Sabtu, 01 Februari 2014

CERPEN - LAGU LARA LILI MARALI

LAGU LARA LILI MARALI


LILI termangu menatap ranting-ranting cakrawala. Tubuhnya menggigil disetubuhi malam. Hembusan angin menyeruak kesela-sela pepohonan mengalunkan sebuah lagu lara. Kunang-kunang menabur cahaya membiaskan kerinduan. Tetapi Lili tetap tidak goyah sedekitpun. Butiran-butiran air mata terus mengucur deras membasahi kanvas wajahnya. Begitu jelas terlukis kesedihan yang sangat mendalam direlung-relung hatinya.
Malam itupun hujan datang tanpa berkata-kata. Menggaduh segaduh-gaduhnya. Atap rumah mendentum keras terketuk jemari hujan. Lili pun tak beranjak pergi dan tetap duduk di batas malam. Tubuhnya sangat menggigil. Akan tetapi tak terlihat ada niat Lili untuk selangkahpun berteduh dan menghangatkan tubuhnya. Ia membiarkan hujan dari matanya bercampur dengan hujan dari langit-langit kelam.
Entah apa yang sedang dicari dan ditunggu oleh gadis kecil itu. Wajahnya yang dahulu begitu ceria sekarang telah sirna bersama selaksa duka yang melarung dikehidupannya. Lili adalah anak tunggal dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Marali hanya seorang pedagang asongan di stasiun Tanah Abang. Dan Shuli, ibunya telah lama meninggal setelah melahirkannya.
Sejak kecil Lili tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ayahnyalah yang menggantikan sosok ibu untuk Lili. Ayahnya juga yang memainkan peran yang memang ia punya sebagai seorang ayah.
Langit yang temaram di pandanginya dengan tatapan kosong. Titik-titik air yang terus berjatuhan membuka tirai-tirai kenangan tentang ayahnya.
Ayah adalah sosok pahlawan yang sangat dikagumi Lili. Sudah hampir 15 tahun ayahnya merawat Lili dengan segala pengorbanan yang luar biasa. Bila Lili mengingat cucuran keringat ayahnya yang tiada henti mengalir dari kening sampai ke daun bibirnya, Lili pun tak kuasa menahan air mata yang tumpah ruah membasahi wajahnya yang begitu lugu.
Tubuh Lili semakin menggigil dan hatinya terus bergerak untuk meminta otaknya mengulang kejadian hari ini. Lili pun menutup matanya dan masuk kedalam lumbung ingatan.
***
Pagi itu hari sangat cerah. Matahari mulai mengintip di balik birunya awan. Ayahnya sudah siap untuk pergi ke stasiun untuk berdagang asongan. Tetapi ada sesuatu yang berbeda yang dirasakan Lili dalam hatinya.
“Lili, ayah berangkat ke stasiun dulu ya?” Ujar ayahnya dengan wajah yang begitu lesuh.
“Iya! Oiya hari ini Lili boleh ikut ayah ya ke stasiun?” Ucap Lili dengan penuh pengharapan dan wajah yang gelisah.
“Jangan Sayang! Kamu belajar saja. Besokkan kamu Ujian Nasional di sekolah.”
“Hanya sebentar kok Yah. Nanti kalau sudah siang Lili pulang sendiri dari stasiun!”
“Jangan anakku!”
“Tapi Lili mau ikut ayah hari ini. Entah kenapa hari ini Lili ingin sekali bersama ayah! Lili khawatir dengan kondisi ayah hari ini. Tidak apa-apa ya Yah?” Lili mencoba membujuk ayahnya dan memasang wajah yang begitu berharap.
“Ya sudah. Tapi janji nanti setelah dzuhur kamu langsung pulang dan belajar untuk besok ya Nak!”
“Iya Yah, Lili janji!” Ujar Lili lirih penuh senyuman.
Lili dan ayahnya pun bergegas pergi ke stasiun Tanah Abang untuk berdagang. Sepanjang perjalanan Lili tidak pernah melepaskan jemarinya yang bertaut dengan jemari ayahnya. Dengan suara yang merdu Lili pun bernyanyi sebuah lagu kesukaan mereka berdua. Ayahnya tersenyum lebar mendengar Lili menyanyikan lagu itu. Tiap langkah kaki mereka pun bersambut kebahagiaan.
Sesampainya Lili dan ayahnya di stasiun. Meraka pun langsung menjajakan dagangannya kepada orang-orang yang berada di stasiun. Satu persatu kereta berlalu lalang di stasiun, menaikan dan menurunkan penumpangnya. Lili dengan suara yang lantang terus membantu ayahnya untuk menawarkan dagangannya kepada orang-orang.
“Permen, rokok, tisu! Permen, rokok, tisu! Permen, rokok, tisu!” Ujar Lili dengan suara yang lantang.
Sesekali ayahnya menatap wajah Lili dengan penuh rasa bangga. Lili tidak pernah malu untuk berdagang bersama ayahnya. Lili juga tidak pernah mengeluh dengan pekerjaan itu. Padahal banyak teman-teman Lili di sekolah yang mempunyai orang tua yang mampu. Teman-temannya pun sering mengejek Lili dengan kata-kata yang baru saja diteriakan olehnya. Tetapi Lili selalu tegar. Ia bahkan bangga dengan perjuangan ayahnya untuk terus menafkahinya dari ia baru lahir sampai sekarang bersekolah di kelas IX SMP.
Sering kali ucapan syukur terlontar dari kedua bibir Lili yang tipis. Lili sangat bersyukur karena ia masih bisa bersekolah walaupun dengan perjuangan dari ayahnya yang sangat luar biasa. Banyak teman-teman Lili di rumah yang tidak bisa meneruskan sekolah karena biaya. Padahal ayah-ayah mereka juga sama seperti ayah Lili, pedagang asongan di beberapa stasiun. Itulah yang membuat Lili semangat bersekolah dan memiliki cita-cita menjadi pengusaha sukses untuk membahagiakan ayahnya.
Adzan dzuhur pun berkumandang. Lili dan ayahnya bergegas menuju masjid yang berada dekat dari stasiun. Setelah sampai mereka pun berwudhu lalu solat berjamaah. Seusai solat, Lili mencium tangan ayahnya. Terlihat begitu indah keakraban yang mereka jalin.
“Lili mencintai ayah karena Allah!” Ujar Lili dengan lirih.
Tak terbendung lagi butiran-butiran kristal dari kedua mata Lili dan ayahnya. Senyuman bahagia terlukis jelas di wajah mereka. Kebahagiaan tidak membutuhkan banyak harta, karena kebahagian adalah sederhana untuk mereka. Kasih sayang adalah kunci mereka menadapatkan kebahagiaan tersebut.
“Ayah juga mencintai Lili karena Allah!” Ujar Ayahnya mengharu biru.
“Lili senang ayah memberikanku nama Lili Marali. Karena satu-satunya pahlawan yang paling Lili kagumi adalah ayah. Dan nama ayah yang berada di belakang namaku itu adalah sebuah kebanggaan terbesar untuk Lili. Lili harap kita akan seperti namaku ya Yah! Tidak akan terpisah. Dengan adanya nama ayah ini, maka segala tentang ayah akan selalu terukir selamanya dalam lembaran hidup Lili.” Ujar Lili dengan terisak.
Sesaat kemudian ayahnya memeluk dan mencium kening Lili. Air matanya tak bisa berhenti menetes karena mendengar perkataan Lili tadi. Rasa sakitnya yang sebelumnya dirasakan, kini tiada lagi terasa. Bagi ayahnya Lili adalah obat dari kesakitannya itu.
“Ayah bangga mempunyai anak seperti Lili! Ayah bangga sekali!”
“Lili juga sangat bangga mempunyai ayah seperti ayah Marali! Buat Lili ayah adalah ayah yang paling hebat di dunia ini.” Ujar Lili dengan senyuman yang sangat manis dan indah yang dirasakan oleh ayahnya.
Lili dan ayahnya saling menatap dengan tatapan penuh kasih sayang. Dalam pikiran mereka hanya ada satu hal, saling memberi kebahagiaan. Itu yang membuat hidup mereka sangat harmonis dan bahagia.
“Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikanku anak yang berbakti dan soleha seperti Lili. Lili adalah satu-satunya harta yang paling berharga di dalam hidupku. Apabila jasadku sudah tak bernyawa lagi, jagalah ia dan berikanlah selimut kasih sayang-Mu, agar ia tidak pernah merasa sedih dalam menjalani hidupnya.” Ujar ayah dalam hati.
Setelah mereka selasai berbincang. Lili pun bergegas untuk pulang ke rumah. Lili mencium tangan ayahnya dan segera pamit.
“Ayah, Lili pulang ya! Ayah jaga diri baik-baik. Kalau sakit, jangan dipaksakan berdagangnya. Ayah langsung pulang saja, istirahat.” Ujar Lili dengan lirih.
“Iya anakku sayang! Kamu pulangnya hati-hati ya Nak! Ingat sampai di rumah langsung belajar!” Ujar ayahnya lalu mencium kening Lili.
Setelah berpamitan, Lili pun melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumah. Ayahnya kembali melanjutkan berdagang di stasiun.
Di pertengahan jalan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Lili. Entah kenapa kekhawatirannya kembali muncul. Tetapi Lili mencoba untuk menghilangkan bayang-bayang negatif yang ada dalam pikirannya.
Sesampainya Lili di rumah. Ia segera merapikan rumahnya dan mandi, lalu Lili pun belajar untuk Ujian Nasional besok.
Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Lili pun segera menghampiri orang tersebut.
“Eh, pak Tejo! Ada apa ke sini?” Ujar Lili menyapa.
“Nak Lili sabar ya! Ada kabar duka. Ayah kamu meninggal dunia.” Ujar pak Tejo dengan nada sedu.
“Astagfirullahhal’adzim! Pak Tejo serius... ayah kenapa?” Ujar Lili dengan wajah pucat dan sangat terkejut.
“Ayahmu tadi terjatuh dari kereta. Ia kehilangan keseimbangan saat di berada di depan pintu masuk kereta. Sepertinya memang ia sedang sakit. Sekarang jasadnya sudah dibawa ke rumah sakit Nak Lili!” Tandas pak Tejo menjelaskan kronologinya kepada Lili.
“Ya Allah ayah! Innalillahi wainnailaihi rojiun...,” ujar Lili sangat terkejut. “Sekarang tolong antarkan Lili ke rumah sakit ya pak Tejo?”
“Iya! Ya sudah kamu kunci rumah dan siap-siap sekarang.”
“Baik Pak!”
Lili dan pak Tejo pun segera berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan Lili terus menangis dan tak percaya. Ayahnya yang begitu sangat ia sayangi telah meninggal.
Sesampainya Lili di rumah sakit, ia pun langsung menuju ruang jenazah. Lili pun ditunjukan oleh petugas rumah sakit jenazah ayahnya.
“Ini jenazah bapak Marali Dik!” Ujar petugas rumah sakit.
“Ayaaaaaaah...!” Ujar Lili tersontak.
Peristiwa ini begitu sangat mengejutkan hati Lili. Setelah melihat jenazah ayahnya, Lili pun tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri. Pak Tejo dan petugas rumah sakit pun akhirnya mengangkat dan membawa Lili pulang ke rumah.
Sore itupun jenazah ayah Lili di urus oleh warga dan akan segera dimakamkan. Sebelum dimakamkan pak Tejo menyadarkan Lili. Saat Lili tahu bahwa ayahnya akan segara dimakamkan, ia pun langsung memeluk dan mencium wajah ayahnya.
“Ayah! Ayah kenapa pergi meninggalkan Lili?” Ucap Lili kepada jenazah ayahnya. “Lili sayang sama Ayah! Hanya ayah yang Lili punya saat ini... ayah jangan pergi!”
Air mata Lili tiada berhenti melihat ayahnya yang sudah tidak bisa menjawab segala pertanyaannya itu. Pak Tejo pun menarik Lili dan mencoba menenangkan Lili.
Akhirnya warga pun segera mengangkat jenazah Marali dengan keranda untuk segera disolati lalu dimakamkan di tempat pemakaman umum terdekat.
Seusai dimakamkan Lili pun pulang bersama rombongan warga. Sesampainya ia di rumah. Lili merasa begitu hampa. Ia terhanyut dan melayang dalam sepi. Ayahnya, seseorang yang paling ia cintai dan satu-satu orang yang menemani dalam suka dan duka saat ini telah tiada.
***
Langit masih belum berhenti menurunkan butiran-butiran hujan. Lili pun tersadar dalam lamunannya. Ia masih duduk termangu. Kini tiada lagi kegembiraan bersama ayahnya.
Deru-menderu suara angin mengiringi suara Lili yang sumbang. Lagu kesukaan Lili dan ayahnya pun kini telah berganti dengan lagu lara, lagu yang sangat lara.
Jerit batin Lili menjadi gemalau suara yang begitu kacau. Goresan kilat dan suara petir pun begitu menyadarkannya. Bahwa saat ini hidup seorang Lili Marali tak lebih seperti lagu lara yang baru saja ia nyanyikan.***


TelagaSastra, 8 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar