LAGU
LARA LILI MARALI
LILI
termangu menatap ranting-ranting cakrawala. Tubuhnya menggigil disetubuhi
malam. Hembusan angin menyeruak kesela-sela pepohonan mengalunkan sebuah lagu
lara. Kunang-kunang menabur cahaya membiaskan kerinduan. Tetapi Lili tetap
tidak goyah sedekitpun. Butiran-butiran air mata terus mengucur deras membasahi
kanvas wajahnya. Begitu jelas terlukis kesedihan yang sangat mendalam
direlung-relung hatinya.
Malam
itupun hujan datang tanpa berkata-kata. Menggaduh segaduh-gaduhnya. Atap rumah
mendentum keras terketuk jemari hujan. Lili pun tak beranjak pergi dan tetap
duduk di batas malam. Tubuhnya sangat menggigil. Akan tetapi tak terlihat ada
niat Lili untuk selangkahpun berteduh dan menghangatkan tubuhnya. Ia membiarkan
hujan dari matanya bercampur dengan hujan dari langit-langit kelam.
Entah
apa yang sedang dicari dan ditunggu oleh gadis kecil itu. Wajahnya yang dahulu
begitu ceria sekarang telah sirna bersama selaksa duka yang melarung
dikehidupannya. Lili adalah anak tunggal dari keluarga yang sangat sederhana.
Ayahnya, Marali hanya seorang pedagang asongan di stasiun Tanah Abang. Dan
Shuli, ibunya telah lama meninggal setelah melahirkannya.
Sejak
kecil Lili tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ayahnyalah yang
menggantikan sosok ibu untuk Lili. Ayahnya juga yang memainkan peran yang
memang ia punya sebagai seorang ayah.
Langit
yang temaram di pandanginya dengan tatapan kosong. Titik-titik air yang terus
berjatuhan membuka tirai-tirai kenangan tentang ayahnya.
Ayah
adalah sosok pahlawan yang sangat dikagumi Lili. Sudah hampir 15 tahun ayahnya
merawat Lili dengan segala pengorbanan yang luar biasa. Bila Lili mengingat
cucuran keringat ayahnya yang tiada henti mengalir dari kening sampai ke daun
bibirnya, Lili pun tak kuasa menahan air mata yang tumpah ruah membasahi
wajahnya yang begitu lugu.
Tubuh
Lili semakin menggigil dan hatinya terus bergerak untuk meminta otaknya
mengulang kejadian hari ini. Lili pun menutup matanya dan masuk kedalam lumbung
ingatan.
***
Pagi
itu hari sangat cerah. Matahari mulai mengintip di balik birunya awan. Ayahnya
sudah siap untuk pergi ke stasiun untuk berdagang asongan. Tetapi ada sesuatu
yang berbeda yang dirasakan Lili dalam hatinya.
“Lili,
ayah berangkat ke stasiun dulu ya?” Ujar ayahnya dengan wajah yang begitu
lesuh.
“Iya!
Oiya hari ini Lili boleh ikut ayah ya ke stasiun?” Ucap Lili dengan penuh
pengharapan dan wajah yang gelisah.
“Jangan
Sayang! Kamu belajar saja. Besokkan kamu Ujian Nasional di sekolah.”
“Hanya
sebentar kok Yah. Nanti kalau sudah siang Lili pulang sendiri dari stasiun!”
“Jangan
anakku!”
“Tapi
Lili mau ikut ayah hari ini. Entah kenapa hari ini Lili ingin sekali bersama
ayah! Lili khawatir dengan kondisi ayah hari ini. Tidak apa-apa ya Yah?” Lili
mencoba membujuk ayahnya dan memasang wajah yang begitu berharap.
“Ya
sudah. Tapi janji nanti setelah dzuhur kamu langsung pulang dan belajar untuk
besok ya Nak!”
“Iya
Yah, Lili janji!” Ujar Lili lirih penuh senyuman.
Lili
dan ayahnya pun bergegas pergi ke stasiun Tanah Abang untuk berdagang.
Sepanjang perjalanan Lili tidak pernah melepaskan jemarinya yang bertaut dengan
jemari ayahnya. Dengan suara yang merdu Lili pun bernyanyi sebuah lagu kesukaan
mereka berdua. Ayahnya tersenyum lebar mendengar Lili menyanyikan lagu itu.
Tiap langkah kaki mereka pun bersambut kebahagiaan.
Sesampainya
Lili dan ayahnya di stasiun. Meraka pun langsung menjajakan dagangannya kepada
orang-orang yang berada di stasiun. Satu persatu kereta berlalu lalang di
stasiun, menaikan dan menurunkan penumpangnya. Lili dengan suara yang lantang
terus membantu ayahnya untuk menawarkan dagangannya kepada orang-orang.
“Permen,
rokok, tisu! Permen, rokok, tisu! Permen, rokok, tisu!” Ujar Lili dengan suara
yang lantang.
Sesekali
ayahnya menatap wajah Lili dengan penuh rasa bangga. Lili tidak pernah malu
untuk berdagang bersama ayahnya. Lili juga tidak pernah mengeluh dengan
pekerjaan itu. Padahal banyak teman-teman Lili di sekolah yang mempunyai orang
tua yang mampu. Teman-temannya pun sering mengejek Lili dengan kata-kata yang
baru saja diteriakan olehnya. Tetapi Lili selalu tegar. Ia bahkan bangga dengan
perjuangan ayahnya untuk terus menafkahinya dari ia baru lahir sampai sekarang
bersekolah di kelas IX SMP.
Sering
kali ucapan syukur terlontar dari kedua bibir Lili yang tipis. Lili sangat
bersyukur karena ia masih bisa bersekolah walaupun dengan perjuangan dari
ayahnya yang sangat luar biasa. Banyak teman-teman Lili di rumah yang tidak
bisa meneruskan sekolah karena biaya. Padahal ayah-ayah mereka juga sama
seperti ayah Lili, pedagang asongan di beberapa stasiun. Itulah yang membuat
Lili semangat bersekolah dan memiliki cita-cita menjadi pengusaha sukses untuk
membahagiakan ayahnya.
Adzan
dzuhur pun berkumandang. Lili dan ayahnya bergegas menuju masjid yang berada
dekat dari stasiun. Setelah sampai mereka pun berwudhu lalu solat berjamaah.
Seusai solat, Lili mencium tangan ayahnya. Terlihat begitu indah keakraban yang
mereka jalin.
“Lili
mencintai ayah karena Allah!” Ujar Lili dengan lirih.
Tak
terbendung lagi butiran-butiran kristal dari kedua mata Lili dan ayahnya.
Senyuman bahagia terlukis jelas di wajah mereka. Kebahagiaan tidak membutuhkan
banyak harta, karena kebahagian adalah sederhana untuk mereka. Kasih sayang
adalah kunci mereka menadapatkan kebahagiaan tersebut.
“Ayah
juga mencintai Lili karena Allah!” Ujar Ayahnya mengharu biru.
“Lili
senang ayah memberikanku nama Lili Marali. Karena satu-satunya pahlawan yang
paling Lili kagumi adalah ayah. Dan nama ayah yang berada di belakang namaku
itu adalah sebuah kebanggaan terbesar untuk Lili. Lili harap kita akan seperti
namaku ya Yah! Tidak akan terpisah. Dengan adanya nama ayah ini, maka segala
tentang ayah akan selalu terukir selamanya dalam lembaran hidup Lili.” Ujar
Lili dengan terisak.
Sesaat
kemudian ayahnya memeluk dan mencium kening Lili. Air matanya tak bisa berhenti
menetes karena mendengar perkataan Lili tadi. Rasa sakitnya yang sebelumnya
dirasakan, kini tiada lagi terasa. Bagi ayahnya Lili adalah obat dari
kesakitannya itu.
“Ayah
bangga mempunyai anak seperti Lili! Ayah bangga sekali!”
“Lili
juga sangat bangga mempunyai ayah seperti ayah Marali! Buat Lili ayah adalah
ayah yang paling hebat di dunia ini.” Ujar Lili dengan senyuman yang sangat
manis dan indah yang dirasakan oleh ayahnya.
Lili
dan ayahnya saling menatap dengan tatapan penuh kasih sayang. Dalam pikiran
mereka hanya ada satu hal, saling memberi kebahagiaan. Itu yang membuat hidup
mereka sangat harmonis dan bahagia.
“Terima
kasih ya Allah, Engkau telah memberikanku anak yang berbakti dan soleha seperti
Lili. Lili adalah satu-satunya harta yang paling berharga di dalam hidupku.
Apabila jasadku sudah tak bernyawa lagi, jagalah ia dan berikanlah selimut
kasih sayang-Mu, agar ia tidak pernah merasa sedih dalam menjalani hidupnya.”
Ujar ayah dalam hati.
Setelah
mereka selasai berbincang. Lili pun bergegas untuk pulang ke rumah. Lili
mencium tangan ayahnya dan segera pamit.
“Ayah,
Lili pulang ya! Ayah jaga diri baik-baik. Kalau sakit, jangan dipaksakan
berdagangnya. Ayah langsung pulang saja, istirahat.” Ujar Lili dengan lirih.
“Iya
anakku sayang! Kamu pulangnya hati-hati ya Nak! Ingat sampai di rumah langsung
belajar!” Ujar ayahnya lalu mencium kening Lili.
Setelah
berpamitan, Lili pun melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumah. Ayahnya
kembali melanjutkan berdagang di stasiun.
Di
pertengahan jalan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Lili. Entah kenapa
kekhawatirannya kembali muncul. Tetapi Lili mencoba untuk menghilangkan
bayang-bayang negatif yang ada dalam pikirannya.
Sesampainya
Lili di rumah. Ia segera merapikan rumahnya dan mandi, lalu Lili pun belajar
untuk Ujian Nasional besok.
Tak
lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Lili pun segera
menghampiri orang tersebut.
“Eh,
pak Tejo! Ada apa ke sini?” Ujar Lili menyapa.
“Nak
Lili sabar ya! Ada kabar duka. Ayah kamu meninggal dunia.” Ujar pak Tejo dengan
nada sedu.
“Astagfirullahhal’adzim!
Pak Tejo serius... ayah kenapa?” Ujar Lili dengan wajah pucat dan sangat
terkejut.
“Ayahmu
tadi terjatuh dari kereta. Ia kehilangan keseimbangan saat di berada di depan
pintu masuk kereta. Sepertinya memang ia sedang sakit. Sekarang jasadnya sudah
dibawa ke rumah sakit Nak Lili!” Tandas pak Tejo menjelaskan kronologinya
kepada Lili.
“Ya
Allah ayah! Innalillahi wainnailaihi rojiun...,” ujar Lili sangat terkejut.
“Sekarang tolong antarkan Lili ke rumah sakit ya pak Tejo?”
“Iya!
Ya sudah kamu kunci rumah dan siap-siap sekarang.”
“Baik
Pak!”
Lili
dan pak Tejo pun segera berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan Lili
terus menangis dan tak percaya. Ayahnya yang begitu sangat ia sayangi telah
meninggal.
Sesampainya
Lili di rumah sakit, ia pun langsung menuju ruang jenazah. Lili pun ditunjukan
oleh petugas rumah sakit jenazah ayahnya.
“Ini
jenazah bapak Marali Dik!” Ujar petugas rumah sakit.
“Ayaaaaaaah...!”
Ujar Lili tersontak.
Peristiwa
ini begitu sangat mengejutkan hati Lili. Setelah melihat jenazah ayahnya, Lili
pun tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri. Pak Tejo dan petugas rumah sakit pun
akhirnya mengangkat dan membawa Lili pulang ke rumah.
Sore
itupun jenazah ayah Lili di urus oleh warga dan akan segera dimakamkan. Sebelum
dimakamkan pak Tejo menyadarkan Lili. Saat Lili tahu bahwa ayahnya akan segara
dimakamkan, ia pun langsung memeluk dan mencium wajah ayahnya.
“Ayah!
Ayah kenapa pergi meninggalkan Lili?” Ucap Lili kepada jenazah ayahnya. “Lili
sayang sama Ayah! Hanya ayah yang Lili punya saat ini... ayah jangan pergi!”
Air
mata Lili tiada berhenti melihat ayahnya yang sudah tidak bisa menjawab segala
pertanyaannya itu. Pak Tejo pun menarik Lili dan mencoba menenangkan Lili.
Akhirnya
warga pun segera mengangkat jenazah Marali dengan keranda untuk segera disolati
lalu dimakamkan di tempat pemakaman umum terdekat.
Seusai
dimakamkan Lili pun pulang bersama rombongan warga. Sesampainya ia di rumah.
Lili merasa begitu hampa. Ia terhanyut dan melayang dalam sepi. Ayahnya,
seseorang yang paling ia cintai dan satu-satu orang yang menemani dalam suka
dan duka saat ini telah tiada.
***
Langit
masih belum berhenti menurunkan butiran-butiran hujan. Lili pun tersadar dalam
lamunannya. Ia masih duduk termangu. Kini tiada lagi kegembiraan bersama
ayahnya.
Deru-menderu
suara angin mengiringi suara Lili yang sumbang. Lagu kesukaan Lili dan ayahnya
pun kini telah berganti dengan lagu lara, lagu yang sangat lara.
Jerit
batin Lili menjadi gemalau suara yang begitu kacau. Goresan kilat dan suara
petir pun begitu menyadarkannya. Bahwa saat ini hidup seorang Lili Marali tak
lebih seperti lagu lara yang baru saja ia nyanyikan.***
TelagaSastra,
8 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar