SAJAK TERAKHIR - DI PENGHUJUNG
SENJA
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikofocc8B2yCOkT7Z64s7VwpUfwoVqrmowjM4Vzssta1nLmmmsDH8JSHIv4ZQ4lFl998vhk5PeWLtlc2cBrsCA3ihiqhcyfcfbVs6B4WGrHb9WTYVQLqi2S0NbWWIFw4sZnQ5djIQzt0w/s1600/senja-wailago.jpg)
Tiba-tiba saja batinku terjaga menikmati
sepi. Khayalku berlabuh pada satu kenangan. Kenangan tentang seseorang yang
telah melarungkan zat-zat cinta di telaga hatiku.
Satu-persatu kenangan menusuk batinku.
Perih sekali, hingga tak kusadari butiran-butiran rasa telah tumpah membasahi
wajah. Aku telah coba untuk tidak mengenang hal itu, tetapi sedetikpun
memori-memori itu tak bisa berhenti berputar dalam ruang akalku.
***
“Lihatlah lazuardi itu!” Ujarku pada
Andin.
“Iya, sungguh indah lukisan Tuhan itu.
Mungkin Tuhan menghadiahkannya untuk kita.” Sembari tersenyum, kata-kata itu
terujar dari bibir indah Andin.
“Mungkin! Karena hari ini tepat satu
tahun kita jadian kan?” Ujarku, lalu tertawa kecil melihat wajah Andin yang
begitu lugu.
“Ternyata kamu masih ingat,” Andin pun
tersenyum, lalu menutupi sebagian wajahnya karena tertawa riang.
“Iyalah, sudah pasti aku ingat. Satu
tahun yang lalu saat kita duduk berdua di taman, berbincang-bincang tentang
hidup dan kehidupan kita, lalu kamu dengan wajah yang kaget, hampir saja
pingsan karena ditembak dengan lelaki
setampan aku!” Ujarku, lalu tertawa.
“Hmm… percaya diri banget! Aku
sebenarnya juga tidak mau terima cinta kamu waktu itu, tapi aku terpaksa
saja…,”
“Terpaksa? Ya sudahlah kalau kamu
terpaksa, sekarang kita sudahi saja!”
“Bercanda sayang…, kamu jadi lelaki
ambekan!” Andin pun tertawa melihat wajahku yang pucat karena kaget dengan
kata-katanya tadi. “Kalau tahun lalu, aku yang kaget dan hampir pingsan,
sekarang kamu yang seperti itu.”
“Huh, dasar jelek!”
Aku dan Andin pun tertawa riang dengan
candaan-candaan tadi. Aku menautkan jemariku pada jemari Andin, bersama
mengalirkan rasa cinta yang tulus ke dalam hati.
Langit semakin gelap, tetapi aku belum
mau beranjak dari kemesraan ini. Andin bersandar pada bahuku. Secangkir cahaya
pada lampu taman membiaskan embun-embun cinta kita hingga batas malam.
***
Setelah memori-memori itu berhenti
berputar, aku pun tak kuasa lagi menbendung air mata dari kedua bola mataku.
Kenangan tentang Andin telah melabuhkanku pada kesedihan.
Kabar duka yang kudapatkan, telah
memotong harapan tentang aku dan Andin menjadi serpihan-serpihan luka.
Kesedihan semakin menjadi-jadi setelah kubaca sajak terakhir dari Andin yang
kuterima darinya tadi pagi.
“Di penghujung senja,” ujarku membatin.
“Aku hanya debu-
yang menempel pada dinding hidup-
bersiap tersapu angin-
lalu pergi dan menempel pada dinding
lain…” kubaca membatin kata demi kata pada bait pertama dan aku hampir tak sanggup meneruskannya.
“Aku hanya butiran pasir-
yang terhampar diluasnya gurun-
tertiup dan terbawa-
kemana pun angin berkehendak…” aku
sejenak terhenti membacakannya, rasa sesak dalam hatiku menahanku untuk
meneruskan puisi ini.
Setelah usai isakku, aku pun ingin
meneruskan kembali membaca puisi terakhir Andin walau bibirku terus saja
menggumam tangis. Setiap hela nafas, kuatur agar tetap tegar untuk menghabiskan
membacanya.
“Aku hanya makhluk di penghujung senja-
yang siap tertidur di malam-
lalu terbangun di pagi-
dan berjalan pada rute hidup yang lain…”
aku terus mencoba untuk tetap tegar dan meneruskan membaca bait terakhir dari
puisi terakhir Andin.
“Kekasih…-
aku bukan meninggalkanmu pada dunia yang
rapuh-
tetapi aku hanya mendahuluimu saja-
percayalah kita hanya terpisah
sementara-
dan yakinlah kita kan jumpa lagi
selamanya…” usai sudah kubaca membatin puisi Andin. Rasa sesak dalam hatiku
kembali merengkuh dan masuk ke dalam sela-sela napas.
Air mataku seperti sungai, tiada henti
melarungkan duka. Kedukaan tentang kekasih yang begitu sangat kucintai, kini
telah tiada.
Mataku pun lelah, tubuhku terjatuh pada
lantai kamar yang dingin, hingga tubuhku begitu gigil. Dan tanpa sadar mimpi
telah membawaku pergi.
***
Dalam keheningan, aku duduk di teras
rumah. Kunang-kunang menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi sudut-sudut
jalan. Tiba-tiba saja aku terkejut melihat Andin yang tersenyum dan melangkah
dengan pasti ke arahku.
Aku baru saja mengikuti pemakamannya
siang tadi. Tetapi saat ini aku melihat
Andin bergaun sutra melangkah ke arahku lalu ikut duduk bersamaku di sini.
Kutatap wajah Andin, dia begitu pucat.
Andin hanya tersenyum tanpa mengucapkan satu kata pun. Aku yang tak percaya
dengan hal ini pun berlari dan meninggalkan Andin di teras rumah. Tetapi
semakin jauh aku berlari, aku semakin sadar bahwa ini bukan jalan yang biasa
kulewati, jalan-jalan yang kulalui terasa begitu asing.
Mula-mula kutemui jalan yang luas dengan
dua lentera yang menempel pada tiap sudutnya, lalu jalan itu semakin sempit dan
semakin sempit hingga tak kutemukan lagi cahaya.
Seketika lelah terasa disekujur tubuhku,
aku tak kuasa lagi menahan tubuhku untuk tetap seimbang berlari di jalan sempit
ini, hingga pada akhirnya aku pun terjatuh pada jurang yang begitu gelap dan
dingin.
Disaat aku membuka mataku, mencoba
terjaga dari ketidaksadaraan, aku pun tak dinyana ketika menengok ke samping,
yang kulihat adalah Andin yang sedang terbujur kaku di ruang jenazah. Lalu aku
pun membangunkan diri, tetapi aku merasakan sakit yang begitu nyeri, seperti tersayat-sayat
dan dikuliti. Seketika saja napasku terisak-isak, ternyata rohku tertarik dan
terpental ke luar.
Aku pun menemui cahaya yang kueja dalam
rebahku. Dan aku semakin terkejut, ketika melihat tubuhku sendiri yang terbujur
kaku di samping jenazah Andin.***
Jakarta, 31 Oktober
2012
*direvisi, Jakarta, 19
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar