Sabtu, 01 Februari 2014

CERPEN - SAJAK TERAKHIR - DI PENGHUJUNG SENJA

SAJAK TERAKHIR - DI PENGHUJUNG SENJA

Tuhan melukis lazuardi pada langit sore. Kicau burung-burung mengalunkan nada, terbang bersama daun-daun sepi. Aku menyendiri sembari menatap cakrawala dari jendela kamar. Hatiku berdecak kagum akan lukisan-lukisan Tuhan di dunia ini. Selaksa warna dipadukan, memberikan nyawa pada setiap lukisan-Nya.
Tiba-tiba saja batinku terjaga menikmati sepi. Khayalku berlabuh pada satu kenangan. Kenangan tentang seseorang yang telah melarungkan zat-zat cinta di telaga hatiku.
Satu-persatu kenangan menusuk batinku. Perih sekali, hingga tak kusadari butiran-butiran rasa telah tumpah membasahi wajah. Aku telah coba untuk tidak mengenang hal itu, tetapi sedetikpun memori-memori itu tak bisa berhenti berputar dalam ruang akalku.

***
“Lihatlah lazuardi itu!” Ujarku pada Andin.
“Iya, sungguh indah lukisan Tuhan itu. Mungkin Tuhan menghadiahkannya untuk kita.” Sembari tersenyum, kata-kata itu terujar dari bibir indah Andin.
“Mungkin! Karena hari ini tepat satu tahun kita jadian kan?” Ujarku, lalu tertawa kecil melihat wajah Andin yang begitu lugu.
“Ternyata kamu masih ingat,” Andin pun tersenyum, lalu menutupi sebagian wajahnya karena tertawa riang.
“Iyalah, sudah pasti aku ingat. Satu tahun yang lalu saat kita duduk berdua di taman, berbincang-bincang tentang hidup dan kehidupan kita, lalu kamu dengan wajah yang kaget, hampir saja pingsan karena ditembak dengan lelaki setampan aku!” Ujarku, lalu tertawa.
“Hmm… percaya diri banget! Aku sebenarnya juga tidak mau terima cinta kamu waktu itu, tapi aku terpaksa saja…,”
“Terpaksa? Ya sudahlah kalau kamu terpaksa, sekarang kita sudahi saja!”
“Bercanda sayang…, kamu jadi lelaki ambekan!” Andin pun tertawa melihat wajahku yang pucat karena kaget dengan kata-katanya tadi. “Kalau tahun lalu, aku yang kaget dan hampir pingsan, sekarang kamu yang seperti itu.”
“Huh, dasar jelek!”
Aku dan Andin pun tertawa riang dengan candaan-candaan tadi. Aku menautkan jemariku pada jemari Andin, bersama mengalirkan rasa cinta yang tulus ke dalam hati.
Langit semakin gelap, tetapi aku belum mau beranjak dari kemesraan ini. Andin bersandar pada bahuku. Secangkir cahaya pada lampu taman membiaskan embun-embun cinta kita hingga batas malam.
***
Setelah memori-memori itu berhenti berputar, aku pun tak kuasa lagi menbendung air mata dari kedua bola mataku. Kenangan tentang Andin telah melabuhkanku pada kesedihan.
Kabar duka yang kudapatkan, telah memotong harapan tentang aku dan Andin menjadi serpihan-serpihan luka. Kesedihan semakin menjadi-jadi setelah kubaca sajak terakhir dari Andin yang kuterima darinya tadi pagi.
“Di penghujung senja,” ujarku membatin.
“Aku hanya debu-
yang menempel pada dinding hidup-
bersiap tersapu angin-
lalu pergi dan menempel pada dinding lain…” kubaca membatin kata demi kata pada bait pertama dan  aku hampir tak sanggup meneruskannya.
“Aku hanya butiran pasir-
yang terhampar diluasnya gurun-
tertiup dan terbawa-
kemana pun angin berkehendak…” aku sejenak terhenti membacakannya, rasa sesak dalam hatiku menahanku untuk meneruskan puisi ini.
Setelah usai isakku, aku pun ingin meneruskan kembali membaca puisi terakhir Andin walau bibirku terus saja menggumam tangis. Setiap hela nafas, kuatur agar tetap tegar untuk menghabiskan membacanya.
“Aku hanya makhluk di penghujung senja-
yang siap tertidur di malam-
lalu terbangun di pagi-
dan berjalan pada rute hidup yang lain…” aku terus mencoba untuk tetap tegar dan meneruskan membaca bait terakhir dari puisi terakhir Andin.
“Kekasih…-
aku bukan meninggalkanmu pada dunia yang rapuh-
tetapi aku hanya mendahuluimu saja-
percayalah kita hanya terpisah sementara-
dan yakinlah kita kan jumpa lagi selamanya…” usai sudah kubaca membatin puisi Andin. Rasa sesak dalam hatiku kembali merengkuh dan masuk ke dalam sela-sela napas.
Air mataku seperti sungai, tiada henti melarungkan duka. Kedukaan tentang kekasih yang begitu sangat kucintai, kini telah tiada.
Mataku pun lelah, tubuhku terjatuh pada lantai kamar yang dingin, hingga tubuhku begitu gigil. Dan tanpa sadar mimpi telah membawaku pergi.
***
Dalam keheningan, aku duduk di teras rumah. Kunang-kunang menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi sudut-sudut jalan. Tiba-tiba saja aku terkejut melihat Andin yang tersenyum dan melangkah dengan pasti ke arahku.
Aku baru saja mengikuti pemakamannya siang tadi.  Tetapi saat ini aku melihat Andin bergaun sutra melangkah ke arahku lalu ikut duduk bersamaku di sini.
Kutatap wajah Andin, dia begitu pucat. Andin hanya tersenyum tanpa mengucapkan satu kata pun. Aku yang tak percaya dengan hal ini pun berlari dan meninggalkan Andin di teras rumah. Tetapi semakin jauh aku berlari, aku semakin sadar bahwa ini bukan jalan yang biasa kulewati, jalan-jalan yang kulalui terasa begitu asing.
Mula-mula kutemui jalan yang luas dengan dua lentera yang menempel pada tiap sudutnya, lalu jalan itu semakin sempit dan semakin sempit hingga tak kutemukan lagi cahaya.
Seketika lelah terasa disekujur tubuhku, aku tak kuasa lagi menahan tubuhku untuk tetap seimbang berlari di jalan sempit ini, hingga pada akhirnya aku pun terjatuh pada jurang yang begitu gelap dan dingin.
Disaat aku membuka mataku, mencoba terjaga dari ketidaksadaraan, aku pun tak dinyana ketika menengok ke samping, yang kulihat adalah Andin yang sedang terbujur kaku di ruang jenazah. Lalu aku pun membangunkan diri, tetapi aku merasakan sakit yang begitu nyeri, seperti tersayat-sayat dan dikuliti. Seketika saja napasku terisak-isak, ternyata rohku tertarik dan terpental ke luar.
Aku pun menemui cahaya yang kueja dalam rebahku. Dan aku semakin terkejut, ketika melihat tubuhku sendiri yang terbujur kaku di samping jenazah Andin.***

Jakarta, 31 Oktober 2012

*direvisi, Jakarta, 19 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar