perusahaannya. Dengan senang hati Ahmad mulai bekerja di perusahaan pak Rahim. Dan mulai saat itulah Ahmad bisa menabung untuk biaya kuliah dengan hasil kerjanya di perusahaan pak Rahim.
***
Satu tahun sudah Ahmad bekerja dengan baik di perusahaan pak Rahim. Uang yang ditabungnya pun sudah cukup untuk membiayai kuliahnya. Pak Rahim yang sudah begitu mengenal Ahmad dengan baik mengetahui bahwa Ahmad ingin sekali meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya pak Rahim dengan senang hati ingin membantu Ahmad membiayai dan mencari perguruan tinggi yang terbaik untuknya.
Sampai pada suatu saat ada informasi tentang beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di Mesir. Pak Rahim pun mendaftarkan Ahmad. Ahmad pun dengan senang hati menyambut baik niat pak Rahim.
Akhirnya, setelah hasil pengumuman calon mahasiswa yang akan mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi di Mesir. Nama Ahmad adalah nama yang paling pertama tercantum dalam hasil pengumuman tersebut.
Segala sujud syukur dipersembahkan, segala puji-pujian terhaturkan kepada Allah. Hingga bibir Ahmad pun kering, lidah lelah mengucap, keningnya pun terpahat ukiran lantai tempat ia besujud. Inilah perjuangan Ahmad untuk terus menuntut ilmu, mewujudkan cita-citanya, mencapai derajat tertinggi dengan ilmu dan menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya.***

TelagaSastra, 29 Mei 2012
 


*      Terinspirasi materi “Nikmatnya Ilmu Pengetahuan” dari buku Lᾶ Taḫzan karya Dr. ‘Aidh Al-Qarni, hlm. 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar