PELABUHAN CINTA*
Saat malam menyapa dunia. Kau dan aku duduk
berdua di bawah ranting-ranting cakrawala. Kudapati resah di matamu yang telaga. Membawa hujan bersama kata-kata yang
tumpah dari kedua bibirmu.
Aku beranjak lalu kulangkahkan kaki perlahan menuju kelopak pantai.
Percikan-percikan air laut mendarat mengembuni wajahku. Kau pun menghampiri dan
merengkuh tubuhku dari belakang. Aku merasakan kehangatan yang begitu mendalam
menyeruak ke relung-relung jantungku.
“Aku mencintaimu....” Terdengar suaramu yang begitu teduh
menenangkan hatiku. Suara yang memang begitu sangat ingin kudengar dari kedua
daun bibirmu.
Ingin rasanya kuberbalik, dan menatapmu penuh ketulusan. Tapi ada
sesuatu yang mencegahku. Hinggaku semakin larung dalam ombak kekecewaanku.
“Bila air mata tak lagi bermakna,
dan asaku mungkin telah terhempas tak kamu temukan lagi. Apakah boleh aku
menimba maafmu?” Ucapmu lirih.
Lalu kau semakin erat mendekapku.
Dan kau sandarkan kepala di pundakku. Membuatku luluh terlarut suasana mesra
yang kau ciptakan.
“Sulit untuk kuhapus segala rasa kesal yang telah kamu lakukan Ki!”
Ujarku menjawab kata-katamu yang membuatku begitu mengaharu biru di langit
hatiku.
Aku berbalik dan melepaskan belenggu dari tubuhmu. Dan saat kulihat
butiran-butiran air mata yang tumpah menghujani kedua pipimu yang begitu
lembut. Aku pun tak kuasa menahan air mataku juga.
“Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan aku?” Tanyamu
lagi.
Aku termangu melihat gerlap gemintang dari rona-rona matamu. Dan
saat itu kulihat ketulusan yang sangat dalam dari kedua mata yang begitu indah.
“Kamu tak perlu melakukan apapun untuk membuatku memaafkanmu
sekarang. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah ungkapan cinta darimu agar aku
benar-benar yakin untuk melabuhkan cintaku padamu. Ya itu saja....”
Setelah aku mengatakan itu, kulihat dari wajahmu seuntai senyum
yang begitu manis hingga membenamkan aku dalam pesonamu.
“Aku sangat mencintaimu Bi. Aku sangat-sangat mencintaimu!” Ujarmu
penuh kesungguhan.
Selaksa bahagia saat kudengar kau lantunkan kata-kata cinta itu.
Serasa tiada kata yang paling indah selain sabda cintamu itu.
“Aku juga mencintaimu Ki!” Sautku ceria.
Dan di sinilah luruh sudah seluruh asaku. Ombak telah berhenti
menderu, dan menghapus segala jejak kedukaan kita. Aku rasa ini saat yang tepat
untukku ungkapkan segalanya.
Di saat itu mata kita saling menatap seolah berbicara. Aku pun
mulai menarik tanganmu dan menautkan jari kita. Aku ingin mengalirkan segenap
rasa cinta yang telah larut dalam darahku.
“Apakah aku boleh menjadi air dalam telaga cintamu? Apakah kamu mau
menjadi bunga untuk menghiasi vas hatiku yang kosong? Aku benar-benar
mencintaimu. Apakah kamu mau menjadi kekasihku?” tanyaku dengan sungguh hati.
Kau terus memandangku dan menggenggam jemariku lebih keras lagi.
Lalu kau anggukan kepalamu.
“Kamu boleh menjadi air dalam telagaku! Aku mau menjadi bunga tuk
mengisi dan menghiasi vas hatimu! Aku pun juga benar-benar mencintaimu. Dan aku
sangat ingin menjadi kekasihmu!” jawabmu penuh kepastian.
Dan saat itulah kau dan aku akan
mulai mendayuh perahu untuk pelayaran cinta kita. Ketakutan akan luka tiada
lagi ada. Semenjak kita saling mengucapkan janji untuk selalu bersama hingga
kita tiada lagi terjaga....
***
16 Desember....
Kau termenung sedih di lobi kampus. Padahal itu tepat seminggu
setelah kita diwisuda. Mungkin karena kau telah mengetahui bahwa aku akan pergi
meneruskan kuliahku ke luar negeri.
Tepat di mading kampus, namaku tercantum sebagai salah satu
mahasiswa pascasarjana yang mendapatkan beasiswa ke University of Australia.
Tapi aku tak melihat kebahagiaan atau kebanggaan dari wajahmu. Justru kau malah
terlihat sedih dan gelisah.
Aku pun mencoba untuk mendekatimu. Tetapi kau malah memalingkan
muka yang basah karena tetesan tangismu.
“Kamu kenapa Sayang?” Ucapaku lirih.
“Aku takut kehilangan kamu. Aku tak bisa jauh dari kamu Bi....”
Jawabmu sambil menolehkan muka ke arahku.
Aku belum pernah melihat kesedihan yang begitu mendalam terpancar
dari raut wajahmu seperti saat ini. Lalu kucoba untuk menghapus butiran-butiran
air mata yang membasahi wajahmu.
“Aku hanya pergi sebentar dan aku janji akan kembali lagi untukmu Sayang!”
Ujarku mencoba menenangkanmu.
“Hmm... dua tahun itu bukan sebentar Bi!”
“Iya. Tapi kamu harus tahu, berapa lamapun dan seberapa jauhpun
kita berpisah. Hati aku tidak akan goyah untuk mencintai kamu. Cinta aku tak
akan usang dan hancur oleh apapun. Cintaku itu selamanya untuk kamu Ki. Kamu yakin
itukan?”
“Iya, aku yakin itu!”
Setelah suasana hati kita semakin tenang. Kau coba untuk
menyandarkan kepalamu di pundakku. Aku pun berusaha untuk membuatmu selalu
merasa teduh dan terlindung dari apapun saat bersamaku.
Saat matahari sudah hampir tenggelam dalam bayang-bayang senja.
Kita bergegas untuk pulang ke rumah. Aku mencoba menegarkan langkahku untuk
perpisahan ini.
“Besok aku harus pergi ke Australia. Kamu jaga dirimu baik-baik ya
di sini.” Ucapku penuh lara.
Aku benar-benar tak kuasa melihat matamu yang begitu sedih. Aku
mencoba merangkulmu dan mendekapmu penuh cinta agar pupus sedihmu.
“Iya sayang. Kamu juga jaga diri baik-baik ya di sana. Jangan
nakal!” Ujarmu dengan senyuman khasmu yang begitu indah.
Aku tersenyum dan melepaskan pelukanku kepadamu. Aku pun
mendaratkan ciumanku ke keningmu. Mungkin ini adalah momen indah yang sangat
jarang terjadi selama kita bersama.
“Aku mencintaimu.” Bisikku kedalam lorong-lorong telingamu.
“Aku juga mencintamu.” Ucapmu sangat lirih menggetarkan daun-daun
telingaku.
Saat kau berjalan perlahan membuka gerbang rumahmu. Lalu air mataku
tak terbendung lagi bergulir satu per satu. Lalu kau berbalik dan menatapku
untuk yang terakhir sebelum kau menutup gerbang rumahmu. Aku tahu kau pasti
juga merasakan apa yang kurasakan saat ini.
Setelah suasana hening menghembus menyelimuti tubuhku. Aku pun
mulai melangkahkan kakiku pergi meninggalkan jejak-jejak yang tak bersambut
lagi.
***
17 Mei, dua tahun kemudian....
Kau berdiri di tempat yang sama saat kita menangisi perpisahan dua
tahun yang lalu. Kau dengan langkah bahagia membukakan gerbang rumahmu untuk
menyambut kedatanganku.
Kini kau bertambah cantik, aku benar-benar merindukanmu. Akhirnya
aku bisa melihat kembali wajahmu yang begitu manis, matamu yang telaga dan
senyummu yang begitu indah bak pelangi surga.
Kemarin-kemarin aku hanya bisa menuliskan rindu dilembaran-lembaran
kertas yang kuubah menjadi sebuah puisi. Tapi sekarang segala yang
kuimajinasikan dalam lamunanku menjadi hal nyata. Inilah saatnya aku harus
mengungkapkan segala hasratku padamu.
Saat mata kita saling menatap mengalirkan rindu. Aku membuka tasku
lalu mengeluarkan kue ulang tahun yang kubeli sebelumnya.
“Selamat ulang tahun ya Sayangku?” ucapku penuh kejutan.
Aku lihat mukamu yang memerah dan bahagia menyaksikan kejutan yang
kuberikan. Mungkin kau tak menduga aku akan datang tepat dihari ulang tahunmu.
“Ya Allah, kamu itu Bi. Bisa banget buat aku tersanjung. Terimakasih
ya Sayang.” Ujarmu penuh keceriaan.
“Hehe... iya Sayang. Aku masih punya satu kejutan lagi untuk Kamu.”
Ucapku sambil merogoh kantung celana mengambil sebuah cincin dan
mempersembahkannya kepadamu. “Maukah kamu menjadi istriku?” Tambahku.
“Abi, kamu serius?” Tanyamu heran tak percaya.
“Iya, aku sangat serius. Aku mau meminang kamu jadi istriku?”
“Iya!” Kali ini, kau mengangguk mantap. Dan menatap mataku begitu
dalam.
Disaat itu kita sama-sama merasa gemercik cinta telah membasahi
hati dan melarungkan kita dalam sebuah samudra yang begitu luas. Kita pun
saling mengikrarkan janji untuk selalu setia dalam suka dan duka sampai maut
yang memisahkan kita. Dan akhirnya pelayaran cinta kita berlabuh di pelabuhan cinta
yang sesungguhnya. ***
*
Pelabuhan
Cinta (Terinspirasi
dari puisi ‘Kisah Kita’).
TelagaSastra, 8
Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar