Sabtu, 01 Februari 2014

CERPEN - RERANTING SUNYI

RERANTING SUNYI

ANGIN melintas dalam ruang-ruang kegelisahan. Aku masih saja termangu dalam sepi, menggelantung di reranting sunyi. Garis-garis cakrawala mengguris hatiku penuh lara. Dingin hembuskan kenangan gigilkan jiwa. Gundah masih saja menari-nari dalam jeruji-jeruji akalku.
Lautan harta yang larung dalam tubuhku tak seplatonik tirta amerta. Apabila kuguris tanganku, bukanlah noktah darah yang akan tercecer tetapi dosa-dosa. Selaksa bebatuan yang tersusun dengan tiang-tiang hingga terbentuk rumahku laksana istana dalam surga firdaus, mobilku tak terhitung dengan bilangan jemari, uangku bak dedaunan di rimba, tetapi semua itu menyesatkanku hingga tak kutemukan secercah cahaya kebahagiaan hidup.
Meja makan yang terhampar luas dengan rentetan kenikmatan kuliner, anyap saja menyentuh lidahku. Bahkan saat tertelan rasanya begitu getir. Lagi-lagi hanya sepi yang meronta dalam sendi-sendi kerinduan. Rindu akan dekapan ayah, rindu akan kecupan manis ibu disaat kami masih hidup sesederhana cinta. Tapi butiran-butiran kenangan itu sudah pupus menguap karena teriknya zaman.
Ayah kini menjadi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hidupnya mengapung pada sampan kesibukan dan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri. Saat ini tak pernah lagi kutanya pada ayah tentang asal-muasal uang yang melimpah-ruah yang selalu dia bawa pulang. Kalau kutanyakan, bisa-bisa habis wajahku penuh luka.
Rumahku begitu sepi, walau berbagai fasilitas surga tersedia. Kini ayah dan ibu selalu sibuk dengan urusan pribadinya, tinggal aku saja yang terus bermain dengan sunyi. Setiap harinya kutunggu mereka pulang pada batas malam, tetapi tak jarang mereka lupa pada rumah ini, mungkin mereka berkelana ke mana saja mereka mau karena bagi mereka dunia itu dalam genggamannya.
“Ke mana kebahagiaan dan keceriaan kita yang dahulu?” Jeritku membatin.
Namun hanya hampa jawaban yang kudapatkan. Hingga sepi menghilir pada ruang-ruang, lalu melelapkanku pada malam.
***
Deru-menderu suara bel menggaduh membuatku terjaga. Kurasa ayah dan ibu sudah pulang dari kesibukannya hari ini. Segera kulangkahkan kakiku dan mengayunkan daun pintu menyambut kedatangan mereka.
“Lama sekali kamu membuka pintunya!” Pekik ayah dengan mata yang memerah lesuh.
“Hadi ketiduran Yah!” Jawabku lirih.
“Ah, alasan saja!” Sautnya marah.
“Sudahlah Yah, mari kita masuk dahulu!” Ujar ibu menenangkan, lalu menggandeng ayah masuk.
Hatiku meronta kesal dengan sikap ayah. Tetapi aku selalu melapangkan dada untuk memakluminya. Aku segera menutup daun pintu dan ikut duduk bersama mereka di sofa.
Aku ingin mendengar cerita mereka hari ini, telingaku pun menyeruak ke dalam perbincangan mereka.
“Ayah lihat tidak mata orang-orang miskin yang kita santuni tadi,” ujar ibu lalu tertawa. “Mereka begitu bahagia dengan uluran tangan kita dan mereka sangat kagum dengan perhiasan-perhiasan yang ibu kenakan.”
“Hahaha, itu sudah pasti Bu! Jelas saja mereka kagum karena mana mungkin mereka mampu membeli perhiasan yang ibu kenakan. Dan asal ibu tahu harta kita ini tak akan pernah habis walau kita terus memberikan santunan kepada orang-orang kampung macam itu!”
“Benar itu Yah! Sudah pasti harta kita ini tak akan habis-habisnya, asalkan saja ayah juga tidak pernah berhenti untuk membuat proyek-proyek besar negara dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.”
Hatiku terpental jauh ke hulu mendengar ucapan mereka. Aku tak menyangka orang tuaku menjadi sangat licik karena obsesi mereka akan kekayaan.
“Astagfirullahhaladzim! Ayah dan ibu benar-benar sudah dibutakan oleh harta. Tindakan kalian sudah ke lewat batas.” Ujarku menyela perbincangan mereka.
“Apa maksudmu?” Hentak ayah. “Sudah berani kamu melawan orang tuamu sekarang!” Tiba-tiba ayah berdiri di depanku dan tangannya yang dahulu membelai lembut rambutku, kini mengayun keras menyentuh pipiku.
Aku pun tersungkur ke lantai. Masih sangat terasa tamparan ayah. Hingga jemarinya pun meninggalkan lukisan pada kanvas wajahku.
“Iya! Sekarang Hadi sudah berani melawan orang tua seperti kalian. Kalian seperti iblis! Tak punya perasaan. Untuk apa Hadi mesti takzim terhadap orang-orang licik yang merampas harta dan hak orang lain. Ayah dan ibu juga sudah tak perduli lagi denganku, terlebih-lebih dengan nasib rakyat yang kalian rugikan. Bawalah harta kalian sampai mati! Hadi tak butuh harta! Asal kalian tahu Hadi hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari ayah dan ibu seperti dahulu.”
Mereka pun tersontak dengan apa yang kuucapkan. Mata meraka terbelalak tak percaya. Aku pun berlari ke tempat praduan dengan menanamkan kebencian. Keriuhan berubah menjadi sepi dan terus tenggelam dalam nada kelam.
Dalam ruang persegi, aku berselimut lara. Kegelisahan menghembus dan menghempaskanku pada dingin lantai. Keping-keping kenangan menaruh rindu akan masa silam. Mataku pun tiba-tiba mengembun membasahi lembaran wajahku. Bibirku pilu menggumam kebencian. Tubuhku lesuh dan terbaring, menyeruak dalam ketidaksadaran dan menguaklah sebuah mimpi.
***
Aku sekarang tepat berdiri di antara dinding-dinding cahaya. Menjelmalah rasa penasaran dalam relung batinku. Kutelusuri tiap jalan dengan langkah perlahan. Disaat rasa keputusasaanku hampir mencapai puncaknya, tiba-tiba secercah cahaya itu tumpah pada wajahku. Segera kukayuh kaki dengan cepat menujunya.
Sesampainya aku pada cahaya, terdengar bisik yang begitu lirih mengajakku mengikutinya, hingga suara itu terdengar begitu jelas masuk menyentil telinga. Hatiku berdetak kencang ketika kutahu suara itu berasal dari jurang yang sangat terjal dan tak terlihat ujungnya.
Tubuhku serasa meleleh oleh nyala lilin ketakutanku. Api yang besar berkobar di dalam jurang, membuat getir jiwaku.
“Aku adalah harta keluargamu!” Terdengar suara yang begitu menakutkan dari sela-sela kobaran api.
“Apa maksudmu? Siapa kamu sebenarnya?” Tanyaku pada suara misterius itu.
“Aku adalah harta panas yang ada pada sendi-sendi hidupmu dan mengalir bersama darahmu!”
Aku tak bisa berucap lagi setelah mendengar jawaban dari suara itu. Ketakutanku makin menjadi-jadi setelah terlihat bayangan ayah dan ibu yang merintih akibat terbakar oleh api itu.
“Aku akan menjadikan abu segala hartamu!” Suara itu mendentum di telingaku. “Dan rasakan panasnya harta yang telah mengalir dalam sendi-sendi hidupmu dan keluargamu!”
Suara itu terus terulang dan melayang menyelimuti diriku. Aku terus berlari mencari tempat praduanku. Kakiku pun terasa sangat berat dan letih berlari tanpa menemukan pangkalnya.
Disaat aku tak kuasa lagi berlari, aku pun terjatuh dari ruang imajinasi dan terjaga dalam mimpi burukku. Sesaat kusadar, api telah menjilati dan melahap langit-langit kamarku.
Terdengar gaduh suara sirine pemadam kebakaran dan teriak warga yang sibuk memadamkan api. Tetapi aku tak beranjak dan tetap termangu. Kegaduhan itu tak menggoyahkanku menikmati sepi.
Kenangan tentang ayah dan ibu kini sudah menjadi abu bersama hartanya. Kini aku pun bagai sehelai daun rapuh yang menggelantung di reranting sunyi.***


Makassar, 15 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar