RERANTING SUNYI
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxBulVbudELXma2SCjnj7A1XO3zQBtucq2yotJNVvtKcAFYsm_jnFt4Bz7EfzRI9zLxV2oILzsDDoQsuLZPyaRpPLeOfDsBtkWh3olurIIyRGTnqOA-2P6U1-G2rzBiEYmCZxfZcb4hyphenhyphen0/s1600/sad_man1.jpg)
Lautan
harta yang larung dalam tubuhku tak seplatonik tirta amerta. Apabila kuguris
tanganku, bukanlah noktah darah yang akan tercecer tetapi dosa-dosa. Selaksa
bebatuan yang tersusun dengan tiang-tiang hingga terbentuk rumahku laksana
istana dalam surga firdaus, mobilku tak terhitung dengan bilangan jemari,
uangku bak dedaunan di rimba, tetapi semua itu menyesatkanku hingga tak
kutemukan secercah cahaya kebahagiaan hidup.
Meja
makan yang terhampar luas dengan rentetan kenikmatan kuliner, anyap saja
menyentuh lidahku. Bahkan saat tertelan rasanya begitu getir. Lagi-lagi hanya
sepi yang meronta dalam sendi-sendi kerinduan. Rindu akan dekapan ayah, rindu
akan kecupan manis ibu disaat kami masih hidup sesederhana cinta. Tapi butiran-butiran
kenangan itu sudah pupus menguap karena teriknya zaman.
Ayah
kini menjadi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hidupnya mengapung pada
sampan kesibukan dan kepentingan pribadi untuk memperkaya diri. Saat ini tak
pernah lagi kutanya pada ayah tentang asal-muasal uang yang melimpah-ruah yang
selalu dia bawa pulang. Kalau kutanyakan, bisa-bisa habis wajahku penuh luka.
Rumahku
begitu sepi, walau berbagai fasilitas surga tersedia. Kini ayah dan ibu selalu
sibuk dengan urusan pribadinya, tinggal aku saja yang terus bermain dengan
sunyi. Setiap harinya kutunggu mereka pulang pada batas malam, tetapi tak
jarang mereka lupa pada rumah ini, mungkin mereka berkelana ke mana saja mereka
mau karena bagi mereka dunia itu dalam genggamannya.
“Ke
mana kebahagiaan dan keceriaan kita yang dahulu?” Jeritku membatin.
Namun
hanya hampa jawaban yang kudapatkan. Hingga sepi menghilir pada ruang-ruang,
lalu melelapkanku pada malam.
***
Deru-menderu
suara bel menggaduh membuatku terjaga. Kurasa ayah dan ibu sudah pulang dari
kesibukannya hari ini. Segera kulangkahkan kakiku dan mengayunkan daun pintu
menyambut kedatangan mereka.
“Lama
sekali kamu membuka pintunya!” Pekik ayah dengan mata yang memerah lesuh.
“Hadi
ketiduran Yah!” Jawabku lirih.
“Ah,
alasan saja!” Sautnya marah.
“Sudahlah
Yah, mari kita masuk dahulu!” Ujar ibu menenangkan, lalu menggandeng ayah
masuk.
Hatiku
meronta kesal dengan sikap ayah. Tetapi aku selalu melapangkan dada untuk
memakluminya. Aku segera menutup daun pintu dan ikut duduk bersama mereka di sofa.
Aku
ingin mendengar cerita mereka hari ini, telingaku pun menyeruak ke dalam
perbincangan mereka.
“Ayah
lihat tidak mata orang-orang miskin yang kita santuni tadi,” ujar ibu lalu
tertawa. “Mereka begitu bahagia dengan uluran tangan kita dan mereka sangat
kagum dengan perhiasan-perhiasan yang ibu kenakan.”
“Hahaha,
itu sudah pasti Bu! Jelas saja mereka kagum karena mana mungkin mereka mampu
membeli perhiasan yang ibu kenakan. Dan asal ibu tahu harta kita ini tak akan
pernah habis walau kita terus memberikan santunan kepada orang-orang kampung
macam itu!”
“Benar
itu Yah! Sudah pasti harta kita ini tak akan habis-habisnya, asalkan saja ayah
juga tidak pernah berhenti untuk membuat proyek-proyek besar negara dan meraup
keuntungan sebesar-besarnya.”
Hatiku
terpental jauh ke hulu mendengar ucapan mereka. Aku tak menyangka orang tuaku
menjadi sangat licik karena obsesi mereka akan kekayaan.
“Astagfirullahhaladzim!
Ayah dan ibu benar-benar sudah dibutakan oleh harta. Tindakan kalian sudah ke
lewat batas.” Ujarku menyela perbincangan mereka.
“Apa
maksudmu?” Hentak ayah. “Sudah berani kamu melawan orang tuamu sekarang!”
Tiba-tiba ayah berdiri di depanku dan tangannya yang dahulu membelai lembut
rambutku, kini mengayun keras menyentuh pipiku.
Aku
pun tersungkur ke lantai. Masih sangat terasa tamparan ayah. Hingga jemarinya
pun meninggalkan lukisan pada kanvas wajahku.
“Iya!
Sekarang Hadi sudah berani melawan orang tua seperti kalian. Kalian seperti
iblis! Tak punya perasaan. Untuk apa Hadi mesti takzim terhadap orang-orang
licik yang merampas harta dan hak orang lain. Ayah dan ibu juga sudah tak
perduli lagi denganku, terlebih-lebih dengan nasib rakyat yang kalian rugikan.
Bawalah harta kalian sampai mati! Hadi tak butuh harta! Asal kalian tahu Hadi
hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari ayah dan ibu seperti dahulu.”
Mereka
pun tersontak dengan apa yang kuucapkan. Mata meraka terbelalak tak percaya.
Aku pun berlari ke tempat praduan dengan menanamkan kebencian. Keriuhan berubah
menjadi sepi dan terus tenggelam dalam nada kelam.
Dalam
ruang persegi, aku berselimut lara. Kegelisahan menghembus dan menghempaskanku
pada dingin lantai. Keping-keping kenangan menaruh rindu akan masa silam.
Mataku pun tiba-tiba mengembun membasahi lembaran wajahku. Bibirku pilu menggumam
kebencian. Tubuhku lesuh dan terbaring, menyeruak dalam ketidaksadaran dan
menguaklah sebuah mimpi.
***
Aku
sekarang tepat berdiri di antara dinding-dinding cahaya. Menjelmalah rasa
penasaran dalam relung batinku. Kutelusuri tiap jalan dengan langkah perlahan.
Disaat rasa keputusasaanku hampir mencapai puncaknya, tiba-tiba secercah cahaya
itu tumpah pada wajahku. Segera kukayuh kaki dengan cepat menujunya.
Sesampainya
aku pada cahaya, terdengar bisik yang begitu lirih mengajakku mengikutinya,
hingga suara itu terdengar begitu jelas masuk menyentil telinga. Hatiku
berdetak kencang ketika kutahu suara itu berasal dari jurang yang sangat terjal
dan tak terlihat ujungnya.
Tubuhku
serasa meleleh oleh nyala lilin ketakutanku. Api yang besar berkobar di dalam jurang,
membuat getir jiwaku.
“Aku
adalah harta keluargamu!” Terdengar suara yang begitu menakutkan dari sela-sela
kobaran api.
“Apa
maksudmu? Siapa kamu sebenarnya?” Tanyaku pada suara misterius itu.
“Aku
adalah harta panas yang ada pada sendi-sendi hidupmu dan mengalir bersama
darahmu!”
Aku
tak bisa berucap lagi setelah mendengar jawaban dari suara itu. Ketakutanku
makin menjadi-jadi setelah terlihat bayangan ayah dan ibu yang merintih akibat
terbakar oleh api itu.
“Aku
akan menjadikan abu segala hartamu!” Suara itu mendentum di telingaku. “Dan
rasakan panasnya harta yang telah mengalir dalam sendi-sendi hidupmu dan
keluargamu!”
Suara
itu terus terulang dan melayang menyelimuti diriku. Aku terus berlari mencari
tempat praduanku. Kakiku pun terasa sangat berat dan letih berlari tanpa
menemukan pangkalnya.
Disaat
aku tak kuasa lagi berlari, aku pun terjatuh dari ruang imajinasi dan terjaga
dalam mimpi burukku. Sesaat kusadar, api telah menjilati dan melahap
langit-langit kamarku.
Terdengar
gaduh suara sirine pemadam kebakaran dan teriak warga yang sibuk memadamkan
api. Tetapi aku tak beranjak dan tetap termangu. Kegaduhan itu tak
menggoyahkanku menikmati sepi.
Kenangan
tentang ayah dan ibu kini sudah menjadi abu bersama hartanya. Kini aku pun
bagai sehelai daun rapuh yang menggelantung di reranting sunyi.***
Makassar, 15 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar