KATA-KATA MEMBAJAKAN
CITA-CITA*
KETIKA jemari hujan
menyentuh segala apa yang dikenanya hingga terdengar melodi-melodi indah
tentang hidup dan kehidupan. Saat itulah Ahmad dengar bibir yang kering dan
jari-jari tangan yang lihai terus memetik biji-biji tasbihnya. Zikirnya terus
melarung bersama derasnya air hujan yang membasahi atap-atap seng rumahnya.
Ahmad
memang dikenal seorang anak yang cerdas dan saleh di kampungnya. Ia merupakan
lulusan pesantren terbaik di Jawa Tengah. Selama ia menjadi santri, ia
diberikan beasiswa oleh pesentrannya sampai ia lulus, tetapi ia harus mengabdi
untuk menutupi segala biaya hidupnya di pesantren.
Sekarang
Ahmad telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Ia pun telah kembali ke
rumah dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayah Ahmad hanyalah seorang loper
koran dengan penghasilan yang sedikit dan tak menentu. Sedangkan ibunya
hanyalah seorang wanita lumpuh yang tidak dapat bekerja apapun. Setiap hari
ibunya hanya terbaring tak berdaya di ranjang.
Hidup
yang begitu sulit tidak menyurutkan niat Ahmad untuk terus menggapai
cita-citanya. Saat di pesantren pun memang Ahmad sudah memikirkan bagaimana
agar ia bisa meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Tetapi saat ini ada
yang menjanggal dalam hati Ahmad, yaitu orang tuanya. Ia masih bingung apakah
bapak dan ibunya akan menyetujui dan bisa membiayai kuliahnya nanti. Setelah
selesai berzikir di kamar Ahmad pun akhirnya memberanikan dirinya untuk
bertanya kepada kedua orang tuanya.
“Pak,
Bu aku ingin sekali meneruskan pendidikanku di perguruan tinggi, apakah boleh?”
Ujar Ahmad dengan suara yang begitu lirih kepada kedua orang tuanya.
Pertanyaan
itu yang dipilihnya dari beberapa pertanyaan yang terbayang di pikirannya. Ia
berpikir dengan pertanyaan itu bapak dan ibunya tidak akan begitu terkejut
dengan niatnya untuk kuliah.
“Apa
benar kamu mau kuliah Nak?” Ucap ibunya dengan nada yang lemah.
“Iya
Bu!” Jawab Ahmad dengan tegas.
“Apa
kamu punya uang untuk biaya kuliahmu nanti?” Ujar ayahnya. “Kamukan tahu kalau
ayah pasti tidak akan mampu membiayakanmu kuliah nanti. Untuk makan saja kita
ala kadarnya, apalagi harus membiayaimu kuliah?”
“Aku
memang tidak punya uang untuk saat ini Pak!” Jawab Ahmad. “Tapi aku akan
berusaha untuk mencari uang dan menggunakan uang itu untuk membiayai kuliahku.”
Tambahnya dengan tegas.
“Baiklah
kalau itu memang maumu. Bapak dan ibu hanya bisa mendoakanmu saja semoga apapun
yang kamu cita-citakan dapat terwujud Nak, amin.” Ucap ayahnya dengan perasaan
yang haru.
“Allah
tidak akan mengubah nasib suatu kaum Pak, kalau kaum itu tidak mau berusaha
untuk mengubahnya. Oleh karena itu, aku ingin sekali bisa menyejahterakan
kehidupan kita.” Ujar Ahmad dengan semangat. “Man jadda wa jada, barang siapa
yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Bukan begitu Pak?” Tambahnya dengan
senyuman lebar ke arah bapak dan ibunya.
“Iya
benar itu Nak! Bapak bangga
denganmu.” Jawab bapaknya dengan tangisan haru.
Suasana
pun menjadi begitu mengharu biru di dalam rumah kecil yang mereka singgahi setelah
Ahmad memeluk kedua orang tuanya. Tidaklah bisa dibendung lagi butiran-butiran
air mata yang membasahi wajah mereka.
Tidak
lama setelah suasana haru itu mereka pun beranjak untuk tidur. Perasaan Ahmad
begitu tenang setelah mengemukakan niatnya untuk kuliah di perguruan tinggi.
Beralaskan tikar, Ahmad pun berbaring dan mencoba memutar kembali memori
tentang percakapannya dengan kiai Qarni di pesantren dahulu.
“Ahmad,
nanti setelah kamu lulus dari pesantren ini, janganlah kamu berhenti untuk
mencari ilmu.” Ucap kiai dengan tegas. “Mencari ilmu itu wajib bagi seorang
muslim Mad, tidak ada batasannya. Sesuai dengan hadis ‘tuntutlah ilmu dari
buaian sampai ke liang lahat’. Jadi teruslah kamu mencari ilmu yang bermanfaat
sampai ragamu benar-benar tak bernyawa lagi.” Tambahnya meyakinkan Ahmad.
“Iya
Kiai. Saya akan meneruskan pendidikan saya nanti setelah saya lulus dari
pesantren.” Ujar Ahmad dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ada
sebuah syair dari Az-Zamakhsyari tentang ilmu, ‘Malam-malamku untuk merajut imu
yang bisa dipetik, menjauhi wanita elok dan harumnya leher. Aku mondar-mandir
untuk menyelesaikan masalah sulit, lebih menggoda dan manis dari berkepit betis
nan panjang. Bunyi penaku yang menari di atas kertas-kertas, lebih manis
daripada berada di belaian wanita dan kekasih. Bagiku lebih indah melemparkan
pasir ke atas kertas daripada gadis-gadis yang menabuh dentuman rebana. Hai
orang yang berusaha mencapai kedudukan lewat angannya, sungguh jauh jarak
antara orang yang diam dan yang lain naik. Apakah aku tidak tidur selama dua
purnama dan engkau tidur nyenyak, setelah itu engkau ingin menyamai derajatku.’
Alangkah mulianya ilmu pengetahuan itu Mad. Alangkah gembiranya jiwa seseorang
yang dapat mengusainya. Alangkah segarnya dada orang yang penuh dengannya, dan
alangkah leganya perasaan orang yang menguasi ilmu pengetahuan itu.” Ucap kiai
Qarni dengan menggebu-gebu.
“Subhanallah!
Alangkah indahnya hidup ini Kiai apabila kita mempunyai banyak ilmu
pengetahuan.” Ujar Ahmad dengan perasaan yang sangat terkesima dengan ucapan
kiai Qarni tadi.
“Benar
Mad! Kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman hati senantiasa berawal dari ilmu
pengetahuan. Itu karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang
hilang dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu, naluri dari jiwa manusia
itu adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru dan ingin mengungkap
sesuatu yang menarik.” Ucap kiai Qarni menyakinkan Ahmad kembali.
Ahmad
terdiam dan menatap wajah kiai Qarni yang begitu menyejukan hatinya dengan
tatapan kagum akan ucapan-ucapan kiai Qarni kepadanya dan senyuman kiai Qarni
yang terlempar jauh merasuk kedalam hati hingga terangkai satu cita-cita Ahmad
untuk menjadi seperti kiai Qarni yang cerdas, berpendidikan tinggi, bisa kuliah
di Universitas ternama di Mesir dan Arab Saudi lalu mengabdi di pesantrennya
sekarang ini.
“Jangan
sampai kamu menjadi orang yang bodoh Mad! Kebodohan itu sangat menyedihkan dan
membosankan. Karena, orang bodoh itu tidak pernah memunculkan hal baru yang
lebih menarik dan segar. Pola hidupnya akan selalu sama saja, yang kemarin
seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan sama dengan yang kan terjadi esok
hari.” Ucap kiai Qarni kembali setelah hening tadi.
“Iya
kiai, saya tidak ingin menjadi orang bodoh. Saya ingin menjadi orang yang cerdas
seperti kiai Qarni.” Ujar Ahmad dengan tegas.
“Bagus
itu Mad, kalau bisa kamu harus lebih baik lagi dari kiai ya?”
“Iya
kiai! Saya akan berusaha.”
“Bila
kamu ingin senantiasa bahagia baik di dunia maupun di akhirat, tuntutlah ilmu,
galilah pengetahuan dan raihlah berbagai manfaat, niscaya semua kesedihan,
kepedihan dan kecemasan itu akan sirna Mad. Berdoalah kepada Allah seperti
dalam surat Thaha ayat 114, ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan.’ InsyaAllah doamu akan terkabul Mad, dengan syarat kamu juga harus
berusaha.”
“Baik
kiai, saya akan terus berdoa dan berusaha untuk bisa mendapatkan derajat yang
tinggi sebagai orang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan. Terima kasih kiai
atas wejangannya.” Ujar Ahmad sekaligus menutup percakapannya dengan kiai
Qarni.
Setelah
lelah mengingat kenangan tentang awal terukirnya cita-cita untuk terus
meneruskan kuliah dan menjadi seorang kiai seperti kiai Qarni. Ahmad pun lelap
tertidur dan melayang bersama mimpi indahnya.
***
Di
pagi yang sangat cerah, secerah wajah pak Rahim seorang pengusaha yang sangat
kaya dan mempunyai sikap yang begitu baik hati. Arif salah satu karyawan di
perusahaannya mengajukan surat penguduran diri.
“Maaf
Pak, saya tidak bisa melanjutkan bekerja di perusahaan Bapak. Bukan karena saya
tidak betah bekerja di sini, tetapi karena ada sesuatu hal yang mengharuskan
saya untuk pindah ke Aceh dan menetap di sana bersama anak dan istri saya.”
Ujar Arif penuh takzim.
“Kalau
seperti itu saya tidak bisa melarang kamu Rif. Ya sudah mulai besok kamu tidak
perlu ke kantor lagi. Segeralah urus perpindahanmu ke Aceh. Walaupun sangat
berat saya melepaskan seorang karyawan yang jujur dan sangat saya percaya
seperti kamu, tetapi apa boleh buat kalau itu sudah menjadi keputusan kamu.”
Ujar pak Rahim dengan lesuh.
“Terima
kasih Pak, maaf apabila saya mengecewakan Bapak selama ini.”
“Kamu
tidak pernah mengecewakan saya Rif, kamu sangat jujur. Saya sangat senang
dengan pekerjaanmu. Mungkin tidak akan saya temukan lagi orang yang lebih baik
dari kamu di perusahaan ini.”
“Bapak
terlalu berlebihan memuji saya. Saya punya kenalan Pak, teman saya di pesantren
waktu itu. Ia sangat cerdas, mempunyai sikap yang baik dan sangat jujur.
Mungkin ia bisa menggantikan saya di sini!”
“Siapa
namanya? Kalau begitu suruh ia besok menghadap saya dan suruh ia segera
menyerahkan segala persyaratan untuk melamar menjadi karyawan di sini.”
“Ahmad
Pak namanya! Baiklah kalau seperti itu saya akan sampaikan. Saya mohon pamit
untuk bekerja yang terakhir Pak di sini.” Ujar Arif dengan tersenyum.
“Baik.
Terima kasih Rif. Semoga sukses nanti di Aceh ya.” Ujar pak Rahim menutup percakapan mereka.
Suasana
kantor pun berjalan seperti biasanya. Semua karyawan dengan tertib mengerjakan
pekerjaannya tanpa mengeluh dengan apa yang diperintahkan oleh pak Rahim,
seorang pimpinan perusahaan yang tidak hanya berwibawa tapi juga memiliki
perangai yang sangat baik.
***
Senja
pun telah datang. Suasana semakin teduh karena matahari telah terbenam. Arif
dari kantornya. Ia pun mampir ke rumah Ahmad untuk menyampaikan pesan dari pak
Rahim untuk segera bertemu dengannya dan menyerahkan lamaran ke perusahaan
sekaligus pamit akan pindah ke Aceh bersama keluarganya.
“Mad,
besok aku akan pindah ke Aceh bersama keluarga. Maafin aku ya kalau kira-kira
banyak melakukan salah sama kamu selama ini.” Ujar Arif.
“Loh,
kok mendadak benar Rif!” Ujar Ahmad terkejut.
“Iya
Mad, disuruh sama ibuku untuk mengurusi perkebunan di sana sekaligus
merawatnya. Kan ibuku sendiri di sana, kasian juga ia kan sudah tua.”
“Oo
begitu Rif. Ya sudahlah, semoga selamat ya diperjalanan nanti dan juga semoga
kamu bisa sukses di Aceh.”
“Amin,
terima kasih Mad. Oiya Mad, aku disuruh direktur perusahaanku untuk mencari
ganti. Nah, aku ingin kamu yang menggantikan aku di sana. Besok kamu temui pak
Rahim dan bawa segala keperluan lamaran ya?”
“Serius
kamu Rif? Aku memang sedang mencari kerja.” Ujar Ahmad terkejut.
“Seriuslah.
Ya sudah itu saja yang aku mau sampaikan. Aku mau pamit.”
“Alhamdulillah,
baiklah kalau begitu. Besok aku akan ke perusahaan pak Rahim. Terima kasih Rif
kabarnya. Hati-hati kamu pulangnya. Baik-baiklah di Aceh nanti.”
“Iya
Mad. Tenang saja akan aku kabarkan nanti kalau sudah sampai sana.”
Setelah
kepergian Arif pulang, Ahmad langsung bersujud syukur atas kabar yang begitu mengejutkannya
ini. Tidak habis-habis lidahnya mengucap syukur kepada Allah. Ahmad pun segera
memberitahukan kepada orang tuanya dan segera mempersiapkan segala keperluan
untuk lamaran kerjanya besok.
***
Pagi
menyambut senyum dan semangat Ahmad untuk melangkah keluar rumah. Tepat pukul
08.00 Ahmad sudah sampai di perusahaan pak Rahim dan segera menemui dan
menyerahkan lamarannya kepada pak Rahim.
“Selamat
pagi Pak! Saya Ahmad rekannya Arif, mantan karyawan Bapak.” Ujar Ahmad penuh
takzim.
“Selamat
Pagi. Ya silahkan masuk.” Ujar pak Rahim dengan senyuman.
“Kemarin
saya mendapat kabar kalau Bapak menyuruh saya untuk bertemu dengan Bapak hari
ini sekaligus memberikan lamaran kerja ini.”
“Iya
benar! Saya sudah mendengar cerita dari Arif tentang kamu.”
Setelah
lama berbincang, akhirnya Ahmad pun diterima oleh pak Rahim untuk bekerja di
perusahaannya. Dengan senang hati Ahmad mulai bekerja di perusahaan pak Rahim.
Dan mulai saat itulah Ahmad bisa menabung untuk biaya kuliah dengan hasil
kerjanya di perusahaan pak Rahim.
***
Satu
tahun sudah Ahmad bekerja dengan baik di perusahaan pak Rahim. Uang yang
ditabungnya pun sudah cukup untuk membiayai kuliahnya. Pak Rahim yang sudah
begitu mengenal Ahmad dengan baik mengetahui bahwa Ahmad ingin sekali
meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi. Akhirnya pak Rahim dengan senang
hati ingin membantu Ahmad membiayai dan mencari perguruan tinggi yang terbaik
untuknya.
Sampai
pada suatu saat ada informasi tentang beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi
terbaik di Mesir. Pak Rahim pun mendaftarkan Ahmad. Ahmad pun dengan senang
hati menyambut baik niat pak Rahim.
Akhirnya,
setelah hasil pengumuman calon mahasiswa yang akan mendapatkan beasiswa ke
perguruan tinggi di Mesir. Nama Ahmad adalah nama yang paling pertama tercantum
dalam hasil pengumuman tersebut.
Segala
sujud syukur dipersembahkan, segala puji-pujian terhaturkan kepada Allah.
Hingga bibir Ahmad pun kering, lidah lelah mengucap, keningnya pun terpahat
ukiran lantai tempat ia besujud. Inilah perjuangan Ahmad untuk terus menuntut
ilmu, mewujudkan cita-citanya, mencapai derajat tertinggi dengan ilmu dan
menggapai kebahagiaan yang sesungguhnya.***
TelagaSastra, 29 Mei 2012
* Terinspirasi materi “Nikmatnya Ilmu
Pengetahuan” dari buku Lᾶ Taḫzan karya Dr. ‘Aidh Al-Qarni, hlm. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar